marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Minggu, 27 September 2009

Asslamu'alaikum, Wr.Wb
salam sejahtera kepada kita semuanya...
kepada saudara/i yang membaca atau membuka blog ini.marilah kita minta bersama kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mengutuk para koruptor yang ada di negeri tercinta ini agar bangsa ini selamat dari semua marabahaya. kalau perlu berlakukan hukuman mati kepada mereka seperti yang berlaku di china. kepada KPK, kok bisanya anda menyalahguanaknan wewenang yg diamanatkan kepada anda,anda mau memberantas korupsi, tp anda sendiri pelaku korupsi. anda lihat sendiri rakyat apa yang mau mereka korupsi, mereka hanya menginginkan keadilan saja no more. saya tau yang duduk sbg pejabat di sana ambisi kalian hanya uang dan uang, tak ubahnya kalian seperti beruang...
READ MORE -
Halal bihalal merupakan tradisi khas masyarakat

Indonesia. Sebuah tradisi yang meniscayakan

beberapa tahapan, yaitu menahan amarah, memberi

maaf, dan berbuat baik terhadap orang yang

bersalah.


Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh

petunjuk dan bimbingan agama. Ada tiga cara

yang diperkenalkan ulama untuk memperoleh pesan

-pesan kitab suci itu. Petama, melalui

penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan

murid-murid mereka. Hal ini dinamai tafsir bir

-riwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan

dengan menggunakan nalar yang didukung oleh

kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir

bid-diriyah. Ketiga, melalui kesan yang

diperoleh dari penggunaan kosa kata ayat atau

bilangannya, dinamai tafsir bir-riwayah.

Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal

bihalal melalui al-Quran dengan menitikberatkan

pandangan pada cara yang ketiga. Untuk maksud

tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada

beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam

konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal

bihalal, dan Minal ‘Aidin wal-Faizin.

Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai

sesuatu yang bukan haram; sedangkan haram

merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan

ancaman siksa.

Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu

wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat

yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk

yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk

dtinggalkan). Nabi saw. bersabda, “Abghadu al-

halal ila Allah, ath-thalaq” (Halal yang paling

dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-

istri).

Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks

hukum, hal itu tidak akan menyebabkan lahirnya

hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin

dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian

Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya

kata halal pada konteks halal bihalal tidak

dipahami dalam bihalal pengertian hukum.

Dalam al-Quran, kata halal terulang sebanyak

enam kali. Dua di antaranya pada konteks

kecaman, yaitu:

Katakanlah, ”Terangkanlah kepadaku tentang

rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu

jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya)

halal. Apakah Allah telah memberikan izin

kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja

terhadap Allah?” (QS Yunus [10]: 59)

Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang

disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini

halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan

kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-

orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap

Allah tidaklah beruntung. (itu adalah)

kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi

mereka siksa yang pedih (QS AL-Nahl [16]: 116-

117).

Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini?

Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka

yang mencampurbaurkan antara yang halal dan

haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah

dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih,

lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya

adalah haram.

Empat halal lainnya yang tersebut dalam al-Quran

mempunyai dua ciri yang sama, yaitu dikemukakan

dalam konteks perintah makan (kulu) dan Kata

halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).

Perhatikan keempat ayat berikut:
1. Kuluu mimma fil ardhi halalan thayyiban

(Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang

terdapat di bumi) (QS. Al-Baqarah [2]: 168);

2. Wakuluu mimma razaqakumullah halalan

thayyiban…(Dan makanlah makanan yang halal lagi

baik, dari apa yang Allah telah rezekikan

kepadamu) (QS. Al-Ma’idah [5]: 88);

3. Fakuluu mimma ghanimtum halalan

thayyibaan (Maka makanlah dari sebagian rampasan

perang yang telah kamu ambil itu) (QS. Al-Anfaal

[8]: 69);

4. Fakuluu mimma razaqakumullahu halalan

thayyiban (Maka makanlah halal lagi baik dari

rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (QS.

An-Nahl [16]: 114).

Kata makan dalam al-Quran sering diartikan

“melakukan aktivitas apapun.” Ini agaknya

disebabkan karena makan merupakan sumber utama

perolehan kalori yang dapat menghasilkan

aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam

ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan

aktivitass, sedangkan aktivitasnya tidak sekedar

halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Nah,

jika dikembalikan pada empat jenis halal yang

diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh

tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban.

Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah

(Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali,

yang dapat dirinci sebagai berikut:

- Masing-masing sekali untuk at-tawabin

(orang yang bertobat), ash-shabirin (orang-orang

sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada

dalam satu barisan/kesatuan);

- Masing-masing dua kali terhadap al-

mutawakkilin (orang yang berserah diri kepada

Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yag

menyucikan diri);

- Masing-masing tiga kali terhadap al-

muttaaqin (orang-orang yang bertaqwa) dan al-

muqsithin ( orang yang berlaku adil), dan lima

kali terhdap al-muhsinin.


Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu

paling tidak mengisyaratkan bahwa sikap yang

paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin

(orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka

yang pernah melakukan kesalahn). Hal ini sesuai

sekali dengan perintah al-Quran untuk melakukan

perbuatan halal yang baik, tidak sekedar

perbuatan halal (boleh, tetapi tidak

menghasilkan kebaikan).

Dalam al-Quran surat Ali-‘Imran ayat 134

diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya

keserasian hubungan;

Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat

keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan

orang-orang yang menahan amarahnya, dan

memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan

berbuat baik terhadap mereka). Sesungguhnya

Allah menyukai mereka yang berbuat baik

(terhadap orang yang bersalah).

Di sini terbaca bahwa tahap pertama adalah

menahan amarah, tahap kedua memberi maaf, dan

tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap

orang yang bersalah.

Demikian sedikit dan banyak kesan yang dapat

diperoleh dari ayat-ayat al-Quran berkaitan

dengan halal-bihalal/maaf memaafkan.


READ MORE -

Rabu, 23 September 2009

Mencari Pegawai Yang Ideal

Islam sudah menetapkan kepada umatnya suatu pola kehidupan yang bersifat kelompok. Islam telah mendidik umatnya untuk hidup secara bersama dalam membangun kekuatan. Untuk mewujudkan kekuatan bersama tersebut, maka Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki struktur kekuasaan dan kepemimpinan. Dan struktur kepempinan ini bisa tangguh bila di dalamnya terdapat aparatur yang baik dan benar. Seorang pemimpin sehebat apapun dia, tidaklah akan bisa menjalankan roda pemerintahanya dengan baik, jika tidak didukung oleh aparatur yang tangguh. Di sinilah pentingnya menetapkan standar rekrutmen pegawai agar menghasilkan aparatur pemerintahan yang baik dan benar serta tangguh.
Allah swt. melalui wahyu-Nya telah mengajarkan manusia tata cara memilih pegawai yang baik untuk mendapatkan aparatur yang baik dan tangguh. Kriteria pegawai yang ideal itu menurut al-Qur’an seperti dikisahkan dalam surat al-Qashasah [28]: 26
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Ayat di atas bercerita tentang kisah nabi Musa as. yang lari dari Mesir menghindari kekuatan lalim Fir’aun dan tentaranya, hingga dia sampai ke suatu negeri yang bernama Madyan. Di negri itu, dia mendapatkan penduduknya sedang kesusahan mendapatkan air. Di sana terdapat sebuah sumber mata air, akan tetapi, tertutup oleh sebuah batu besar. Nabi Musa as. kemudian membantu penduduknya untuk mengangkat batu itu.
Setelah batu terangkat, semua penduduk negeri itu berdesakan mengambil air untuk minum mereka dan ternak mereka. Ketika itulah, nabi Musa as. melihat dua orang gadis yang ikut berdesakan mengambil air bersama kerumunan laki-laki yang kuat.
Nabi Musa as. kemudian merasa kasihan, lalu membantu kedua wanita itu mengambil air. Sehingga, atas bantuan Musa as. kedua wanita itu bisa mendapatkan air dengan mudah, tanpa harus berdesakan dan mengalami kesusuhan.
Kedua wanita itu kemudian menceritakan perihal Musa kepada ayahnya, nabi Syu’iab. Nabi Syu’aib kemudian memerintahkan puterinya itu untuk memanggil Musa dan menemuinya. Dalam perjalananan ke rumah nabi Syu’aib, nabi Musa berjalan di belakang wanita itu. Tiba-tiba angin menghembus kain salah seorang gadis itu, hingga betisnya kelihatan oleh Musa. Musa as. mengucapkan kalimat istighfâr, kemudian meminta perempuan itu untuk berjalan di belakangnya, seraya memberikan petunjuk kepadanya tentang arah jalan yang mesti diikuti. Begitulah selanjutnya, hingga Musa as. dan kedua puteri Syu’aib sampai di rumah dan menemui ayah mereka.
Sesampainya di rumah, salah satu puteri nabi Syu’aib berkata kepada ayahnya agar menjadikan Musa pegawai mereka. Alasan yang dikemukakan puteri nabi Syu’aib ada dua; kuat dan jujur. Mereka melihat bahwa nabi Musa adalah orang yang sangat kuat. Kemudian mereka juga melihat Musa sebagai orang yang bisa dipercaya karena kejujuranya. Dua alasan inilah yang menjadi kriteria Syu’aib untuk menjadikan Musa sebagai pegawainya, dan bahkan kemudian menjadi menantunya.
Oleh karean itu, jika sebuah instansi, perusahaan, lembaga tertantu dan sebagainya, ingin menerima dan mengangkat seorang pegawai, maka dua hal inilah yang mesti menjadi tolak ukurnya. Seorang calon pegawai mestilah seorang yang cakap, ahli, propesional, disiplin, tangguh dan memiliki kemampuan dalam bidang tersebut. Janganlah menerima pegawai yang tidak memiliki keahlian di dalam bidang yang hendak di tempatkan. Karena, hal itu bukannya akan membawa kebaikan, namun akan mendatangkan bencana dan kehancuran.
Akan tetapi, modal kecakapan, kehalian, profesional, disiplin serta ketangguhan tidaklah cukup. Seorang calon pegawai yang akan diterima haruslah orang yang memiliki kejujuran. Pegawai yang pintar dan ahli belum tentu akan mendatangkan kebaikan, jika tidak memiliki kejujuran. Bahkan, kehancuran dan kebinasaan seringkali disebabakan oleh aparatur yang ahli dan pintar, namun tidak memiliki kejujuran.
Bangsa Indonesia, agaknya memiliki aparatur negara yang cukup hebat, pintar, ahli dan tangguh. Rata-rata aparatur negara di Indonesia adalah lulusan sarjana, mulai dari Diploma, Strata 1, 2, bahkan ada yang doktor dan profesor. Akan tetapi, kenapa negara kita masih terpuruk dan memprihatinkan? Alasanya, adalah karena aparatur negara kekurangan dalam sisi kejujuran. Inilah salah satu hal yang membawa kehancuran Indonesia.
Oleh karean itulah, kata al-qawiy (kuat), langsung diiringi dengan kata al-amin (jujur), tanap dipisah oleh satu pemisah semisal huruf waw (dan). Hal itu berarti, bahwa antara kecakapan dan kejujuran adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan dalam kriteria memilih dan menerima calon pegawai. Keduanya haruslah menyatu dalam diri seorang calon aparatur negara. Semoga ini bisa menjadi pedoman kita dalam merekrut calon pegawai yang akan mengurus negara ini. Amin
READ MORE -
Mencari Pegawai Yang Ideal

Islam sudah menetapkan kepada umatnya suatu pola kehidupan yang bersifat kelompok. Islam telah mendidik umatnya untuk hidup secara bersama dalam membangun kekuatan. Untuk mewujudkan kekuatan bersama tersebut, maka Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki struktur kekuasaan dan kepemimpinan. Dan struktur kepempinan ini bisa tangguh bila di dalamnya terdapat aparatur yang baik dan benar. Seorang pemimpin sehebat apapun dia, tidaklah akan bisa menjalankan roda pemerintahanya dengan baik, jika tidak didukung oleh aparatur yang tangguh. Di sinilah pentingnya menetapkan standar rekrutmen pegawai agar menghasilkan aparatur pemerintahan yang baik dan benar serta tangguh.
Allah swt. melalui wahyu-Nya telah mengajarkan manusia tata cara memilih pegawai yang baik untuk mendapatkan aparatur yang baik dan tangguh. Kriteria pegawai yang ideal itu menurut al-Qur’an seperti dikisahkan dalam surat al-Qashasah [28]: 26
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Ayat di atas bercerita tentang kisah nabi Musa as. yang lari dari Mesir menghindari kekuatan lalim Fir’aun dan tentaranya, hingga dia sampai ke suatu negeri yang bernama Madyan. Di negri itu, dia mendapatkan penduduknya sedang kesusahan mendapatkan air. Di sana terdapat sebuah sumber mata air, akan tetapi, tertutup oleh sebuah batu besar. Nabi Musa as. kemudian membantu penduduknya untuk mengangkat batu itu.
Setelah batu terangkat, semua penduduk negeri itu berdesakan mengambil air untuk minum mereka dan ternak mereka. Ketika itulah, nabi Musa as. melihat dua orang gadis yang ikut berdesakan mengambil air bersama kerumunan laki-laki yang kuat.
Nabi Musa as. kemudian merasa kasihan, lalu membantu kedua wanita itu mengambil air. Sehingga, atas bantuan Musa as. kedua wanita itu bisa mendapatkan air dengan mudah, tanpa harus berdesakan dan mengalami kesusuhan.
Kedua wanita itu kemudian menceritakan perihal Musa kepada ayahnya, nabi Syu’iab. Nabi Syu’aib kemudian memerintahkan puterinya itu untuk memanggil Musa dan menemuinya. Dalam perjalananan ke rumah nabi Syu’aib, nabi Musa berjalan di belakang wanita itu. Tiba-tiba angin menghembus kain salah seorang gadis itu, hingga betisnya kelihatan oleh Musa. Musa as. mengucapkan kalimat istighfâr, kemudian meminta perempuan itu untuk berjalan di belakangnya, seraya memberikan petunjuk kepadanya tentang arah jalan yang mesti diikuti. Begitulah selanjutnya, hingga Musa as. dan kedua puteri Syu’aib sampai di rumah dan menemui ayah mereka.
Sesampainya di rumah, salah satu puteri nabi Syu’aib berkata kepada ayahnya agar menjadikan Musa pegawai mereka. Alasan yang dikemukakan puteri nabi Syu’aib ada dua; kuat dan jujur. Mereka melihat bahwa nabi Musa adalah orang yang sangat kuat. Kemudian mereka juga melihat Musa sebagai orang yang bisa dipercaya karena kejujuranya. Dua alasan inilah yang menjadi kriteria Syu’aib untuk menjadikan Musa sebagai pegawainya, dan bahkan kemudian menjadi menantunya.
Oleh karean itu, jika sebuah instansi, perusahaan, lembaga tertantu dan sebagainya, ingin menerima dan mengangkat seorang pegawai, maka dua hal inilah yang mesti menjadi tolak ukurnya. Seorang calon pegawai mestilah seorang yang cakap, ahli, propesional, disiplin, tangguh dan memiliki kemampuan dalam bidang tersebut. Janganlah menerima pegawai yang tidak memiliki keahlian di dalam bidang yang hendak di tempatkan. Karena, hal itu bukannya akan membawa kebaikan, namun akan mendatangkan bencana dan kehancuran.
Akan tetapi, modal kecakapan, kehalian, profesional, disiplin serta ketangguhan tidaklah cukup. Seorang calon pegawai yang akan diterima haruslah orang yang memiliki kejujuran. Pegawai yang pintar dan ahli belum tentu akan mendatangkan kebaikan, jika tidak memiliki kejujuran. Bahkan, kehancuran dan kebinasaan seringkali disebabakan oleh aparatur yang ahli dan pintar, namun tidak memiliki kejujuran.
Bangsa Indonesia, agaknya memiliki aparatur negara yang cukup hebat, pintar, ahli dan tangguh. Rata-rata aparatur negara di Indonesia adalah lulusan sarjana, mulai dari Diploma, Strata 1, 2, bahkan ada yang doktor dan profesor. Akan tetapi, kenapa negara kita masih terpuruk dan memprihatinkan? Alasanya, adalah karena aparatur negara kekurangan dalam sisi kejujuran. Inilah salah satu hal yang membawa kehancuran Indonesia.
Oleh karean itulah, kata al-qawiy (kuat), langsung diiringi dengan kata al-amin (jujur), tanap dipisah oleh satu pemisah semisal huruf waw (dan). Hal itu berarti, bahwa antara kecakapan dan kejujuran adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan dalam kriteria memilih dan menerima calon pegawai. Keduanya haruslah menyatu dalam diri seorang calon aparatur negara. Semoga ini bisa menjadi pedoman kita dalam merekrut calon pegawai yang akan mengurus negara ini. Amin
READ MORE -

Minggu, 06 September 2009

Ada apa dengan pohon pisang??

Palsafah Hidup Pohon Pisang
Di dalam al-Qur’an, jika Allah menyebutkan kata tumbuhan atau nama jenis tumbuhan tertentu, biasanya kontesks pembicaraan-Nya selalu terkait dengan pemberian pelajaran kepada manusia atau mengajak manusia untuk berfikir. Hal itu memberikan isyarat kepada manusia, bahwa tumbuhan diciptakan Allah bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan fisik manusia, namun juga untuk memenuhi kebutuhan akal dan rohaninya. Dengan tumbuhan manusia bukan hanya memberi makan jasmaninya, tetapi juga memberi makan akal dan rohaninya. Lihat misalnya firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 226,
أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.”
Begitu juga dalam surat an-Nahl [16]: 67
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Artinya: “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.”
Berikut ini, kita akan mencoba melihat sisi istimewa dari sebuah tumbuhan yang dekat dengan kehidupan kita; yaitu pohon pisang. Jika kita memperhatikan pohon pisang dengan seksama, maka kita akan mendapatkan pelajaran berharga dari kehidupannya. Adapun yang istimewa dari pohon pisang adalah;
Pertama, pohon pisang belum akan mati sebelum berbuah atau mendatangkan manfaat bagi manusia. Jika sebuah pohon pisang yang belum berbuah ditebang, maka dipastikan dia akan tumbuh lagi. Kemudian ditebang lagi, ia akan tumbuh lagi, begitulah seterusnya hingga ia berbuah. Ketika sudah berbuah, maka dengan sendirinya ia kan mati.
Begitulah semestinya sikap hidup yang harus dimiliki setiap manusia, khususnya seorang mukmin. Janganlah pernah mati – sekalipun mati urusan Allah- sebelum berguna dan mendatangkan manfaat bagi orang lain dan lingkungan. Begitulah yang dipesankan Allah dalam surat Ali ‘Imran [3]: 102
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan kamu sebagai muslim.”
Muslim secara harfiyah berarti menyelamatkan. Kata ini berasal dari kata aslama yang berupa mazid (sudah ditambah) satu huruf dari kata salima yang berarti aktif. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita sebelum mati jadilah orang yang mampu menyelamatkan orang lain. Jika yang mampu masuk sorga hanya diri sendiri, maka itu berarti kita mati dalam keadaaan salim belum muslim. Sebab, muslim bukan hanya mampu memasukan dirinya ke dalam sorga, namun juga membawa orang lain untuk memasuki sorga bersamanya.
Kedua, pohon pisang adalah jenis tumbuhan yang tidak banyak menuntut dan menyusahkan pemiliknya. Pohon pisang ketika tumbuh tidak meminta dipupuk, racun hama dan perawatan laiannya. Ia cukup diletakan di dalam sebuah lobang, lalu dibiarkan tanpa pupuk dan racun hama, ia akan tetap tumbuh dan berbuah. Bandingkan, jika kita menanam tanaman lain, seperti cabe, tomat, bawang dan sebagainya yang sangat memberatkan sang pemilik, karena mesti dipupuk, diberi racun hama, kemudian perhatian yang maksimal. Selanjutnya, pohon pisang tidak pernah menyusuhkan pemiliknya. Sebab, pohon pisnag tidak menghasilkan sampah seperti pohon-pohon lainnya.
Begitulah hendaknya pola hidup seorang muslim. Janganlah hendaknya terlalu banyak menuntut, mengharap apalagi menyusahkan orang lain. Sebab, jika seseorang banyak menunut dan meminta, maka orang lain akan menyimpan banyak harapan kepadanya. Jika dia kemudian hari memberi, orang lain tidak terlalu hormat dan bangga, karena memang sudah semestinya dia memberi karena telah banyak menuntut selama ini. Akan tetapi, jika dia kemudian hari tidak bisa memberi dan memenuhi harapan tempat ia meminta, biasanya orang lain akan kecewa kepadanya.
Sebaliknya, jika seseorang tidak banyak menuntut dan menyusahkan, namun kemudian banyak memberi, maka orang akan menaruh rasa segan,bangga, hormat dan simpati kepadanya. Lihatlah pohon pisang, yang sekiranya dia mati dan tidak menghasilkan buah, sang pemilik biasanya tidak teralu kecewa dan berkecil hati. Berbeda halnya, jika tanaman cabe atau tomat yang telah memakan biaya besar, namun tidak menghasilkan buah, maka pemilik kebun akan kecewa dan menggerutu kepadanya.
Ketiga, pohon pisang adalah tanaman yang multi guna. Semua yang ada padanya adalah berguna dan bisa dimanfaatkan. Mulai dari akar, batang, daun, buah, sampai “ekor buah/buntutnya” yang biasanya dijadikan sebagai sayuran.
Begitulah semestinya kehidupan seorang muslim. Hendaklah apapun yang keluar dari dirinya, baik perkataan, sikap, prilaku mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi orang lain.
Keempat, pohon pisang tidak memilih tempat untuk hidup karena ia bisa hidup di mana saja. Pohon pisang akan tumbuh dan berbuah jika ditaman di tepi pantai. Namun, juga bisa tumbuh dan berbuah jika ditanam di daerah pegunungan. Pohon pisang bisa tumbuh dan berbuah jika ditanam di tanah yang basah dan berair, namun juga bisa tumbuh dan berbuah jika ditanam ditanah yang kering dan gersang sekalipun.
Begitulah hendaknya sikap hidup yang mesti dimiliki setiap muslim. Janganlah terperanguh hidupnya dengan tempat dan lingkungan. Seorang muslim akan bisa baik dan berbuat kebaikan jika tinggal di tempat dan lingkungan yang baik, namaun juga bisa baik dan berbuat baik sekalipun tinggal di tempat yang buruk dan lingkungan yang buruk. Seringklai manusia “mengkambinghitamkan” tempat jika tidak mampu berbuat baik atau mempersembahkan yang terbiak.
Seorang murid dalam menempuh pendidikan misalnya dalam mangukir prestasi hendaknya juga seperti pohon pisang. Seorang murid mesti bisa mengukir prestasi jika sekolah di sekolah hebat, di kota besar, namun di saat yang sama juga bisa menorehkan prestasi gemilang jika belajar di sekolah yang biasa, atau bahkan di daerah yang terisolir dan terpeslook sekalipun. Tempat bukanlah menjadi soal untuk mempersembahkan yang terbaik.
READ MORE - Ada apa dengan pohon pisang??

Selasa, 01 September 2009

Ekonomi Islam Yang Islamis

Pembeda Utama antara Sistem Ekonomi Islam dan Sistem Ekonomi lainnya adalah sumbernya. Sistem Ekonomi Islam lahir dari sumber wahyu, sedang yang lain datang dari sumber akal. Karenanya, ciri Ekonomi Islam sangat khas dan sempurna, yaitu : Ilahiah dan Insaniah.Berciri ilahiah karena berdiri di atas dasar aqidah, syariat dan akhlaq. Artinya, Ekonomi Islam berlandaskan kepada aqidah yang meyakini bahwa harta benda adalah milik Allah SWT, sedang manusia hanya sebagai khalifah yang mengelolanya (Istikhlaf), sebagaimana diamanatkan Allah SWT dalam surat Al-Hadiid ayat 7. Dan Ekonomi Islam berpijak kepada syariat yang mewajibkan pengelolaan harta benda sesuai aturan Syariat Islam, sebagaimana ditekankan dalam surat Al-Maa-idah ayat 48 bahwa setiap umat para Nabi punya aturan syariat dan sistem.Serta Ekonomi Islam berdiri di atas pilar akhlaq yang membentuk para pelaku Ekonomi Islam berakhlaqul karimah dalam segala tindak ekonominya, sebagaimana Rasulullah SAW mengingatkan bahwasanya beliau diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan-kemuliaan akhlaq.Berciri insaniah karena memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi dan sempurna. Sistem Ekonomi Islam tidak membunuh hak individu sebagaimana Allah SWT nyatakan dalam surat Al-Baqarah ayat 29 bahwa semua yang ada di Bumi diciptakan untuk semua orang. Namun pada saat yang sama tetap memelihara hak sosial dengan seimbang, sebagaimana diamanatkan dalam surat Al-Israa ayat 29 bahwa pengelolaan harta tidak boleh kikir, tapi juga tidak boleh boros.Di samping itu, tetap menjaga hubungan dengan negara sebagaimana diperintahkan dalam surat An-Nisaa ayat 59 yang mewajibkan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW serta Ulil Amri yang dalam hal ini boleh diartikan penguasa (pemerintah) selama taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.Dengan kedua ciri di atas, aktivitas Sistem Ekonomi Islam terbagi dua : Pertama, individual yaitu aktivitas ekonomi yang bertujuan mendapatkan keuntungan materi bagi pelakunya, seperti perniagaan, pertukaran dan perusahaan. Kedua, sosial yaitu aktivitas ekonomi yang bertujuan memberikan keuntungan kepada orang lain, seperti pemberian, pertolongan dan perputaran.Sekurangnya ada 15 (lima belas) aktivitas Ekonomi Islam yang bersifat individual, yaitu: Al-Bai’, As-Salam, Ash-Shorf, Asy-Syirkah, Al-Qiradh, Al-Musaqah, Al-Muzara’ah, Al-Mukhabarah, Al-Ijarah, Al-Ujroh, Al-Ji’alah, Asy-Syuf’ah, Ash-Shulhu, Al-Hajru, dan Ihya-ul Mawat.Kelimabelas aktivitas ekonomi di atas merupakan pintu mencari keuntungan materi yang dihalalkan Syariat Islam. Setiap individu bebas menjadi pelaku aktivitas ekonomi di atas dan bebas pula mengais keuntungan sesuai dengan rukun dan syarat yang ditetapkan syariat untuk tiap-tiap aktivitas tersebut.Ada pun aktivitas Ekonomi Islam yang bersifat sosial sekurangnya juga ada 15 (lima belas), yaitu : Ash-Shodaqah, An-Nafaqoh, Al-Hadiyah, Al-Hibah, Al-Waqf, Al-Qordh, Al-Hawalah, Ar-Rahn, Al-‘Ariyah, Al-Wadi’ah, Al-Wakalah, Al-Kafalah, Adh-Dhoman, Al-Luqothoh, dan Al-Laqith.Dalam kelimabelas aktivitas ekonomi di atas para pelakunya tidak dibenarkan mengambil keuntungan untuk dirinya, melainkan ditujukan untuk memberi keuntungan kepada orang lain. Misalnya, dalam aktivitas Al-Qordh (Utang), si pemilik piutang (yang memberi utang) tidak dibenarkan mengambil ”untung” dengan mensyaratkan ”kelebihan” kepada orang yang berutang dalam pengembalian utangnya, walau satu sen, karena Al-Qordh adalah bentuk bantuan dan pertolongan kepada orang lain, bukan perniagaan, sehingga ”keuntungan” apa pun bagi pemberi utang yang disyaratkan dalam utang menjadi Riba yang diharamkan syariat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Imam Ath-Thabrani rhm dalam Al-Mu’jam Al-Kabir.Menariknya, dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Majah rhm disebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang pemberi utang untuk menerima hadiah atau memanfaatkan pinjaman barang apa pun dari orang yang berutang sebelum utangnya dilunasi, kecuali jika di antara keduanya sudah sering saling memberi hadiah atau meminjamkan barang dari sebelum adanya utang. Salah satu hikmah pelarangan ini adalah untuk menjaga kemurnian nilai sosial dan memelihara kemuliaan jiwa kepedulian tanpa pamrih yang ada dalam aktivitas Al-Qardh.Selain itu, dalam rangka melindungi keseimbangan individual dan sosial dalam aktivitas ekonomi umat, maka Sistem Ekonomi Islam membuat proteksi yang tinggi dari segala penyimpangan perilaku ekonomi yang mengancam dan membahayakan keseimbangan tersebut. Untuk itu ada 8 (delapan) perilaku ekonomi menyimpang yang diharamkan syariat, yaitu : Ikrah (Pemaksaan), Ghashb (Perampasan), Gharar (Penipuan), Ihtikar (Penimbunan), Talaqqi Rukban (Pertengkulakan), Qimar (Perjudian), Risywah (Suap), dan Riba (Rente).Lebih dari itu, Sistem Ekonomi Islam tidak hanya menjaga keseimbangan antara hak individu dan hak sosial, bahkan antara hak Khaliq dan hak makhluq. Karenanya, Ekonomi Islam disebut sebagai Ekonomi Wasathiyah (Ekonomi Pertengahan) yaitu sistem ekonomi yang menjaga tawazun (keseimbangan) antara : Hak Allah dan Hak Manusia, Hak Dunia dan Hak Akhirat, Hak Individu dan Hak Sosial, Hak Rakyat dan Hak Negara.Berbeda dengan Sistem Ekonomi Barat, baik Kapitalis mau pun Komunis, yang hanya mengenal materi, angka dan untung-rugi, serta hanya bertujuan untuk : Pengendalian Pasar, Mengalahkan Pesaing, Memperkaya Diri dan Merugikan Orang. Sepintas memang Kapitalis berbeda dengan Komunis. Kapitalis sangat individualisme dimana secara teori hanya fokus kepada : Membela Individu dan Membunuh Sosial. Sedang Komunis sangat sosialisme dimana secara teori hanya fokus kepada : Membela Sosial dan Membunuh Individu. Namun jika diperhatikan lebih mendalam, ternyata keduanya sama bermadzhab Materialisme yang bertujuan materi semata, dan sama berperisai Demokrasi untuk menghalalkan segala cara agar bebas mengais keuntungan, sehingga pada prakteknya, baik Kapitalis mau pun Komunis, tetap saja sama mengorbankan rakyat kecil.Landasan sosio-ekonomi Barat, baik Kapitalis mau pun Komunis, adalah Riba yang merupakan cerminan dari pengambilan, kekejian, kekikiran, keegoisan dan ketamakan. Sedang landasan sosio-ekonomi Islam adalah Sedekah yang merupakan cerminan dari pemberian, kesucian, kemurahan, kesetia-kawanan dan ketulusan.Dengan demikian, Sistem Ekonomi Islam tidak bisa disamakan dengan Sistem Ekonomi Kapitalis yang kini tampil dengan Ekonomi Neo Liberal nya dan sering mengklaim sebagai Sistem Ekonomi Modern. Dan Sistem Ekonomi Islam juga tidak bisa disamakan dengan Sistem Ekonomi Komunis atau yang kini tampil dengan Ekonomi Neo Sosialis nya dan sering mengklaim sebagai Sistem Ekonomi Kerakyatan.Sistem Ekonomi Islam adalah sebuah sistem ekonomi sempurna yang sudah teruji dan telah membuktikan kesempurnaan sistemnya selama tidak kurang dari 1300 tahun, yaitu sejak dari awal abad ke 7 Miladiyah saat kepemimpinan Rasulullah SAW s/d awal abad ke 20 Miladiyah saat kejatuhan Kekhilafahan Islam. Dan kini, di Millenium ke-3, Sistem Ekonomi Islam mulai bangkit kembali, dan sistem ini pasti berjaya sebagaimana pernah berjaya sebelumnya. Sedang Sistem Ekonomi Barat yang kini dibanggakan, masih sangat muda sekali umurnya dan belum teruji dengan baik, bahkan kini sedang mengalami kebangkrutan global untuk menuju kehancuran.Kenapa Sistem Ekonomi Islam mampu berjaya sekian lama ? Jawabnya, karena sistem ini berciri ilahiah dan insaniah, dimana selalu menjaga keseimbangan aktivitas ekonominya. Lihat saja, di negeri-negeri Kapitalis pajak tinggi walau cari uang mudah, dan sebaliknya di negeri-negeri Komunis cari uang susah walau pajak rendah. Jadi, tidak pernah seimbang, selalu di posisi sulit bagi pelaku ekonominya. Sedang di Negara Islam yang berekonomi Islam, alhamdulillah, cari uang mudah dan pajak rendah. Itulah yang ditawarkan oleh Sistem Ekonomi Islam.Ironisnya, di negeri kita yang mayoritas berpenduduk muslim terbesar di dunia : cari uang susah dan pajak tinggi ! Kasihan betul rakyatnya. Solusinya : Tegakkan Sistem Ekonomi Islam ! Allahu Akbar !
READ MORE - Ekonomi Islam Yang Islamis