marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Senin, 22 Februari 2010

Memaulidkan kehidupan seperti kelahiran Nabi Muhammad SAw

Meneladani Maulid Nabi Muhammad saw.

The 100 (A Ranking Of Most Influential Persons In History)”Seratus Tokoh Yang paling berpengaruh dalam sejarah” adalah salah satu karya Michael H. Hart (lahir 28 April 1932) berkebangsaan Amerika, beragama nasrani. Bekerja pada NASA dan guru besar astronomi dan fisika perguruan tinggi di Maryland, AS. Ia sarjana fisika, astronomi, dan hukum dan pengarang buku laris. Buku ini terbit pada tahun 1978 memuat 100 tokoh yang ia rasa memiliki pengaruh terkuat dalam sejarah. Ternyata Nabi Muhammad saw. Termasuk urutan pertama dari sekian tokoh-tokoh yang termuat.

Lebih lanjut Hart mengatakan: “Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi”.

Sebelum Rasulullah saw. diutus menjadi rasul Allah swt, sudah banyak nabi dan rasul yang telah diutus kepada setiap generasi umat manusia untuk menyeru mereka ke jalan Allah. seperti disebutkan dalam surat al-Mukmin [40]: 78

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu….

Namun, di dalam al-Qur’an hanya terdapat 25 nabi dan rasul Allah yang diberitakan dalam berbagai surat dan ayat. Dari semua nabi dan rasul tersebut, secara kenabian Allah memang tidak pernah membedakan antara satu dengan yang lainnya. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 285

“Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali".

Akan tetapi, dalam hal penghargaan dan penghormatan, Allah swt. ternyata memberikan kelebihan antara satu dengan yang lainnya. Khusus kepada nabi Muhammad saw. Allah memberikan banyak penghargaan yang tidak diberikan kepada nabi dan rasul-Nya yang lain. Berikut kita lihat beberapa kelebihan yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw.

Pertama, bahwa Allah swt. memberikan segala sesuatu kepada nabi Muhammad, tanpa harus beliau memintanya kepada Allah. Lihat misalnya surat Alam Nasyrah [94]: 1-4

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? (1). Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu (2). yang memberatkan punggungmu? (3). Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu (4).”

Ayat ini turun berkaitan dengan kondisi Nabi saw. yang ketika itu dilanda stress berat akibat penolakan sebagain besar manusia terhadap dakwah beliau. Beliau merasa gagal, bahkan kegagalan tersebut dirasakan seolah beliau sedang memikul sebuah gunung batu di atas pundaknya, sehingga membuat tulang punggung belaiu mengeluarkan bunyi seperti suara yang dikeluarkan dahan dan ranting-ranting pohon yang beradu karena tiupan angin. Allah kemudian menghibur beliau dengan mengatakan betapa agung dan mulianya engkau wahai Muhammad! Kami telah melapangkan dadamu dari kesempitan dan kesulitan tanpa harus engkau memintanya. Kami yang telah mengangkat beban berat yang ada dipundakmu tanpa engaku harus memohonnya kepada-Ku. Kami juga yang telah mengangkat dan meninggikan namamu. Sehingga, setiap kali namu Aku disebut, nama engkau juga berada dibelakang-Nya. Setiap kali kalimat syahadat diucapakan mansuai, setaip kali itu pula naama-Ku dan namamu berbarengan.

Dalam surat Al-A’la [87]: 8, Allah juga menggambarkan kelebihan Rasulullah saw. dengan ungkapan;

“Dan Kami akan memberi kamu taufik kepada jalan yang mudah”.

Begitulah kelebihan yang diberikan Allah kepada nabi Muhammad saw. Coba kita bandingkan dengan nabi Musa as. seperti terdapat dalam surat Thaha [20]: 25-28

“Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku (25). dan mudahkanlah untukku urusanku (26). dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku (27). supaya mereka mengerti perkataanku (28).”

Kedua, nabi-nabi yang diutus sebelum Rasulullah saw. hanya untuk umat dan masa tertentu. Ajarannya tidak berlaku untuk umat lain di masa yang lain. Nabi Shalih hanya diutus kepada kaum Tsamud dan ajaran yang dibawanya hanyalah berlaku untuk kaum Tsamud saja, tidak umat lain. Nabi Hud hanya diutus oleh Allah kepada bangsa ‘Ad dan ajarannya hanya untuk bangsa itu, tidak bangsa lain dan seterusnya. Seperti disebutkan dalam surat Fathir [35]: 24

“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”

Akan tetapi, nabi Muhammad saw. diutus untuk semua manusia mulai dari manusia awal beliau menjadi rasul, sampai manusia akhir zaman di manapun mereka berada. Begitu juga, ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw berlaku sampai hari kiamat tanpa ada lagi penghapusan. Seperti disebutkan dalam surat Al-A’raf [7]: 158

"Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,…

Oleh karena itulah, Allah mengajak mansuia untuk memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada Rasulaullah. Seperti dalam An-Nur [24]: 53

“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)…”

Allah swt. melarang umat Islam memanggil nabi Muhammad saw. seperti panggilan kepada mansuia lain. Sehingga, sangat wajar kalau kita sebelum menyebut nama Muhammad saw. mengawalinya dengan sejumlah pujian yang kita berikan, baik di awal maupun di akhir. Seperti nabiyina, sayyidina, rasulina, habibina, syafi’ina, maulana Muhammad…dan akhirnya Shallallahu ‘Alihi Wasallama.

Beberapa waktu yang lalu, kita umat Islam sangat terusik dengan beredarnya karikatur nabi Muhammad saw. yang diterbitkan oleh sebuah majalah di Denmark. Karikatur itu menggambarkan nabi Muhammad saw. sebagai sosok manusia berwajah garang dengan sorban bertahtakan dan bermahkotakan bom. Karikatur ini ingin mengatakan kepada dunai, bahwa nabi Muhammad saw. adalah tokoh sentralnya teroris manusia. Bahkan, jika hari ini dia masih hidup, dialah orang yang selalu membawa bom ke manapun dia pergi. Sunggguh suatu pelecehan dan penghinaan yang sangat tidak bisa diterima.

Banyak umat Islam yang kesal, jengkel dan marah. Bahkan ada yang mengambil sikap keras, seperti membaikot segala macam produk Denmark ke Negara mereka seperti yang dilakukan Negara Sudan. Akan tetapi, tidak sedikit pula dari umat Islam yang acuh, “cuek” tidak tersinggung apalagi marah. Mungkin salah satunya adalah umat Islam di Indonesia.

Lalu kenapa kita umat Islam, tidak merasa sakit hati, terlukai atau bahkan marah ketika nabi Muhammad saw. dilecehkan sedemikian rupa? Jawabannya adalah bahwa kita tidak lagi mencintai Rasulullah saw. atau bahkan kita sudah tidak mengenal beliau lagi sebagai sosok manusia agung dan sempurna yang jauh dari cacat dan kekurangan apalagi kehinaan.

Oleh karena itulah, dengan peringatan maulid nabi besar Muhammad saw. kali ini, kita jadikan momentum untuk menggali kembali perjalanan hidup belaiu guna dijadikan teladan, sekaligus menumbuhkan kecintan kepada beliau. Sebab, kecintaan kepada Rasulullah saw. adalah sebagai syarat seseorang mendapatkan cinta dan kasih sayang Allah swt. Lihatlah surat Ali imran [3]: 31

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Suatu renungan bersama bagi kaum muslimin ucapan Michael H Hart di atas dan sudah seharusnya sebagai pengikut Nabi Muhammad saw. meneladani kehidupan beliau. Karena beliau bukan hanya seorang nabi, tapi juga pemimpin, pejuang, politikus, enkonom yang bisa menyelaraskan kehidupan dunia dengan akhirat dengan berbasis dua internal behaviour :jujur ( as-shidiq) dan dipercaya (amanah). Mudah-mudahan suatu saat nanti kita menemui sosok seorang pemimpin, para pejabat muslim yang selalu setia mencontoh kepribadian Nabi Muhammad saw. Bukan seperti Fir’aun dan Qarun yang slalu mengekploitasi tenaga orang lain dan memperkaya diri untuk kepentingan sendiri Wallahu a’lam.

READ MORE - Memaulidkan kehidupan seperti kelahiran Nabi Muhammad SAw

Rabu, 10 Februari 2010

berikanlah yg paling terbaik

Berikanlah Yang Terbaik!

Give first, receive second inilah sebuah adagium seharusnya selau ditanamkan dalam jiwa seseorang. Memberilah terlebih dahalu, baru menerima. Tulisan berikut ini mengajak kita untuk

Dalam surat Ali Imran [3]: 92 Allah swt berfirman

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan (mempersembahkan) sesuatu yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Dalam ayat di atas Allah swt menegaskan bahwa manusia tidak akan pernah memperoleh kebaikan yang sempurna (al-birr), sebelum mempersembahkan apa yang paling dia cintai atau sesuatu yang terbaik dari apa yang dia miliki. Allah swt memang tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud kebaikan yang sempurna itu (al-birr). Namun, untuk mengetahui bentuk kebaikan yang sempurna atau dalam bahasa al-Qur’an disebut al-birr, maka perlu kiranya merujuk kepada lawan dari kata al-birr itu sendiri.

Dalam surat al-Ma’idah [5]: 2 Allah swt berfirman

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan (al-birr)dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa (al-itsm) dan pelanggaran (al-‘udwân). Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Dalam ayat di atas, Allah swt menyebutkan dua hal yang menjadi lawan kata al-birr. Pertama, al-itsm yang berarti dosa, di mana dosa adalah sesuatu yang membuat manusia jauh dari Allah swt. Dosa juga yang membuat manusia jauh dari ketenangan dan kebahagian hidup. Begitu juga, dosa membuat manusia jauh dari rahmat dan kasih sayang Tuhan, serta dekat dengan azab-Nya. Maka makna al-birr dalam bentuk pertama adalah ketenangan dan kebahagiaan batin yang dirasakan oleh seseorang, karena dekat dengan Tuhan dan mendapat rahmat serta kasih sayang-Nya. Dengan demikian, Allah swt menegaskan bahwa manusia tidak akan pernah memperoleh kebahagiaan dan ketenangan batin serta rahmat dan kasih sayang Tuhan, sebelum mempersembahkan yang terbaik atau sesuatu yang paling dicintainya.

Kedua, al-‘udwân yang berarti permusuhan, di mana permusuhan adalah kondisi seseorang yang tidak memiliki hubungan yang bagus dengan sesama manusia. Permusuhan berarti seseorang jauh dari penghargaan, keharmonisan, serta kasih sayang manusia lain. Oleh karena itu, makna al-birr yang kedua adalah hubungan yang baik dan harmonis, penghomatan, serta kasih sayang orang lain. Dengan demikian, Allah swt menegaskan bahwa manusia tidaklah akan pernah memperoleh perhargaan, dan kasih sayang orang lain sebelum memberikan yang terbaik untuk mereka.

Oleh karena itu, al-birr dalam konteks ayat di atas adalah hubungan yang baik dengan Allah swt, dan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Al-birr juga berarti penghargaan atau kedudukan terhormat di sisi Allah swt, berikut penghargaan serta kedudukan terhormat di hadapan manusia. Hal inilah yang digambarkan Allah swt terhadap nabi Ibrahim as. di mana ketika dia mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya, yaitu anak yang paling dicintainya untuk dikorbankan, Allah swt menjadikannya sebagai orang muhsinîn. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat ash-Shafat [37]: 110

“Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik(muhsinin).”

Muhsinîn adalah prestasi tertinggi yang dicapai makhluk di hadapan Tuhan. Sebab, kesediaan seseorang memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya, Allah akan menjadikannya sebagai orang yang paling dicintai dan dikasihi-Nya. Tentu, tiadalah kebahagiaan tertinggi selain menjadi orang yang paling dicintai Allah swt. firman-Nya dalam surat al-Ma’idah [7]: 13

“…maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”

Sedangakan di hadapan manusia, Allah swt akan menjadikannya ikutan, patron, teladan, contoh, serta buah bibir bagi manusia lain. Seperti yang diperoleh Ibrahim as. ketika mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Firman Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 124

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan banyak ujian, lalu semua ujian itu diselesaikannya dengan sangat sempurna maka Allah berfirman Saya menjadikan engkau imam (pemimpin) untuk manusia, Ibrahim berkata; jadikan juga keturunanku menjadi imam. Allah menjawab janji-Ku tidak akan mengenai orang yang zhalim.”

Ibrahaim as. adalah manusia yang selalu menjadi ikutan, panutan, bahkan akan selalu menjadi buah bibir manusia sepanjang masa. Semua agama besar (agama langit/samawi) saling “menklaim” bahwa Ibrahim as adalah golongan mereka. Bahkan beliau digelari “Bapak Monoteis” atau tokoh sentralnya agama tauhid. Itulah jaminan Allah swt kepada Ibrahim as. setelah beliau mempersembahkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Dia akan selalu menjadi teladan dan imam bagi semua manusia khususnya penganut agama tauhid.

Begitulah penghargaan Allah swt terhadap manusia, jika memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Sepanjang masa, dia akan menjadi ikutan, contoh, teladan, imam, serta buah bibir manusia lain. Agaknya itulah yang dimaksud oleh Allah dengan al-birr atau kebaikan yang sempurna. Akan berbeda halnya dengan manusia yang kikir yang bukan saja jauh dari manusia, tetapi juga jauh dari Allah swt. Karena manusia yang kikir akan dekat dengan dosa (al-itsm) dan dekat dengan permusuhan serta kebencian manusia lain.

Ibn al-Jad’an seorang tabi’in pernah menceritakan apa yang pernah di alaminya ketika dia mepersembahkan sesuatu yang terbaik. Katanya, suatu ketika aku pernah memberikan kepada tetanggaku yang miskin, seekor unta yang sangat gemuk dengan air susu terbanyak dari unta-unta yang saya miliki berikut anaknya. Aku berkata kepadanya “Ambillah unta ini hai saudaraku, peliharalah anaknya ini, engkau ambillah air susunya untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anakmu, dan anak unta ini jika sudah besar, engkau boleh menjualnya untuk dijadikan modal usahamu”. Aku melihat alangkah bahaginya tetanggaku itu, dan kehidupannya sedikit lebih membaik dari sebelumnya.

Tidak lama kemudian, datanglah musim panas sehingga kekeringan melanda tempat tinggalku. Aku kemudian berupaya mencari sumber air untuk kebutuhan keluarga dan ternakku. Hingga akhirnya aku menemukan lobang sumur tua di padang pasir. Ketika aku melihatnya tiba-tiba aku terpeleset masuk ke dalam lobang sumur tua itu. Saya yakin kalau saya akan mati di dalamnya, karena tidak akan mungkin ada orang yang akan menemukan saya.

Saya pun merasa sangat lapar dan haus ketika berada di dalam sumur itu, namun saat lapar dan haus saya memuncak, tiba-tiba aku rasakan mulut kendi mendekati mulut saya. Dari mulut kendi tersebut keluarlah air susu, sehingga saya meminumnya. Begitulah terus menerus yang terjadi selama kurang lebih satu minggu. Sampai akhirnya, saya ditemukan oleh tetangga yang saya berikan unta kepadanya. Ternyata semenjak saya menghilang dia selalu berusaha mencari saya, bahkan usaha pencarian yang dilakukannya melebihi usaha yang dilakukan keluarga saya sendiri.

Dari kisah tersebut, dapat ditarik pelajaran bahwa ketika seseorang memberikan sesuatu yang terbaik, maka Allah swt akan memberikan perlindungan kepadanya. Sebab, Allah sudah menjamin bahwa orang tersebut adalah yang paling dikasihi-Nya. Begitu juga, jika seseorang memberikan yang terbaik kepada orang lain, maka orang lain pun akan memberi atau berbuat yang terbaik pula untuknya. Karena siapa yang berbuat baik maka kebaikan itu akan kembali untuk dirinya sendiri.

READ MORE - berikanlah yg paling terbaik

Kamis, 04 Februari 2010

Mencari Aparatur Yang Ideal Menurut al-Qur'an

Oleh Robi Kurniawan, MA

Dosen&Muballigh Batam Kota

Aparatur Yang Ideal Menurut Al-Qur’an

Sudah menjadi sunantullah dalam sejarah perjalanan peradaban yang dibangun manusia, bahwa sekelompok orang yang membentuk sebuah komunitas, pasti memiliki pemimpin dan penguasa tempat mereka menyerahkan urusan. Namun demikian, dalam catanan sejarah tidak pernah satupun pemimpin umat atau masyarakat yang mampu menjalankan kekuasaannya seorang diri. Sekuat dan secakap apapun seorang penguasa, pastilah mereka memeliki para pembantu dalam berbagai macam bentuk dan sebutan. Dan yang populer untuk sebutan seorang pembantu raja atau kepala negara adalah menteri atau pejabat negara.

Di dalam al-Qur’an, Allah swt memberikan tuntunan kepada para penguasa, raja dan sebagainya untuk memilih para menteri, pembantu atau pejabat yang akan membantu menjalankan kekuasaan mereka. Sehingga, para pembantu yang mereka pilih adalah orang yang mampu menolong dan menyelesaikan masalah dan kesulitan yang dihadapi sang penguasa dalam menjalankan kekuasaannya, bukannya akan mendatangkan masalah atau bahkan menjadi masalah baginya.

Setidaknya, ada empat surat di dalam al-Qur’an yang membicarakan kriteria aparatur,menteri atau pejabat ideal;

Pertama, surat Yusuf [12]: 54

“Dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang kuat lagi dipercaya pada sisi kami".

Ayat di atas menceritakan kisah nabi Yusuf yang diangkat menjadi menteri dan pejabat Mesir urusan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Raja mengangkat Yusuf menjadi pembantunya, karena melihat dua hal dalam diri Yusuf; kekuatan dan kejujuran.

Seorang menteri, pejabat atau pembantu raja, mestilah seorang yang kuat, cakap, cerdas, ahli serta profesional di bidangnya. Sebab, jika seorang raja menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, tuntulah dia akan membinasakan diri dan rakyat serta kekuasaannya.

Namun demikian, kecakapan dan profesioanalisme saja tidak cukup untuk dijadikan alasan mengangkat seseorang menjadi pejabat negara. Dia mestilah memenuhi syarat kedua yang tidak boleh dipisahkan, yaitu amanah atau kejujuran. Betapa banyak para pejabat suatu negeri yang pintar, cerdas dan propesional, akan tetapi merekalah yang menjadi penyebab kehancuran bangsanya. Hal itu disebabkan, karena para pejabat yang menjalankan kekuasaan bukanlah pejabat yang amanah. Jika amanah tidak dimiliki, tentulah rasa aman dan nyaman juga akan jauh dari suatu bangsa dan masyarakat.

Kedua, surat al-Qashsah [28]: 34

“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan) ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku".

Ayat ini menceritakan kisah nabi Musa as. ketika hendak menghadapi Fir’aun yang terkenal kecakapan dan kekutannya. Sehingga, Musa sebagai pemimpin bani Israel merasa tidak mampu mengahadapi kekuatan Fir’aun seorang diri. Maka dia berdo’a kepada Allah agar ditunjuk untuk seorang pembantu (menteri). Seperti disebutkan dalam surat Thaha [20] :29-30

“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku (29). (yaitu) Harun, saudaraku (30).”

Kriteria pejabat atau menteri yang dipilih dalam ayat di atas adalah seorang yang memiliki kemampuan bicara yang bagus, emosi yang cerdas serta kemampuan beretorika. Seorang menteri yang menjadi pembantu seorang raja atau penguasa mestilah orang yang cakap dan pintar dalam berbicara. Tutur kata seorang pejabat negara haruslah rapi dan tersusun dengan baik. Sebab, seorang pejabat adalah gambaran dari peradaban masyarakat yang sedang dipimpinnya.

Ketiga, surat at-Taubah [9]: 40

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Ayat di atas, berbicara tentang Abu Bakar ash-Shiddiq yang mendampingi nabi, ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Ketika bersembunyi di gua Tsur, Rasulullah ketakutan kerana diluar gua orang-orang kafir Quraisy dengan persenjataan lengkap, hampir menemukan mereka berdua dan siap hendak membunuh beliau dan Abu Bakar. Namun, di saat genting dan mencemaskan itulah Abu Bakar memberikan hiburan dan ketenangan kepada Rasulullah saw. dengan ungkapan beliau yang terkenal, “Janganlah engkau cemas wahai Rasulullah, seseungguhnya Allah bersama kita.”

Ayat di atas menggambarkan Rasulullah sebagai seorang penguasa dan pemimpin, sedangkan Abu Bakar berperan sebagai pendamping, pembantu atau menteri beliau. Apa yang dilakukan Abu Bakar adalah cerminan pembantu atau menteri yang ideal, di saat genting dan mencemaskan seorang menteri haruslah mampu memberikan ketenangan kepada seorang raja dan kepala negara. Teramat buruk seorang menteri, jika disaat genting tidak mampu memberikan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi seorang penguasa. Dan tentu terlebih buruk lagi, jika ada pejabat negara tau menteri yang bukannya mempu mendatangkan ketenangan kepada penguasa yang sedang panik dan gelisah, malah menambah kepanikan atau mendatangkan kekacauan yang sebelumnya sangat tenang dan damai.

Keempat, surat an-Naml [27]: 39-40

“Berkata `Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya" (39). Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni`mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia" (40).”

Ayat di atas menceritakan kisah nabi Sulaiman as, dengan para pejabat kerajaannya dari jin dan manusia. Ketika hendak mengangkat istana ratu Balqis ke Palestina, Sulaiman menyerahkan urusannya kepada para pembesarnya yang memiliki kemampuan mengangkat dan memindahkan istana ratu Balqis. Ketika itulah jin Ifrit berkata bahwa ia mampu mengangkat istana Balqis sebelum Sulaiman berdiri. Dia berkata demikian, karena dua alasan; kekuatan yang dimilikinya serta kejujurannya. Akan tetapi, seorang pembantunya dari manusia berkata, bahwa dia mampu mengangkat dan memindahkan istana ratu Balqis, sebelum mata Sulaiman berkedip. Kemampuannya memindahkan istana secepat itu, bahkan lebih cepat dari raja jin, adalah kekuatan, kujujuran, serta ilmu yang benar dari al-Kitab yang sebanding dengan amalnya. Sebab, di dalam al-Qur’an tidak disebutkan seorang yang berilmu dalam bentuk pujian, kecuali orang yang sempurna mengamalkan ilmunya.

Sehingga, seorang menteri atau pejabat negara yang ideal, bukan hanya cakap, cerdas, jujur, namun juga seorang yang shaleh. Seorang pejabat negara semestinya orang yang berilmu banyak dan berwawasan luas, serta cakap dalam menyelesaikan masalah negara, sekaligus juga seorang yang ilmunya berbanding lurus dengan amalnya. Jika para pejabat negara seperti itu, pastilah sebuah neraga akan besar dan jaya serta masyarakatnya akan makmur dan tantram.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat membantu kaum muslimin dalam menentukan pilihan terhadap pemimpin, kepala daerah sesuai dengan garis-garis besar haluan al-Qur’an. Wallahu a’lam.

READ MORE - Mencari Aparatur Yang Ideal Menurut al-Qur'an