marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Sabtu, 29 Mei 2010

Khairu Ummah (Umat Terbaik)

Setiap makhluk diberikan Allah fitrah atau naluri untuk hidup berkelompok. Kelompok-kelompok tersebut dibangun biasanya berdasarkan unsur kesamaan yang mereka miliki. Kelompok makhluk Tuhan inilah yang disebut dengan nama ummat, dan manusia adalah salah satu bentuk kelompok tersebut. Akan tetapi, dari sekian banyak bentuk ummat, dalam al-Qur’an terdapat istilah khairu ummah yang berarti umat terbaik; sebuah penamaan yang diperuntukan bagi umat Islam. Kata Khairu Ummah tersebut terdapat dalam surat Ali ‘Imran [3]: 110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ…
Artinya: “Adalah kamu sebaik-baik umat yang diutus untuk manusia menyuruh berbuat baik (ma’ruf) dan mencegah dari perbuatan munkar dan beriman kokoh kepada Allah…”
Ummat seperti yang telah disebutkan, ia diartikan sebagai suatu kelompok yang dihimpun oleh suatu kesamaan. Kesamaan itu bisa agama, waktu, tempat, jenis dan sebagainya. Oleh karena itulah, burung yang diikat kesamaan jenis sebagai binatang yang memiliki sayap dan terbang, dalam al-Qur’an disebut umat. Seperti yang terdapat dalam surat al-An’am [6]: 38
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ....
Artinya: “Dan tidak satupun binatang melata di bumi dan tidak pula burung yang terbng mengembangkan kedua sayapnya kecuali mereka adalah umat-umat seperti kamu…”
Umat Muhammad saw adalah umat terbaik dari semua aspek yang mengikat kesamaan tersebuat. Misalnya dari sisi agama, betapa tidak karena Allah swt telah menegaskan dalam surat al-Maidah [5]: 6, “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku sempurnakan atas kamu nikmat-Ku dan telah Ku ridhai Islam sebagai agamamu”. Agama Islam yang dibawa nabi Muhammad saw adalah agama yang paling terakhir dan paling sempurna. Sebab, tidak ada lagi nabi yang akan diutus Allah untuk merobah ajaran agama ini. Segala sesuatunya telah sempurna dan tidak akan megalami perobahan sampai akhir zaman. Hal ini tentu berbeda dengan agama dan ajaran nabi untuk umat-umat lalu, yang hanya berlaku untuk waktu tertentu dan umat tertentu. Inilah bukti bahwa umat Islam sebagai umat terbaik dari sisi agama.
Dari segi waktu atau masa hidup, umat Islam juga merupakan umat terbaik. Sebab, dalam surat al-Hadid [57]: 9, Allah swt berfirman, “ Dialah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang nyata supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dan sesungguhnya Allah terhadap kamu maha pengampun lagi penyayang”. Hal itu menunjukan bahwa umat Muhammad hidup dalam masa dan kedaan, yang jauh lebih baik dari umat lalu. Sebab, umat lalu hidup dalam zaman kegelapan, baik akidah maupun peradaban. Saat ini umat Islam telah mencapai apa yang zaman dulu mustahil bagi manusia, seperti naik pesawat, mobil dan sebagainya.
Umat Islam juga umat terbaik dari sisi wilayah atau tenpat tinggal. Betapa tidak, bahwa di manapun negara Islam atau negara yang berpenduduk muslim merupakan negara yang kaya raya. Seperti Indonesia yang merupakan negara paling subur dan disebut sebagai “sorga Allah” di bumi. Negara-negara Arab, walaupun tidak subur tetapi kaya dengan sumber-sumber minyak yang menjadi urat nadi kehidupan dunia. Begitulah Allah jadikan umat Islam sebagai umat terbaik dari segi tempat tinggal.
Dari segi jenis sudah dapat dipastikan bahwa jenis manusia adalah umat terbaik bila dibandingkan jenis lain, “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik penciptaan” (Q.S. at-Tin [95]: 4.
Namun demikian, jika kita kembali kepada surat Ali Imran [3]: 110 tentang pembicaraan Allah terhadap umat Islam sebagai umat terbaik, akan ditemukan sebab yang menjadikan kondisi dan sebutan itu tetap melekat pada diri mereka. Umat Muhammad saw. akan tetap menjadi umat terbaik disebabkan tiga hal; yaitu,
1. Menyuruh kepada yang baik (Ma’rûf)
Ma’rûf adalah perbuatan yang baik, tidak hanya baik menurut aturan syari’at yang digariskan Allah swt, tetapi juga yang dianggap baik menurut pandangan manusia kebanyakan, selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama. Norma yang sudah berlaku ditengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama disebut ma’rûf, dan umat Muhammad saw. berkewajiban menegakannya.
Namun demikian, menegakan yang ma’rûf tidaklah pekerjaan gampang. Karena pelaksaannya bisa sempurna kalau umat Islam menjadi penguasa dan pemegang sekaligus pengambil kebijakan. Itulah agaknya kenapa kata pemimpin yang mesti dipatuhi, Allah sebutkan dalam surat an-Nasa’[4]:59 dengan Uli al-Amr, berasal dari kata Amar yang berarti menyuruh. Hal itu menunjukan bahwa pelaksanaan Amar Ma’rûf bisa sempurna kalau dilakukan oleh penguasa atau pemerintah. Dengan demikian, umat Muhammad saw. menjadi umat terbaik kalau mereka yang menjadi penguasa, pengambil kebijakan dan menjalankan kebijakan tersebut.
2. Mencegah dari perbuatan munkar
Munkar berarti perbuatan yang tidak dikenal sebagai kebaikan, baik oleh agama maupun oleh masyarakat, selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama. Oleh karena itu, adat istiadat yang berlaku di tengah masyarakat tidak boleh dilanggar, karena hal itu berarti munkar sekalipun tidak melanggar agama. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia merobahnya dengan tangannya (kekuasaannya), jika tidak mampu robahlah dengan lidahnya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah iman yang paling lemah”.



3. Beriman kokoh kepada Allah
Iman yang kokoh tidak diperoleh dengan cara yang gampang. sebab, syaithan telah berjanji dan bersumpah dihadapan Tuhan akan menggelincirkan iman manusia bahkan akan mencabutnya dari dalam hati manusia, sehingga mereka menjadi pengikutnya. Untuk memiliki iman yang kokoh manusia harus memiliki beberapa hal, yaitu;
a. Ilmu yang luas
Hal ini dikerenakan kebodohan merupakan gerbang utama syaithan menggoyahkan dan memalingkan manusia dari kebenaran. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat an-Nisa’[4]: 120, “Syaithan menjanjikan mereka janji-janji kosong dan membuat angan-angan mereka panjang, padahal janji syaithan itu hanyalah tipu daya saja”. Adalah sudah menjadi sebuah kepastian, bahwa kebodohan menjadikan seseorang tidak punya pendirian, karena dengan mudah orang lain merobah dirinya termasuk juga keyakinannya.
b. Kematangan materi
Untuk tidak menyebut kaya, karena kekayaan juga bersifat relatif dalam pandangan manusia. Tetapi, bahwa syarat seorang bisa memiliki iman yang kokoh adalah memiliki kecukupan harta, sehingga dia tidak memiliki ketergantungan kepada pihak lain. Sebab, kemiskinan juga gerbang utama syaithan menggelincirkan bahkan mencabut iman manusia seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 268, “Syaithan menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji, dan Allah menjanjikan kamu ampunan dan karunia dari sisi-Nya dan Allah Maha Luas Karunia-Nya lagi Maha Mengetahui”. Betapa banyak hari ini kita saksikan, sebagian manusia yang rela meninggalkan keyakinannya hanya karena “sesuap nasi” atau “sebungkus supermi”. Benar sekali apa yang pernah dikatakan Rasullah saw kâda al faqru an yakûna kufran (Kefakiran dekat kepada kekafiran).
c. Sehat fisik, mental maupun rohani
Iman yang kuat bisa diperoleh dalam badan yang sehat, karena penyakit juga merupakan gerbang masuknya godaan syaithan. Itulah yang terjadi pada diri salah seorang nabi Allah, Ayyub as, “Dan ingatlah hamba Kami Ayyub ketika dia memanggil Tuhannya sesungguhnya saya digoda syaitahn dengan penyakit dan derita saya” (Q.S. Shad [38]: 41). Betapa seringkali manusia mengumpat dan mencela, ketika mereka ditimpa penyakit. Bahkan ada sebagian manusia yang “menggerutu” kepada Allah bahkan berpaling dari agamanya.
Oleh karena itu, umat Muhammad saw. akan tetap sebagai uamt terbaik, jika memiliki iman yang kokoh melalui ilmu yang luas, kemapanan materi dan kesehatan jasamani dan rohani. Bila ini tidak dimiliki maka umat terbaik hanyalah sebuah impian yang tidak akan pernah terwujud.
READ MORE - Khairu Ummah (Umat Terbaik)

Kamis, 27 Mei 2010

Meniru Ahklak Tuhan

Opini Jum’at
Oleh : Robi Kurniawan, MA
Dosen&Muballigh Batam Kota

Meniru Akhlak Tuhan

“Ada dua perkara yang jika Anda Amalkan, Anda akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat: Menerima sesuatu yang tidak Anda sukai, jika sesuatu itu disukai Allah. Dan membenci sesuatu yang Anda sukai, jika sesuatu itu dibenci oleh Allah.”
(Abu Hazim)
Pengakuan seorang hamba bahwa dia mencintai Allah swt bukanlah basa basi mulut seperti seseorang yang mencintai sang pujaan hati di depannya, setelah pergi dia selingkuh dengan yang lain. Akan tetapi sebuah confidensi atau keyakinan total seluruh jiwa dan raga di mana maupun ke mana hamba tersebut pergi dan berada. Mencintai Allah berarti kita harus siap meniru akhlakNya yang Maha Mulia.
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah saw. bersabda;
“Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah”.
Dalam bahasa lain bisa diartikan, “contohlah dan teladanilah sifat-sifat Allah”. Di dalam al-Qur’an, setidaknya Allah swt memperkenalkan 99 akhlak atau sifat-Nya, yang disebut dengan istilah al-Asma’ al-Husna. Bahkan kita diperintahkan setiap berdo’a dan meminta dengan menyebut sifat-sifat Allah tersebut. Sebagaimana dipaparkan dalam surah al-A’raf ayat 180:
“Allah memiliki asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna”.
Nama, sifat, atau akhlak yang diperkenalkan Allah swt, di dalam al-Qur’an tersebut tentu bukan hanya untuk tujuan dibaca, dihafal atau didendangkan. Akan tetapi, lebih jauh dari itu bagaimana semua sifat dan akhlak yng telah diperkenalkan Allah kepada manusia, dicontoh dan diteladani dalam kapasitasnya sebagai makhluk. Salah satu ayat yang membicarakan tentang akhlak dan sifat Allah swt, adalah surat al-Hasyar [59]: 23َ
“Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja(al-Malik), Yang Maha Suci(al-Quddus), Yang Maha Sejahtera(as-Salam), Yang Mengaruniakan keamanan(al-Mukmin), Yang Maha Memelihara(al-Muhaimin), Yang Maha Perkasa(al-Aziz), Yang Maha Kuasa(al-Jabbar), Yang Memiliki segala keagungan(al-Mutakabbir), Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Dalam ayat di atas, Allah swt memperkenalkan delapan akhlak atau sifat-Nya yang mesti dicontoh dan diteladani oleh makhluk-Nya.
Sifat pertama yang diperkenalkan Allah swt, bahwa Dia menyebut diri-Nya sebagai al-Malik yang secara harfiyah berarti Raja atau Pemilik. Setidaknya ada dua hal yang menjadi ciri al-Malik atau Raja. Pertama, bahwa raja adalah yang memberikan perintah atau larangan, menetapkan sesuatu atau mencabut sesuatu. Kedua, raja adalah tempat mengadu bagi semua orang. Begitulah Allah swt sebagi Raja. Bahwa Diri-Nya adalah Dzat Yang memerintah, melarang, menetapkan sesuatu serta mencabut sesuatu dari Makhluk-Nya. Allah memiliki kekuasaan yang mutlak. Begitu juga Allah swt adalah tempat bermuaranya semua pengaduan Makhluk. Dan semua yang datang mengadu kepada-Nya secara pasti akan diberikan jalan keluar dari masalahnya.
Begitulah yang mesti kita contoh dari sifat Allah, bahwa setiap kita juga harus menjadi al-Malik atau raja. Raja bagi dunia, bagi bangsa, bagi masyarakat, bagi keluarga atau setidaknya menjadi raja bagi diri kita sendiri. Menjadi raja dalam diri kita berarti kitalah yang memerintah, melarang, menetapkan atau mencabut sesuatu dari diri kita. Diri kita tidak diperintah oleh hawa nafsu, keinginan-keinginan yang rendah, iblis ataupun syitan.
Begitu juga, bahwa kita juga harus menjadikan diri kita tempat meminta dan mengadu bagi orang lain, disebabkan apa yang kita miliki, seperti harta, ilmu, keahlian dan sebagainya, apalagi posisi atau jabatan yang dimiliki dan yang dipercayakan orang lain kepadanya sebagai kepala atau pemimpin. Tidak salah memang kalau manusia meminta kepada orang lain. Akan tetapi, yang terbaik adalah menjadi tempat meminta seperti yang dikatakan Rasulullah saw. Bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, begitulah sifat raja atau al-malik.
Kedua, Allah swt. Menyebut diri-Nya sebagai raja yang al-Quddus. al-Quddus secara harfiyah berati suci. Allah sebagai Raja adalah raja yang suci, jauh dari aib, cacat, hal-hal yang kotor, kekejian dan sebagainya. Betapa banyak manusia, yang jikalau menjadi raja atau pemimpn adalah raja yang kotor dan keji, seperti disebutkan dalam surat An-Naml [27]: 34
“Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka merusak dan membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat”.
Secara kebahasaan, setidaknya ada tiga hal yang menjadikan sesuatu itu quddus (suci). Pertama, kebenaran, kedua, keindahan, dan ketiga kebaikan. Allah sebagai Raja, jika memerintahkan sesuatu kepada makhluk-Nya pastilah perintah Allah itu selalu benar, indah dan kebaikan bagi makhluk tersebut. Jika Allah menetapkan dan memutuskan sesuatu untuk hamba-Nya, pastilah ketetapan dan keputusan Allah itu benar, indah dan berguna atau mengandung kebaikan. Begitulah quddus-Nya Allah.
Inilah sifat yang juga mesti kita ikuti sebagai makhluk, bahwa apapun yang akan kita katakan ataupun yang akan dilakukan mestilah memiliki sifat quddus, bahwa sesuatu itu harus benar, indah dan mengandung kebaikan. Oleh karena itu, jika kita hendak mengatakan sesuatu fikirkanlah apakah sudah benar yang dikatakan itu, atau apakah sudah indah cara kita menyampaikannya, atau seberapa besar manfaat dan kebaikan dari apa dikatakan itu. Begitu juga, jika kita hendak memperbuat sesuatu, maka fikirkanlah apakah perbutan itu sudah benar, sudah indah dan berguna baik bagi diri kita maupun bagi orang lain. Perkataan yang menghina sehingga orang lain resah dibuatnya adalah langkah orang tersebut menuju kebinasaan cepat atau lambatnya. Jika dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya dari orang lain, janganlah hendaknya ia mengatakan kata-kata iblis, setan, biadab, babi dan kata yang penuh mudharat dari pada manfaat. Alangkah indahnya kehidupan manusia, jika semua orang selalu mencontoh sifat quddusnya Tuhan dalam setiap perkataan maupun perbuatan mereka. Tidak akan ada pertentangan, permusuhan, percekcokan, perkelahian apalagi pembunuhan jika manusia mencontoh sifat Quddus yang diperkenalkan Allah kepada Makhluk-Nya.
Ketiga, Allah swt. Memperkenalkan dirinya sebagai as-Salam yang secara harfiyah berati selamat, jauh dari cacat, aib dan kekurangan. Begitulah Allah, bahwa apapun yang didatangkan Allah kepada Makhluk-Nya pastilah berupa keselamatan. Andaikata itu berupa musibah, tetap saja itu merupakan kebaikan dan keselamatan. Sesuatu dipandang musibah hanyalah dikarenakan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia dalam memahami Allah yang Maha Besar. Sebab, betapa banyaknya hal-hal yang datang kepada manusia menjadikan manusia menangis dan meratap di kala itu, namun setelah waktu berlalu barulah dia menyadari bahwa yang dulu ditangisi adalah kabaikan yang sekarang justru membuat dia menjadi tertawa. Belum tentu setiap yang dicintai hamba baik menurut Allah atau setiap yang dibencinya ternyata baik menurut Allah.
Begitu juga Allah adalah Dzat yang jauh dari aib, cacat dan kekurangan. Dalam diri Tuhan tidak ada sifat, kikir, marah, dendam, malas dan sebagainya. Sebab, itu semua adalah aib dan kekuarangan. Dalam surat ar-Rahman [55]: 29, Allah swt berfirman
“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibuka’ .
Begitulah Allah swt sebagai Dzat yang selalu punya kesibukan dan tidak pernah mengenal waktu kosong dan luang. Sebagai salah satu bentuk sifat as-Salam, jauh dari aib dan cacat serta kekurangan. Kita mencontoh as-salam Tuhan, bahwa kita berupaya sekuat tenaga membuang segala sifat-sifat negatif dalam diri kita, seperti sifat kikir, marah, dendam, pemalas dan sebagainya.
Keempat, Allah swt, memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Mu’min yang berarti pemberi rasa aman. Allah bukan hanya selamat diri-Nya dari segala aib dan kekuarangan, tetapi lebih jauh Allah adalah pemberi rasa aman bagai semua makhluk-Nya. Begitulah yang ditegaskan-Nya dalam surat al-Quraisy [106]: 4
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.
Begitulah sifat Allah yang semestinya kita contoh, bagaimana kita menjadi makhluk yang mampu memberikan rasa aman kepada siapapun. Seorang yang mukmin tidak hanya sekedar amanah dan bisa dipercaya, tetapi lebih jauh mampu menjamin keamanan kepada siapapun yang meminta rasa aman. Seorang pegawai yang mukmin adalah pegawai yang tidak hanya bisa jujur dalam bekerja ketika diawasi, tetapi dia juga bisa bekerja dengan penuh kejujuran sekalipun tanpa pengawasan. Sebab, dia selalu yakin kalau Allah selalu menyertainya dalam setiap apapun yang dilakukan.
Kelima, Allah memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Muhaimin yang berarti Pengawas dan Pemelihara. Allah bukan hanya pemberi keselamatan dan rasa aman, tetapi Allah juga mengawasi dan memelihara makhluk-Nya. Oleh karena itulah, di alam ini dikenal istilah sunnatullah dan inayatullah. Jika terjadi kecelakaan pesawat terbang, maka sunnatullahnya semua penumpang mati. Akan tetapi, jika ada penumpang yang selamat bahkan tidak terluka sedikitpun, maka ketika itu dia mendapat inayatullah atau pertolongan Allah melalui pengawasan dan pemeliharaannya. Bukankah Allah mengatakan, Bahwa tidak ada satupun jiwa kecuali telah disediakan untuknya malaikat yang akan menjaga dan memeliharanya. Lihat surat at-Thariq [86]: 4
“tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya”.
Begitulah sifat Allah yang mesti kita contoh, kita tidak hanya mampu memberikan rasa aman, tetapi juga bisa mengawasi dan menjaga apa yang diamanahkan kepada kita. Jika seseorang tidak membuang sampah di sembarang tempat atau dia bersedia memungut sampah di tempat umum, maka dia berhak disebut mukmin. Akan tetapi, jika ada orang lain yang membuang sampah di tempat umum di hadapan matanya dan dia membiarkan saja, maka ketika itu dia tidaklah bisa disebut muhaimin. Sebab dia tidak bisa menjadi pengawas atau pemelihara agar sampah tidak bertebaran di tempat umum. Dan banyak contoh lain yang bisa dijadikan pengajaran dalam kehidupan ini. Begitulah bentuk muhaimin yang semestinya kita contoh dari Allah.
Keenam, Allah memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Aziz yang Maha Perkasa dalam artian bahwa Allah adalah Dzat yang tidak pernah bisa dikalahkan. Allah swt, tidak akan pernah dikalahkan oleh siapun dan sampai kapanpun. Begitulah sifat yang juga semestinya kita miliki dalam menjalani kehidupan di dunia ini yang sudah ditakdirkan sebagai kehidupan yang penuh kompetisi dan persaingan. Bagaimana kita dalam persaingan hidup berupaya untuk tidak pernah dikalahkan oleh siapaun lebih-lebih bisa mengalahkan hawa nafsu dan setan. Sekalipun dalam setiap persaingan pasti ada yang kalah dan yang menang. Namun, sebagai makhluk yang mencontoh al-aziz nya Allah, berupayalah menjadi makhluk yang tidak pernah dikalahkan oleh siapapun dan kapanpun dalam kontek persaingan yang sehat, bukanlah menghalalkan berbagai cara agar tetap eksis. Sebagaimana dikatakan dalam surah al-Baqarah (2):184 :
“…… . maka berlomba-lombalah (bersainglah) kalian (dalam membuat) kebaikan….”
Ketujuh, Allah memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Jabbar yang berarti maha Berkuasa. Al-Jabbar secara harfiyah berarti Yang Kuat dan Memaksa, sehingga kata ini kemudian diartikan sebagai Dzat yang mampu mengalahkan siapapun. Allah bukan hanya tidak terkalahkan, namun juga mampu mengalahkan siapapun. Begitulah sifat yang semestinya kita ikuti sebagai makhluk, bahwa kita bukan hanya makhluk yang tidak terkalahkan, namun mampu mengalahkan siapun yang menjadi pesaing kita. Seseorang yang memiliki sifat al-Jabbar dalam kapasitasnya sebagi makhluk, tidak akan pernah kembali membawa kekalahan. Dia harus pulang dengan membawa kemenangan yang gemilang dan penuh sportifitas dan kejujuran bukan kecurangan merugikan pesaingnya. Itulah pemenang yang sejati dan sesungguhnya.
Setelah menyebutkan tujuh sifat yang penuh kemuliaan, Allah menutup sifat-Nya dalam ayat di atas dengan menyebut diri-Nya sebagai al-Mutakabbir yaitu Dzat yang Maha Besar dan Agung. Hal itu berarti, jika semua hal yang disebutkan telah dimiliki seseorang; mampu menjadi raja, suci, selamat, memberi rasa aman, menjaga dan mengawasi, tidak pernah terkalahkan, mampu mengalahkan siapapun, pastilah seseorang akan menjadi orang besar (al-Mutakabbir) dan pastilah semua orang akan mengagumi dan mnghormatinya. Begitulah kenapa ayat ini diakhiri dengan ungkapan ta’ajjub (kagum) kepada Allah dengan ungkapan Subhanallah/ Maha Suci Allah.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab
READ MORE - Meniru Ahklak Tuhan

Kamis, 20 Mei 2010

Bertemu Tuhan

Oleh: Robi Kurniawan

Sudah menjadi ketetapan Allah swt, bahwa yang selain Diri-Ny akan mengalami kerusakan, kebinasaan dan kehancuran. Hanya Allah sajalah Dzat yang tidak akan pernah rusak, binasa ataupun hancur. Manusia sebagai salah satu makhluk Tuhan, tentu juga tidak bisa luput dari hukum kebinasaan dan kehancuran yang telah ditetapkan Allah tersebut. Kematian adalah cara Allah membinasakan dan mengahancurkan manusia, ini juga berlaku bagi makhluk yang lain seperti hewan dan tumbuhan. Akan tetapi, Allah membinasakan dan menghancurkan manusia dengan kematian memiliki tujuan dan maksud yang berbeda dengan yang dialami makhluk yang lain seperti binatang dan tumbuhan. Jika binatang dan tumbuhan mengalami kebinasaan dan kehancuran melalui kematian, akan hilang dan lenyap begitu saja. Sementara manusia, mengalami kebinasaan dan kehancuran, akan datang menemui Allah dan memberikan pertangungjawaban atas segala aktifitasnya selama hidup di dunia untuk kemudian memperoleh kehidupan berikutnya yang jauh lebih baik dan lebih sempurna, jika pertanggungjawaban diterima oleh Allah. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-Insyiqaq [84]: 6-15
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh (kadihan) menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (6). Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, (7) maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah,(8) dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.(9) Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang,(10) maka dia akan berteriak: "Celakalah aku".(11) Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).(12) Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir).(13) Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). (14) (Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.(15)”.
Kata kadihan dalam surah tersebut berarti bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu hingga letih dan akhirnya berhenti. Begitulah kehidupan yang dijalankan manusia di dunia ini, bahwa manusia dituntut bekerja dan beramal dengan tekun dan sungguh-sungguh, hingga tubuhnya lelah dan letih. Kepayahan dan keletihan akan menjadikan manusia menikmati akhir hidupnya. Bukankah tidur yang nikmat akan dirasakan bagi yang badannya lelah dan letih bekerja di siang hari. Namun, bagi yang tidak bekerja tentulah matanya akan sangat tersiksa dikarenakan susah tidur.
Akhir dari keletihan manusia adalah bahwa ia menemui kematian. Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap yang pasti akhir kehidupan akan ditutup dengan kematian. Kematian akan mengantarkan manusia untuk bertemu dengan Tuhan. Ibarat kehidupan nyata di bumi ini, jika kita hendak menemui atasan, pimpinan atau seorang yang memiliki kedudukan tinggi, tentulah bukan tanpa maksud dan tujuan. Maka manusia datang menemui Allah setelah kematian juga memiliki maksud dan tujuan. Tujuannya adalah untuk memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan selama hidup di dunia. Begitulah yang tergambar dalam ayat di atas, bahwa ada manusia yang menerima catatan amalnya ketika hidup di dunia dengan tangan kanan yang berarti pertangungjawabannya akan diterima oleh Allah. Sebagai penghargaan atas kinerjanya yang baik selama hidup di dunia, maka dia akan berkumpul bersama keluarganya dengan kegembiraan dan kebahagiaan.
Pengertian berkumpul bersama keluarga bisa dua bentuk; pertama, bentuk majazi, di mana itu sebuah gambaran tentang betapa bahagianya manusia dengan kematian datang menuju Tuhan dan kampung akhirat setelah berhasil mengumpulkan berbekalan yang banyak melalui kegigihannya berusaha dan beramal kebajikan selama hidup di dunia. Ibarat seorang yang pergi merantau, tiada kebahagian yang lebih tinggi daripada saat pulang ke kampung dan berkumpul bersama keluarga, setelah berhasil membawa pulang harta yang berlimpah melalui kerja keras selama di perantauan. Tentu berbeda dengan orang yang pergi merantau dan tidak berhasil mengumpulkan harta walau satu rupiahpun, tentu pulang ke kampung dan berklumpul dengan keluarga adalah hal yang sangat menakutkan dan memalukan.
Kedua makna hakiki, di mana orang yang memiliki kebajikan yang banyak selama hidup di dunia dan mampu memberikan pertanggungjwaban atas apa yang telah dilakukanya selama di dunia, dia akan dikumpulkan bersama keluarganya yang beriman dan shalih dalam satu tempat di sorga. Seperti disebutkan Allah dalam surat Ya Sin [36]:
“Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka).(55) Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.(56) Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta.(57) (Kepada mereka dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.(58)
Begitu juga dalam surat At-Thur [52]: 21
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
Sementara kelompok manusia yang lain, adalah orang yang diberikan buku catatan amalnya dari tangan kiri atau dari belakang. Maka mereka adalah manusia yang dulu di dunia tidak mau bersusah payah berbuat kebajikan, bahkan hidup bergelinag dosa dan pelanggaran, hidup selalu dengan kegembiraan bersama orang-orang yang dicintainya ketika di dunia. Bagi mereka tiada lain pertemuan dengan Allah adalah sesuatu yang paling menakutkan dan memalukan. Di hadapan Allah mereka tidak mampu memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. Saat itulah waktu mereka menyesali diri dan berteriak histeris, “Celakalah aku, Kenapa dulu saya tidak mau bersusah untuk berbuat baik, kenapa dulu saya hidup selalu gembira dan tertawa, kenapa saya tidak pernah memikirkan kehidupan sekarang ini?,” Dan seterusnya. Akan tetapi, sesal ketika itu tiadalah guna dan manfaatnya, mereka akan dihalau ke dalam neraka dengan siksa yang tidak akan pernah bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Oleh karena itu bagi kita yang masih hidup, marilah kita berupaya berbuat yang terbaik guna mempersiapkan diri menghadapi hari yang sangat sulit dan secara pasti akan kita temui. Menarik kita cermati pesan Allah dalam lanjutan ayat di atas, yaitu ayat 16-19;
“Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja,(16) dan dengan malam dan apa yang diselubunginya,(17) dan dengan bulan apabila jadi purnama,18sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).(19).”

Dalam ayat di atas Allah swt, bersumpah demi syafaq yang secara harfiyah berarti cahaya matahari yang berwarna merah di saat akan tenggelam. Syafaq adalah pertemuan atau percampuran antara akhir siang dan awal malam. Bercampurnya perasaan gembira dan sedih, harap dan cemas, suka dan duka juga disebut syafaq. Kemudian Allah melanjutkan sumpahnya dengan bintang dan rembulan yang muncul setelah syafaq menghilang dan malam sudah gelap. Sumpah tersebut kemudian dijawab dengan kalimat bahwa semua kamu akan melalui tingkat demi tingkat dalam kehidupan ini.
Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari ayat di atas:
Pertama, bahwa sudah menjadi ketetapan Allah bahwa setiap kehidupan akan berakhir dan berganti dengan kehidupan baru. Begitulah bahwa siang akan hilang dan akan digantikan era malam hari. Begitu juga hidup di dunia ini, bahwa ia juga akan berakhir dengan kematian. Tidak akan pernah ada satu era, masa atau periode kehidupan berjalan terus tanpa batas akhir dan kemunculan masa, era dan periode yang lain. Sehinga, kesadaran akan akan itu akan menjadikan manusia menyiapkan diri menghadapi pergantian kehidupan tersebut yang mungkin jauh lebih sulit darai sebelumnya. Bukankah malam jauh lebih sulit dari siang? Di mana suasana yang gelap, tidak ada manusia berkeliaran, banyak binatang buas dan sebagainya. Begitu juga alam kubur dan akhirat yang akan kita hadapi setelah kematian, penuh kegelapan, kesendirian dan banyak binatang berbisa. Oleh karena itu, persiapkan segala sesuatunya sebelum malam itu datang, seperti senter dan lentera, maupun senjata untuk mengusir binatang berbisa tersebut.
Dua, bahwa pertukaran alam dan kehidupan selalu akan memunculkan syafaq; percampuran dua hal, ada terang ada gelap kemudian terang lagi dan gelap kembali begitu seterusnya. Kematian juga akan melahirkan dua hal tersebut, harap dan cemas, gembira dan sedih. Kematian tentu akan menjadi sesuatu yang membahagiakan bagi yang meninggal, jika saja dia memiliki banyak amalan dan kebaikan. Akan tetapi, bisa menjadi sesuatu yang menyedihkan dan bahkan menakutkan jika tidak memiliki cukup amal untuk menghadapi kehidupan berikutnya. Kematian akan menjadi kesedihan dan duka bagi keluarga yang ditinggalkan, karena akan berpisah dengan orang yang paling dicintainya untuk selamanya. Namun, di sisi lain bisa menjadi hal yang membahagiakan dan menggembirakan, karena mereka akan mendapatkan tiga janji Allah sebagai karunia-Nya yang paling besar; berupa Shalawat dari Tuhan, rahmat dan petunjuk, jika saja mereka sanggup bersabar dan menerima dengan ungkapan Ina lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tiga, Hilangnya siang dan datangnya malam ditandai dengan munculnya bintang gemintang yang akan menjadi petunjuk jalan bagi manusia lain seperti nelayan dan musafir atau munculnya rembulan yang menerangi kegelapan malam. Begitulah hendaknya akhir kehidupan kita, bahwa ketika kita meninggalkan kehidupan dunia dan menuju kehidupan lain, jadilah kita bintang yang menunjuki orang yang hidup setelah kita atau menjadi rembulan yang menerangi makhluk di tengah kegelapan malam. Lihatlah para ulama kita, bahwa setelah kematian mereka, betapa banyak orang yang menerima petunjuk atau cahaya karya mereka. Lihatlah imam syafi’I, imam Ahmad bin Hambal dan sebagainya, mereka meninggalkan cahaya terang bagi generasi yang hidup setelah mereka. Jadilah kita seperti mereka, yang meninggalkan cahaya petunjuk bagai orang lain setelah kita tiada. Atau setidaknya, jadilah nama kita seperti kita bintang tau rembulan setelah kita meninggal. Jadikan nama kita setingga bintang dan rembulan yang dihormati dan dimuliakan orang yang masih hidup, bukan nama yang jelek, cacat dan akan menjadi makian dan cemoohan mansuia lain.
Empat, penggunaan kata tarkabunna yang secara herfiyah berarti naik. Adalah isyarat Allah kepada manusia agar selalu beranjak naik dalam setiap fase kehidupan yang dilalui. Dari miskin menjadi kaya, dari bodoh menjadi pintar, dari pemalas menjadi rajin, dari sedikit menjadi banyak dan seterusnya. Begitu juga kematian yang akan datang hendaknya menjadikan kita naik dari manusia yang belum sempurna menjadi sempurna. Bukankah salah satu tujuan kematian didatangkan kepada manusia untuk menjadikan manusia makhluk yang sempurna?
Begitu juga bahwa kemajuan yang kita capai haruslah dilakukan selalu dan terus menerus, begitulah maksud Allah menggunakan kata kerja Tarkabunna yang berbentuk mudhari’ (masa sekarang dan akan datang serta terus menerus). Selalulah bergerak maju dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Hendaklah setiap amal dan kebjikan yang dilakukan selalu meningkat dan mengalami kemajuan waktu demi waktu. Dan kata tarkabunna yang berarti naik juga memberikan isyarat kepada kita, bahwa bukanlah Allah yang menaikan derajat dan kedudukan seseorang, namun manusia itu sendirilah yang akan menaikan dan mengangkat derajatnya sendiri. Bukan Allah yang menempatkannya di sorga yang paling tonggi, namun mereka sendirilah yang menempatkan dirinya di dalam sorga yang paling tinggi. Begitu juga, bukan Allah yang menempatkan seseorang di dalam nereka Jahannam, namun dia sendiri yang memilih kedudukan yang rendah dan hina tersebut.
Semoga menjadi renungkan kita, amin. Wallhu ‘alam
READ MORE - Bertemu Tuhan

Rabu, 12 Mei 2010

CopOut



part1:http://www.mediafire.com/?jzwzznjmdjw
part1:http://www.mediafire.com/?mnk0zyhom3z
part3:http://www.mediafire.com/?wuwtymzqnhm
part4:http://www.mediafire.com/?mz0jmt5yadk

join dengan HjSplit download here

donwload subtitle

let me know your comment..ok!
READ MORE - CopOut

Iron Man 2



download
part1
part2
part3
part4
password: 300mbfilms.com
or copy these links:
part 1:http://www.mediafire.com/?mmchtvjjqew
part 2:http://www.mediafire.com/?anegqzm3mn4
part 3:http://www.mediafire.com/?iyoguzmktzt

download subtitle/bahasa
or
Indo subtitle

joinkan dengan HjSplit download di sini
atau pakai porgam 7-zip
Download IDM untuk memenage agar download tetap aman dan bisa disambung jika koneksi internet putus dengan cara klik "resume". caranya:
1. Download Terlebih dahulu IDM Versi Terbaru di sini
2. Setelah proses download selesai, kemudian langsung install IDM hingga finish (klik 2X pada idman518.exe)
3. Selanjutnya Download Patch/Crack IDM, Mohon non aktifkan antivirus anda terlebih dahulu.
4. Tutup program IDM anda, kemudian anda buka file Patch tadi dan klik Patch hingga keluar tulisan Done
5. Jalankan program IDM anda, dan lihat pada Help –> Obout IDM, maka akan tertulis Licensi To : UnReal RCE AlphaPatcher

untuk memutar film, kami sarankan pakai KMP Player. karena fitur2nya lebih lengkap dari yang lainnya. bisa didownload di sini

selamat mencoba dan menonton ria...

if you like it, let me know your comment...kasih komentar ya..
READ MORE - Iron Man 2

Selasa, 11 Mei 2010

“Pemuda adalah harapan bangsa”, “Pemuda adalah tulang punggung sebuah bangsa”, “Pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok”. Itulah di antara jargon dan semboyan masyarakat yang seringkali terdengar ketika menyebut satu kelompok masyarakat yang dinamakan pemuda. Semboyan seperti itu agaknya bukanlah sesuatu yang berlebihan, mengingat begitu pentingnya eksistensi pemuda di tengah masyarakatnya. Bahkan, Allah swt juga memberikan pembicaraan khusus terhadap pemuda yang diabadikan dalam surat al-Kahfi [18]: 13
Artinya: “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.”
Ada hal yang menarik untuk dicermati dari ungkapan Allah swt dalam ayat di atas, dimana Allah menggunakan kata naba’ untuk menyebutkan cerita sekelompok pemuda penghuni goa (ashhâb al-kahf). Kata naba’ secara harfiyah berarti berita. Di dalam al-Qur’an kata Naba’ biasanya dipakai untuk menyebutkan berita-berita besar yang mengejutkan dan mengandung kehebatan. Misalnya dalam surat al-Mai’dah [5]: 27, Allah swt menggunakan kata naba’ untuk menyebutkan cerita tragedi pembunuhan manusia pertama dua putera Adam; Habil dan Qabil. Peristiwa itu Allah swt sebut dengan kata naba’ karena peristiwa itu adalah peristiwa besar dan sangat mengejutkan. Betapa tidak, disaat manusia baru beberapa orang saja di bumi ini, telah terjadi pembunuhan terhadapnya.
Dalam surat asy-Syu’ara’ [26]: 69, Allah swt menggunkan kata naba’ untuk menyebutkan cerita Ibrahim as. yang berusaha merobah dan memperbaiki keyakinan kaumnya dan raja Namrudz. Berita yang disampaikan Ibrahim as. disebut dengan naba’, karena apa yang disampaikannya sangat mengejutkan dan mengagetkan kaumnya, terlebih lagi raja Namrudz. Betapa tidak, keyakinan yang selama ini sudah berurat dan berakar dalam masyarakat Babil, tiba-tiba disalahkan dan digoyahkan, bahkan ingin dirobah Ibrahim. Hal itu pasti menimbulkan kegoncangan di tengah masyarakat.
Dalam surat an-Naml [27]: 22 Allah swt menggunakan kata naba’ untuk menceritkan kisah burung hud-hud yang membawa berita kepada Sulaiman as tentang keberadaan Negeri Saba’ yang makmur dan sejahtera, karena dipimpin oleh seorang ratu yang adil dan bijaksana. Berita yang dibawa burung hud-hud disebut naba’, karena berita tersebut sangat mengejutkan dan mencengangkan Sulaiaman as. Betapa tidak, ketika dominasi laki-laki terhadap perempuan begitu tingginya, tidak terbayangkan atau terfikirkan oleh Sulaiaman as. adanya seorang perempuan yang menjadi penguasa terhadap kerajaan besar dan mampu memberikan jaminan keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyatnya.
Dalam surat an-Naba’ [78]: 2, Allah swt memakai kata naba’ untuk menyebutkan peristiwa kiamat. Kiamat disebutkan dengan naba’ karena kiamat adalah peristiwa yang sangat dahsyat, mengejutkan, mengagetkan bahkan membuat manusia tidak menyadari keadaan mereka masing-masing. Seperti yang disebutkan dalam surat al-hajj [22]: 1-2 , “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat) (1), (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya (2).”
Dari sekian banyak penggunaan kata naba’ dalam al-Qur’an, salah satunya Allah swt gunakan untuk menyebutkan cerita sekelompok pemuda penghuni goa, seperti yang disebutkan dalam surat al-Kahfi [18]: 13. Hal itu mengandung sebuah isyarat bahwa pemuda adalah kelompok elit dalam masyarakat yang selalu menciptakan berita-berita besar yang mengejutkan sekaligus mencengangkan. Para pemuda adalah orang yang selalu membuat sensasi dan gebrakan serta perubahan yang menggemparkan. Bahkan, para pemuda adalah kelompok yang selalu ditakuti oleh para penguasa, seperti yang terjadi dengan pemuda penghuni goa (ashhâb al-kahf).
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah membuktikan, bahwa betapa pemuda menjadi tonggak penentu perjalanan sejarah bangsa ini. Mulai dari ide nasionalisme yang muncul dari kalangan pemuda dan mereka juga yang mewujudkannya dalam bentuk organisasi kepemudaan yang puncaknya adalah Budi Utomo dan kemudian melahirkan sumpah pemuda. Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, merebutnya serta mempertahankanya kembali, adalah dilakukan oleh para pemuda bangsa ini. Tumbangnya rezim orde lama dan orde baru, juga dilakukan oleh para pemuda, begitulah seterusnya bahwa perjalanan suatu bangsa adalah ditentukan oleh para pemudanya.
Itulah hakikat para pemuda, yang akan selalu menciptakan hal-hal-besar dan mengejutkan. Dan cerita itu akan selalu tercipta sepanjang masa sesuai bentuk pengungkapan Allah swt terhadap kata naqushshu (Kami ceritakan) yang diungkapkan dalam bentuk kata kerja masa kini dan akan datang serta berkelanjutan (fi’l al-mudhâri’). Akan tetapi, jika para pemuda suatu bangsa “diam seribu bahasa” melihat apa yang terjadi pada bangsanya, maka mereka bukanlah pemuda menurut al-Qur’an. Begitu juga, jika pemudanya tidak mampu menciptakan sesuatu yang besar bagi diri, masyarakat, dan bangsanya maka tentu mereka bukanlah pemuda seperti yang dimaksud al-Qur’an.
Oleh karena itu, selayaknya ayat ini menjadi renungan bagi setiap pemuda bangsa ini, untuk mengukur diri dan menjadi pendorong untuk berbuat yang terbaik bagi diri, masyarakat dan bangsa. Para pemuda harus selalu membuktikan diri, bahwa mereka memang kelompok terbaik dalam sebuah bangsa dikarenakan semangat, kekuatan dan kemampuan yang mereka miliki. Kalaupun kita, para pemuda belum mampu berbuat yang terbaik untuk masyarakat dan bangsa, paling tidak berbuat yang terbaik untuk diri sendiri. Seandainya belum mampu menyumbangkan yang terbaik bagi bangsa dan ikut menyelesaikan persoalan bangsa ini, minimal jangan hendaknya para pemuda menjadi beban dan masalah bagi bangsa dan negara. Tentu sangat memalukan, sekiranya negara ini sibuk mengurus para pemudanya yang komplit dengan segudang persoalan, karena ketidakmampuan mereka menyelesaiakan persoalan sendiri.
READ MORE -

Senin, 10 Mei 2010

Unlucky Arsitek

Suatu ketika Kisra Persia yang terkenal Yazdajir al-Atsim bin Bahran merasa tidak nyaman tinggal bersama puteranya di istana Persia. Dia mulai berfikir membangun sebuah istana indah yang tanang, sejuk, jauh dari kebisingan sekaligus tempat, dimana dia bisa beristirahat dengan tenang dan menjadi obat bagi penyakitnya.
Para pejabatnya menyarankan bahwa istana itu bisa dia bangun disebuah tempat bernama al-Khauniq di pinggir sungai tigris di wiyah al-Hirah. Maka Kisra mengutus pembesarnya untuk menemui Nu’man bin Umrul Qais gubernurnya sekaligus sebagai penguasa Hirah, agar bisa membangunkan istana untuknya dengan sangat bagus. Sesuai perintah Kisra Nu’man mulai mencari arsitek yang terkenal untuk membangun istana yang dimaksud. Akhirnya Nu’man mendapatkan seorang arsitek terkenal bernama Sinnimmar.
Mulailah sang arsitek merancang bangunan istana tersebut, kemudian membangunnya bersama para buruh. Setelah beberapa waktu berlalu akhirnya pembangunan istanapun selesai. Nu’man memanggil Kisra ke al-Hirah untuk melihat istana yang sudah selesai dibangun tersebut. Alangkah kagumnya Kisra setelah melihat banguan istana itu yang belum pernah dia melihat ada istana yang seindah ini. Kisra bertanya kepada nu’man tentang arsitek yang merancang dan membangun istana itu. Kisra memberitahukan kepada Nu’man untuk mengundang sang arsitek ke istana ini, karena Kisra ingin berkenalan dengannya.
Setelah itu, dikirimlah undangan kepada sang arsitek supaya menemui Kisra di istana yang dia bangun. Alangkah senangnya hati sang arsitek karena akan menemui Kisra. Sang arsitek membayangkan hadiah besar yang akan diterimnya dari kisra sebagai imbalan jasanya yang telah membangun istana indah.
Keesokan harinya, sesuai jadwal yang ditentukan datanglah sang arsitek menemui kisra di istana tersebut. Kisra menyambut kedatangan sang arsitek dengan senyum dan wajah ceria. Kisra berkata, “Saya sangat senang dan bangga dengan istana yang engkau bangun ini. Sungguh suatu pekerjaan yang sangat mengagumkan”. Sang arsitek hanya bisa senyum dengan wajah berseri- seri mendengar pujian Kisra kepadanya.
Kemudian Kisra mengajaknya berjalan-jalan sambil mengelilingi seluruh sudut istana untuk melihat keindahan bangunannya dan alam sekitar istana. Selanjutnya Kisra mengajak sang arsitek ke lantai paling atas dari sitana itu. Di sisnilah sang kisra merasakan kekaguman luar biasa dengan istana yang dibangun sang arsitek tersebut. Kisra kemudian bertanya, “Hai Sinnimmar! Adakah istana yang lebih indah dari ini?”. Sang arsitek menjawab, “Belum ada hai tuanku, inilah istana paling indah dan megah yang pernah ada”. Kisra kembali bertanya, “Adakah orang lain yang bisa membangun istana seperti ini selain engkau?”. Sang arsitek menjawab, “Tidak ada seorangpun yang bisa membangun istana seperti ini selain saya hai paduka”.
Mendengar jawaban sang arsitek kisra berfikir, jika saja saya membiarkannya hidup pastilah dia akan membangun istana seperti ini atau mungkin lebih indah dari ini untuk orang lain nantinya. Dengan fikiran seperti itu, maka kisra memerintahkan para tentaranya untuk melemparkan sang arsitek dari atap istana itu, hingga sang arsitek meninggal dunia. Hal itu kemudian dibuat sebagai perumpamaan bagi orang Arab dengan sebutan, “Jazâ’u al-Sinnimmâr”
Adapun pelajaram yang bisa diambil dari kisah di atas adalah, selayaknya bagi seseorang memberikan balasan yang baik atau yang lebih baik bagi orang yang telah berbuat baik kepadanya. Janganlah seseorang membalasi perbuatan baik orang lain kepadanya, dengan perbuatan jahat apalagi yang bisa mencelakakannya. Begitulah peringatan Allah dalam surat ar-Rahman [55]: 60
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
Artinya: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”
Di samping itu, jika seseorang melakukan suatu pekerjaan maka janganlah terlalu mengharapkan balasan dari manusia lain. Hendaklah seseorang mengerjakan sesuatu, dengan penuh keikhlasan karena mengharapkan keridhaan Allah semata. Kalaupun kemudian manusia memberikan penghargaan sebagai balas jasa atas pekerjaan kita, maka itu juga mesti kita terima dan syukuri. Akan tetapi, jika tidak ada balas jasa dari orang lain, kitapun tidak kecewa dan merasa kesal, karena kita yakin balasan yang besar ada di sisi Allah.
Begitulah sikap para nabi dan rasul Allah ketika berbuat baik kepada umatnya, seperti yang digambarkan Allah swt. dalam banyak ayat-Nya. Sikap tanpa pamrih, adalah sikap yang menjadi ciri khas setiap nabi dan rasul Allah. Lihat misalnya surat yunus [10]: 72, nabi Nuh as. membantah anggapan kaumnya.
فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Artinya: “Saya tidak pernah meminta balasan dari kalian atas perbuatanku karena balasanku hanyalah dari Allah.”
Begitu juga yang dikatakan nabi shalih as. kepada kaumnya, seperti firman Allah dalam surat Hud [11]: 51
يَاقَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى الَّذِي فَطَرَنِي أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Artinya: “Wahai kaumku aku tidak pernah meminta balasan dari kalian sesungguhnya balasanku dari Tuhan Yang menciptakanku.”
Nabi Hud as. juga mengatakan hal yang sama kepada kumnya “dan saya tidak pernah meminta balasan dari kamu semua karena balasan saya dari Tuhan semesta alam” (Q.S. asy-Syu’ara’ [26]: 127. Begitu juga nabi Luth as mengatakan kepada kaumnya, “ dan saya tidak pernah meminta balasan dari kamu karena balasan saya dari Tuhan semesta alam” (Q.S. asy-Syu’ara’ [26]: 164. Selanjutnya, nabi Syu’aib as juga mengatakannya kepada kaumnya “ dan saya tidak pernah meminta balsan dari kamu atas perbuatanku karena balasanku dari Tuhan semesta alam (Q.S. asy-Syu’ara’ [26]: 180. Dan terakhir Nabi Muhammad saw, juga mengatakan hal yang senada kepada umatnya “Katakanlah (Muhammad) saya tidak pernah meminta balasan dari dakwah dan perbuatanku kepadamu kecuali siapa yang menginginkan maka dia akan mengambil jalan Tuhannya (Q.S. al-furqan [25] : 55.
Dengan demikian, orang yang berlaku ikhlâs dalam berbuat baik atau beribadah, berarti dia sudah memiliki salah satu sifat istimewa para nabi dan rasul Allah. Sehingga, orang yang ikhlâs akan mendapat posisi di sisi Allah seperti layaknya para utusan Allah tersebut.
READ MORE - Unlucky Arsitek

Jumat, 07 Mei 2010

Hakikat Kebahagian

“Bahagia” adalah kata yang selau menjadi dambaan setiap manusia. Tidak seorangpun yang menginginkan kesengsaraan dalam kahidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, manusia selalu dituntut untuk berdo’a kepada Tuhan, “…Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan (kebahagiaan hidup) di dunia dan kebaikan (kebahagiaan hidup) di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka.” (Q.S al-Baqarah [2]: 201).
Imam al-Ghazali membagi bahagia yang diperoleh manusia ke dalam dua bentuk; pertama disebutnya dengan al-lazzah, yaitu kebahagiaan yang dirasakan oleh jasmani manusia seperti yang dirasakan mata, telinga, hidung, kulit dan sebagainya. Kedua, disebutnya dengan as- sa’âdah, yaitu kebahagiaan yang dirasakan oleh rohani manusia melalui pengasahannya dengan intensitas ibadah yang tinggi kepada Allah swt. Namun demikian, kebahagiaan yang berbentuk al-lazzah adalah kebahagiaan yang bersifat sementara, terbatas dan bisa diukur, seperti kebahagiaan yang dirasakan oleh lidah ketika memakan makanan yang enak, yang hanya dirasakan oleh indra pengecap manusia dalam ukuran yang sangat singkat dan hanya sampai batas kerongkongannya. Bahkan, hubungan seksual yang dianggap sebagai kenikmatan atau kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan manusia, jika dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya sungguh sangatlah tidak sebanding. Menurut hasil penelitian, burung gereja yang memiliki ukuran tubuh yang kecil, mampu melakukan hubungan seksual sebanyak seratus kali dalam sehari.
Sedangkan kebahagiaan yang dirasakan oleh rohani manusia melalui serangkaian ibadah, adalah kebahagiaan yang tidak terbatas dan tidak bisa diukur, bahkan diungkapkan dengan kata-kata sekalipun. Inilah yang disebut sebagai kebahagian yang hakiki.
Untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki ini, manusia bisa menempuh beberapa jalan, di antaranya;

1. Tobat
Tobat secara harfiyah berarti kembali, yaitu kembali kepada kedekatan dengan Allah swt. Manusia pada awal penciptaannya adalah dekat dengan Allah, karena dalam dirinya terdapat unsur suci yang berasal dari Allah, yaitu Roh-Nya (Q.S. as-Sajadah [32]: 7-9 dan Shad [38]: 71-71). Ketika manusia melakukan dosa dan kesalahan kepada Allah swt, maka rohani yang pada awalnya suci menjadi kotor, sehingga Allah Yang Maha Suci secara perlahan-lahan menjauh darinya, sesuai dosa dan kesalahan yang dilakukan. Semakin banyak dosa dan kesalahan, semakin jauh jarak Allah dengannya. Itulah yang terjadi dengan nabi Adam as, di mana sebelum bersalah kepada Allah, dia begitu dekat dengan-Nya sehingga ditempatkan di sorga, namun ketika sudah melakukan dosa Allah menjauh darinya (bandingkan redaksi surat al-Baqarah [2]: 35 dengan surat al-A’raf [7]: 22) dan kemudian diwujudkan dengan membuang nabi Adam ke atas bumi.
Untuk mengembalikan manusia kepada kedekatan hubungannya dengan Allah swt, maka diperlukan tobat. Itulah yang dilakukan nabi Adam ketika sampai di bumi, firman Allah swt dalam surat al-Baqarah [2]: 37
فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.
Manusia memang tidak ada yang bisa luput dari dosa dan kesalahan, namun sesuai sabda Rasulullah saw, bahwa sebaik-baik manusia yang bersalah adalah yang mau bertobat kepada Allah swt. Tobat dilakukan dengan cara menyadari apa yang dilakukan adalah suatu dosa, menyesali perbuatan tersebut, meminta ampun kepada Allah (istighfâr), berjanji dengan diri dan Allah swt tidak mengulanginya, serta mengiringinya dengan amal shalih sebagai pengganti kesalahan yang telah dilakukan. Setelah manusia melakukan hal itu, maka dia akan merasakan suatu kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, dan itulah yang disebut as-sa’âdah.
2. Zuhud
Kecintaan seseorang terhadap dunia, bisa melalaikan manusia dari Allah swt, bahkan bisa menyeretnya ke jurang dosa. Oleh Karena itu, diperlukan sikap hidup zuhud agar terhindar dari belenggu kecintaan duniawi. Zuhud menurut pandangan al-Ghazali, bukan berarti membenci dunia dan meninggalkannya secara total. Zuhud berarti menjuhkan diri dari keterikatan terhadap dunia dan gemerlapannya.
Oleh karena itu, kondisi kaya atau miskin bukanlah penentu zuhud atau tidaknya seseorang. Seorang yang hidup miskin mungkin saja sangat menginginkan bahkan “tergila-gila” dengan kekayaan dan gemerlapan dunia, namun nasib membawanya untuk hidup kekurangan. Sebaliknya yang kaya raya mungkin saja seorang yang zuhud, sekalipun memiliki harta yang melimpah namun tidak terlalu mencintainya dan hatinya tidak tergantung kepadanya. Zuhud lebih ditentukan sikap dan pandangan seseorang terhadap dunia. Dengan demikian, seorang yang bersikap zuhud adalah orang yang tidak menjadikan dunia sebagai tujuan akhir kehidupan, namun menjadikanya sebagai sarana menuju kehidupan abadi yang labih sempurna.
3. Sabar
Sabar berarti menekan gejolak jiwa, karena manusia adalah makhluk emosional, yang dalam kondisi apapun selalu memiliki gejolak jiwa. Ketika manusia senang atau memperoleh nikmat, jiwanya bergejolak karena gembira dan bahagia. Namun, gejolak ini harus segera ditekan, karena jika dibiarkan akan berobah menjadi sikap ujub, takabbur, atau sombong. Misalnya, ketika seseorang pendapat penghargaan dari orang lain karena prestasinya dia merasakan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi jika ini melewati batasnya mungkin saja akan muncul sikap ujub dan takabbur dalam dirinya yang akhirnya membuat dia lupa diri dan menjadi musuh Allah swt seperti yang terjadi dengan iblis (Q.S. al-A’raf [7]: 12 dan Shad [38]: 76). Di sinilah pentingnya sabar, menekan gejolak jiwa yang muncul kerena kegembiraan.
Begitu juga ketika manusia ditimpa musibah atau sesuatu yang tidak disenanginya, jiwa manusiapun bergejolak karena tidak bisa atau tidak siap menerimanya. Gejolak ini bila tidak ditekan, maka akan berobah menjadi “umpatan” dan “celaan” terhadap Allah swt. Manusia menjadi tidak senang dan ridha dengan keputusan Allah swt. Ketidaksenangan dan celaan manusia terhadap keputusan Allah tersebut, membuat dia jauh dari Allah swt bahkan mendapat celaan Allah swt berupa kecelakaan yang besar. Firman Allah swt dalam surat al-Humazah [104] : 1
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
Artinya: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela”
Dengan demikian, kesabaran atau kemampuan manusia menekan gejolak jiwanya baik ketika senang maupun susah, akan membuat jiwanya stabil. Ketika memperoleh nikmat dia sadar akan karunia Allah, dan saat mendapat kesulitan dia yakin akan pertolongan Allah dan keputusan-Nya yang maha adil, sehingga inilah yang membawa manusia memperoleh kebahagiaan yang hakiki. Sebab, Allah swt memberikan jaminan bahwa Dia selalu memberikan pertolongan-Nya kepada orang yang sabar. Firman-Nya dalam surat ali ‘Imran [3]: 125
بَلَى إِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِ ءَالَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُسَوِّمِينَ
Artinya: “Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda”


Dalam surat al-Baqarah [2]: 153 Allah juga memberikan jaminan bahwa Dia selalu bersama dan dekat dengan orang yang sabar.
…إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “…Sesungguhnya Allah selalu bersama orang yang sabar”
4. Tawakal
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri kepada Allah. Seorang yang tawakal, akan merasakan puncak kebahagiaan batin, karena dia selalu menilai apapun keputusan Allah adalah yang terbaik untuknya, sekalipun secara lahiriyah dinilai buruk oleh orang lain. Sebab, seorang yang bertawakal artinya dia menjadikan Allah sebagai wakil dalam menentukan dan mengambil keputusan atas kehidupannya, dikarenakan ketidakmampuaannya menentukan yang terbaik untuk dirinya. Manusia bisa saja menganggap sesuatu baik namun justru buruk baginya, begitupun sebaliknya yang dianggap buruk justru baik untuknya (baca Q.S. al-Baqarah [2]:216). Oleh karena itulah, manusia perlu menjadikan Allah Yang Maha Bijaksana sebagai wakil melalui tawakal.
5. Muraqabah
Muraqabah berarti manusia merasakan kehadiran dan keikutsertaan Allah swt dalam setiap gerak langkahnya. Dia akan selalu mawas diri untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah swt, karena menyadari pengawasan Allah swt terhadapnya. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat at-Thariq [86] ayat 1-4, surat ar-Ra’du [13]: 11 dan surat al-Infithar [84]: 10-12.
Kesadaran akan adanya pengawasan Allah, membawa manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya, yang akhirnya menumbuhkan rasa cinta dan harap bertemu dengan-Nya. Kerinduan kepada Allah serta harapan bertemu dengan-Nya, membuat manusia giat melakukan amal kebajikan dan menjauhi larangan Allah. Manusia akan selalu melatih jiwanya untuk melakukan hal-hal yang terpuji dan menghindarkan keburukan melalui proses yang sering disebut dengan riyâdhah dan mujâhadah. Melalui proses inilah manusia memperoleh kebahagiaan yang hakiki.
6. Zikrullah
Secara harfiyah zikir berarti mengingat, sedangkan menurut istilah, zikir berarti membasahi lidah dengan ucapan-ucapan terpuji kepada Allah swt. Zikir merupakan metode lain yang paling utama dalam memperoleh ilmu laduni.
Zikir merupakan obat paling ampuh untuk rohani atau hati yang sakit, karena hati yang sakit menghalangi manusia untuk dekat dengan Allah. Al-Ghazali dalam buku ihyâ’ menjelaskan bahwa hati manusia tidak ubahnya seperti kolam yang di dalamnya mengalir bermacam-macam air. Pengaruh-pengaruh yang datang ke dalam hati adakalanya berasal dari luar yaitu panca indra, dan adakalanya dari dalam yaitu khayal syahwat, amarah, dan tabi’at manusia.
Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan, bahwa syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah swt adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah swt, dan kuncinya adalah menenggelamkan hati secara totalitas dengan zikir kepada Allah swt. Dengan zikir tabir alam malakut, (kemampuan melihat alam ghaib melalui datangnya malaikat Allah swt) dapat terbuka karena zikir adalah kunci pembuka alam ghaib.
Hati yang terang adalah hati yang selalu dilatih dengan zikrullah, dan hati yang terang akan mampu menerima pancaran nur Tuhan, apakah bentuknya ilmu, ilham, atau petunjuk. Manusia yang memproleh nur Tuhan, berarti mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.
READ MORE - Hakikat Kebahagian

Kamis, 06 Mei 2010

Mencari pemimpin yg dhuha utk masyarakat

Memilih Pemimpin“Dhuhâ” Untuk Masyarkat

Orang bijak mengatakan: “ untuk sukses, Anda harus bisa berbicara; untuk berbicara, anda harus percaya diri; untuk percaya diri, anda harus memimpin diri sendiri”. Sungguh luarbiasa sekali artikulasi dari ungkapan ini di tengah-tengah glamoritas panggung politik yang menghadirkan berbagai calon pemimpin dengan jargon dan baliho yang variatif mengatasnamakan cinta rakyat dan memakmurkan rakyat. Sebelum memimpin orang lain pimpinlah terlebih dahulu diri sendiri karena banyak orang yang bertukar haluan disebabkan oleh penghidupan istimewa dan penghasilan yang melimpah pada wilayah kekuasaannya sehingga semangat untuk berjuang demi rakyat menjadi hilang dan tertindas oleh teoritika janji-janji politik, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh daripada godaan iblis tersebut. Memang benar pepatah Jerman: Der Mensch ist, war es iszt:sikap manusia sepadan dengan caranya ia mendapat makan.
Menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut,karena kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu. Amanah adalah titipan Allah SWT. Jika titipan disia-siakan berarti suatu pengkhianatan kepada Allah. Pengkhianatan adalah musuh Tuhan dan hambaNya.
Dalam sejarah turunya wahyu, dikenal sebuah istilah “masa terputusnya wahyu”. Setelah turunnya perintah kepada Rasulullah saw untuk berda’wah melalui surat al-Mudatstsir, al-Muzammil dan Nun, tiba-tiba wahyu berhenti turun. Para ulama berbeda pendapat tentang lama masa terputusnya wahyu tersebut. Namun, yang pasti Rasulullah saw sangat terpukul karenanya. Sebab, beliau betul-betul membutuhkan kehadiran wahyu dan malaikat jibril sebagai pendorong dan penguat semangat dakwah beliau yang baru saja dimulai. Kesedihan Rasulullah saw semakin meningkat, dikala orang kafir Quraisy mengetahui hal itu dan kemudian mengejek beliau dengan ungkapan “ Muhammad ternyata telah ditinggalkan Tuhannya”. Maka kemudian Allah swt menjawab ejekan orang kafir Quraisy tersebut dengan menurunkan surat adh-Dhuhâ [93]: 1-11
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik (Dhuha) (1) “dan demi malam apabila telah sunyi (gelap) (2), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu (3). Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)(4), Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas (5), Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu(6), Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?(7), Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan (8). Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang(9), Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya(10), Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan(11).”
Dari redaksi dan pilihan kata pada ayat tersebut ada hal menarik untuk dicermati. Yaitu, kenapa dalam konteks ini Allah mengambil sumpahnya dengan wa adh-Dhuhâ (Demi Waktu Dhuha). Sebab, sangat mungkin sekali kata lain yang juga berarti masa dipakai oleh Allah swt, seperti wa al-laili (demi malam), wa an-nahâri (demi siang hari), wa al-‘ashri(demi masa) dan seterusnya. Pemilihan kata adh-Dhuhâ dalam konteks ayat tersebut agaknya mengandung arti kiasan untuk Nabi Muhammad saw. Di mana Allah ingin mengatakan “Hai Muhammad! Engkau tidak perlu kawatir dan cemas menghadapi masyarakatmu, sebab engkau adalah dhuhâ bagi mereka”.
Seperti diketahui, bahwa dhuhâ adalah waktu pagi, saat matahari muncul sampai panasnya mulai terasa membakar. Cahaya pagi itu adalah cahaya yang selalu ditunggu oleh setiap makhluk, karena menyehatkan dan mendatangkan kebaikan baik manusia, hewan juga tumbuhan. Dengan demikian, Allah memerintahkan nabi Muhammad saw agar kemunculannya di tengah kaumnya seperti kemunculan cahaya dhuhâ yang mendatangkan kebaikan bagi lingkungan dan masyrakat.
Bagitu juga yang dituntut oleh Allah kepada umat Muhammad saw dan para pemimpin serta penguasa, agar setiap mereka menjadi “dhuhâ” bagi lingkungan dan masyarakat di mana mereka berada. Umat Muhammad saw dituntut selalu agar mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘âlamîn). Salah satu wujud menjadi dhuhâ dalam kehidupan adalah seperti yang disebutkan dalam ayat 10 surat adh-Dhuhâ :
“Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.”
Seorang yang menjadi “dhuhâ” dalam kehidupan masyarakatnya akan dengan senang hati melayani setiap orang yang datang meminta kepadanya. Apakah yang diminta itu bersifat materi ataupun immateri, seperti bertanya atau mencari informasi tentang sesuatu. Sebab, kata sa’ala (meminta-minta) tidak hanya berarti meminta suatu yang berupa materi tetapi juga berarti, meminta sesuatu yang bukan bersifat materi.
Seorang yang menjadi “dhuhâ” dalam masyarakatnya, akan penuh keseriusan menghadapi setiap orang yang datang kepadanya. Dia tidak menganggap kedatangan orang lain seperti sampah yang tidak medatangkan manfaat apa-apa dan karenanya perlu dibuang ke dalam tong sampah.
Begitu juga orang yang menjadi ”dhuhâ” dalam kehidupan akan dengan sangat serius dan penuh perhatian kepada setiap orang yang datang kepadanya dengan pertanyaan. Dia tidak merasa pertanyaan itu sesuatu yang tidak perlu didengar atau dilecehkan begitu saja. Seringkali dalam pergaulan sehari-hari, kita melecehkan pendapat atau pertanyaan orang lain, dengan dalih tidak berbobot atau “asbun/asal bunyi”. Namun, orang yang menjdi “dhuhâ” di tengah komunitasnya adalah orang yang selalu mendengarkan pertanyaan, ide, pendapat atau saran dari orang lain tanpa harus menilai berbobot atu tidaknya dan bertindak dengan cermat bukan sekedar mengamati saja.
Menjadi pemimpin yang“dhuha” berarti siap untuk dikritik oleh orang lain. Karena seorang pemimpin adalah orang yang melihat lebih banyak daripada yang dilihat orang lain, melihat lebih jauh daripada yang dilihat orang lain, dan melihat sebelum orang lain melihat.
Menjadi seorang Penguasa yang “dhuha” berarti membuang segala kesombongan dan kemewahan yang berlebihan. Karena kesederhanaan pada hakikatnya seseorang itu dihargai dan kekuasaan yang sebenarnya tercermin dari tindakan membela yang lemah bukan kedudukan yang wah.
Last but not least, berikut ini ada tujuh kreteria seorang calon pemimpin yang menjadi “dhuha” untuk masyarakat:
1.Niat yang Lurus
Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan.Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja.Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2.Laki-Laki
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan.Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).
3.Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Berpegang pada Hukum Allah.
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).
Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari jabatannya.
Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
Tidak Menutup Diri Saat Diperlukan Rakyat.
Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat.Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
4.Menasehati rakyat
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
5.Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati.Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya.Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
6.Mencari Pemimpin yang Baik
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu).Yaitu pejabat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana.Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
Lemah Lembut
Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
7.Tidak Meragukan dan Memata-matai Rakyat.
Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim)
Semoga kreteria-kreteria di atas bisa membantu kaum muslimin dalam menentukan pilihan terhadap calon pemimpin yang menjadi “dhuha” di tengah masyarakat dan suluh umat. Wallahu a’alm.
READ MORE - Mencari pemimpin yg dhuha utk masyarakat