marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Kamis, 23 September 2010

Shalat Sebagai Formatur Akhlak Yang Sempurna

Beberapa bulan yang lalu, masih terlintas dalam ingatan kita munculnya imbauan NU atau Nadhatul Ulama agar jenazah koruptor tak perlu dishalati ulama ditanggapi banyak pihak. Banyak yang menentang. Tapi ada juga yang mengaku memahami. Hal itu diungkapkan Malik Madany, Sekjen Katib Am Syuriah Nahdlatul Ulama (NU). "Para koruptor itu tidak perlu dishalatkan para ulama, karena ulama itu para pewaris Nabi. Jadi cukuplah semacam Banser dan Garda Bangsa saja yang menshalatkannya," kata Malik Madani dalam peluncuran buku 'Koruptor itu Kafir' di Jakarta, Rabu (18/8 http://klikp21.com/politiknews/10812-jenazah-koruptor-jangan-dishalatkan). Dia mengutip sebuah hadist Nabi tentang seorang sahabat yang gugur di medan perang. Saat itu, kata dia, Nabi Muhammad hanya menyuruh orang lain menshalatkan jenazah sahabat yang gugur tersebut. Mendengar itu, penasaranlah para sahabat lain. Mereka kemudian bertanya kepada Nabi apa alasannya. "Nabi Muhammad menjawab, itu karena sang jenazah telah menggelapkan harta rampasan perang. Setelah dicek ditemukan manik-manik seharga tak lebih dua dirham," terang Malik. Atas dasar itu, lanjut Malik, NU menganggap jenazah para koruptor tidak perlu dishalatkan para ulama. Jenazah koruptor, cukup dishalatkan oleh orang awam saja. "Kewajiban tetap dishalati, tapi bukan oleh pemimpin," pungkasnya.
Sementara MUI atau Majelis Ulama Indonesia termasuk yang tidak setuju. Ketua Bidang Fatwa MUI Maruf Amin menyatakan, koruptor juga tetap merupakan orang Islam. Jika tidak dishalatkan, maka dosalah mereka yang tidak mau menshalatkan. Tulisan ini bermaksud mengajak pembaca untuk memahami esensi shalat sebagai formatur ahklak yang baik.
Setiap muslim hendaklah menyadari bahwa pelaksaan ibadah-ibadah mahdhah yang diperintahkan Allah; seperti shalat zakat, puasa, haji dan lain-lain, bukanlah hanya sekedar serangkain kewajiban yang jika dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan mendapat dosa. Akan tetapi, lebih jauh lagi bahwa semua ibadah yang diperinthkan Allah tersebut, mengandung ajaran akhlak yang sangat sempurna, jika saja setiap orang yang mengerjakannya mau dan mampu menghayati setiap rangkaiannya. Solat merupakan syariat Allah yang diturunkan kepada umat manusia. Ia digelar sebagai tiang agama. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad s.a.w. : ( maksudnya ) Pangkal semua urusan adalah Islam, tiangnya ialah solat dan puncak tertingginya ialah jihad ( Riwayat Tarmizi )
Solat adalah ibadah yang amat penting dalam Islam, ia diletakkan sebagai Rukun Islam yang kedua, sebagaimana sabda Nabi Muhammad s.a.w. : ( maksudnya ) Islam itu dibina atas lima perkara, persaksian bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad Rasullullah, menunaikan solat….. ( Riwayat Bukhari dan Muslim ).
Ia merupakan amalan pertama yang akan dihisab di akhirat : ( maksudnya ) Amalan yang mula-mula dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat ialah solat, Jika solatnya baik, baiklah keseluruhannya. Tetapi jika solatnya buruk, buruk semua umatnya. ( Riwayat Tarmizi dan Abu Daud )
Solat merupakan ibadah yang sempurna dan mempunyai berbagai hikmah, baik dari sudut kerohanian, emosi dan fisikal. Antara yang disebut oleh Allah di dalam Al-quran ialah solat sebagai pembentuk akhlak yang baik. Solat merupakan ibadah didikan Allah s.w.t. dalam membentuk akhlak seseorang muslim. Setiap orang Islam yang menghayati ibadah solat akan mempunyai keperibadian yang tinggi. Kerana didikan sempurna melalui solat oleh Allah s.w.t..

Tugasan yang saya lakukan ini adalah bertujuan mengenalpasti beberapa kaedah Allah s.w.t. mendidik akhlak manusia melalui solat bermula daripada syarat sahnya sehinggalah sesudah solat. Kerana sememangnya Nabi Muhammad s.a.w. itu telah diutuskan untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Sabda Nabi Muhammad s.a.w. ( maksudnya ) :
Sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak ( Riwayat Ahmad )
Shalat, seperti yang dikatakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya bahwa ia adalah tiang agama. Agaknya, jika setiap muslim yang mengerjakan shalat, mampu menghayati setiap gerakan dan bacaan shalatnya tentulah agama Allah ini akan terlihat begitu sempurna dan kokoh oleh umatnya di hadapan semua manusia. Dengan menghayati dan mengamalkan shalat dengan sempurna, tentulah setiap umat Islam akan menjadi pribadi-pribadi yang sempurna dan memiliki akhlak sempurna serta menjadi patron bagi umat lain.
Dalam beberapa ayat-Nya, Allah menyebutkan betapa shalat sesungguhnya adalah suatu ibadah yang bisa membentuk manusia agar memilki akhlak yang sempurna. Misalnya dalam surat al-Ankabut [29]: 45
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat di atas, Allah menegaskan bahwa shalat adalah suatu ibadah yang bisa mencegah manusia dari perbuatan keji (fakhsâ’) dan munkar. Fakhsâ’ adalah suatu perbuatan yang buruk dan mendatangkan keburukan, baik bagi pelaku maupun orang lain dan lingkungan. Salah satu di antaranya adalah zina yang Allah sebutkan sebagai perbuatan fakhsâ’ (lihat: Q.S. al-Isra’ [17]: 32). Sementara munkar adalah perbuatan yang tidak dikenal sebagai suatu kebaikan. Lawanya adalah ma’ruf (sesuatu yang dikenal sebagai kebaikan). Munkar bukan saja perbuatan yang melanggar aturan Allah, akan tetapi juga aturan yang buat dan dianggap baik di tengah suatu masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Oleh karena itu, seorang yang benar-benar melakukan shalat dengan penuh penghayatan terhadap apa yang dilakukannya, pastilah dia tidak akan pernah melakukan suatu pelanggaran, baik terhadap aturan Allah maupun aturan masyarakat. Pastilah seorang yang benar-benar melaksanakan shalat, tidak akan pernah melakukan perbuatan yang membuat orang lain risih, tersinggung atau terusik. Bagaimana mungkin, seorang yang benar-benar melaksanakan shalat berani melanggar aturan Allah, sebab bukankah di awal shalatnya dia telah mengakui Kemahabesaran Allah melalui ucapan takbir? Begitu juga, bagaimana mungkin seorang yang benar-benar melaksanakan shalat akan melakukan sesuatu yang akan mengganggu dan mengusik ketenangan orang lain, sebab bukankah di akhir shalatnya dia menebarkan kedamaian, keselamatan dan ketenangan bagi orang di sekitarnya melalui salam?
Seorang yang benar-benar shalat akan menjadi manusia yang memilki akhlak sempurna dengan shalatnya, karena didasarkan kepada tujuan pelaksanaan shalat itu sendiri. Dalam surat Thaha [20]: 14 Allah swt berfirman
Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
Begitulah tujuan shalat yang disebutkan Allah, yaitu agar manusia selalu ingat kepada-Nya. Jika seseorang selalu mengingat dan merasakan kehadiran Allah bersamanya, bagaimana mungkin akan berani melakukan suatu pelanggaran atau perbuatan dosa? Bukankah seseorang berani berbuat dosa dan melanggar suatu aturan, karana saat itu dia tidak menyadari kehadiran dan kebersamaan Allah dengannya?
Selanjutnya, jika manusia selalu mengingat dan merasakan kehadiran Allah bersamanya, maka Allah pun memberikan jaminan bahwa Dia akan selalu meningat dan menyertai hamba-Nya tersebut, dan tentu saja akan memberikan pertolongan kepadanya. Begitulah jaminan Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 154
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.”
Jika seseorang selalu mengingat dan merasakan kehadiran Allah bersamanya, Allah pun akan selalu menyertai hamba-Nya. Selanjutnya syaithan pun tidak akan pernah berani menggangu dan menggodanya. Bukankah perbuatan keji dan munkar itu bersumber dari godaan syaitan? Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat an-Nur [24]: 21
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dengan demikian, jika seseorang benar-benar melaksanakan shalat, maka dia akan selalu merasakan kehadiran Allah bersamanya. Jika dia selalu merasakan kehadiran Allah, maka Allah pun akan selalu menyertainya dan memberikan pertolongan-Nya. Hal itulah yang membuat manusia terhindar dari segala perbuatan dosa, baik terhadap Allah maupun makhluk lain. Begitulah shalat membentuk manusia agar memiliki akhlak yang sempurna.
Ayat lain yang menegaskan bahwa shalat sebagai pembentuk manusia yang berakhlak mulia, adalah surat al-Ma’arij [70]: 19-23
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19). Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (20). Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir(21). Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat (22). Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya (23).”
Jika seseorang benar-benar melaksanakan shalat dan menghayati setiap apa yang dibaca dan dilakukannya, pastilah dia akan terhindar dari sikap-sikap buruk yang disebutkan Allah di atas. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar shalat akan keluh kesah jika ditimpa kesulitan, karena bukankah di awal shalatnya dia telah menyerahkan segalanya kepada Allah melalui do’a iftitah? (“Sesungguhnya shakatku, ibadahku, hidupku, matiku, semua telah aku serahkan kepada Allah”). Bagaimana mungkin seseorang akan kikir dan merasa angkuh, sombong, serta tidak butuh orang lain ketika mendapatkan ni’mat, sebab bukankah ketika shalat dia ruku’ dan sujud yang merupakan pernyataan akan kehinaan dan kelemahanya sebagai makhluk? Atau bukankah dia selalu menutup shalatnya dengan mendo’akan orang lain yang ada di sekitarnya agar memperoleh keselamatan dan kedamaian melalui ucapan salam sebagai bukti kepeduliannya kepada sesama?
Begitulah shalat yang jika benar-benar dihayati oleh setiap umat Islam, tentulah Islam dan umatnya akan menjadi panutan bagi seluruh makhluk. Betapa hari ini kita saksikan umat Islam belum bisa memberikan contoh akhlak yang sempurna kepada manusia lain, bahkan cendrung menjadi perbandingan negatif bagi peradaban yang dibangun manusia, salah satu jawabannya adalah bahwa setiap ibadah yang dilaksanakan umat Islam baru sebatas ritual yang bersifat rutinitas dan simbolik. Sehingga, ibadah yang serat dengan nilai-nilai luhur dan akhlakul karimah belum lagi mampu membentuk jiwa dan kepribadian mereka.
READ MORE - Shalat Sebagai Formatur Akhlak Yang Sempurna

Rabu, 22 September 2010

Madu, Mangkuk Indah, dan Sehelai Rambut

Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa suatu ketika Rasulullah saw bersama sahabat-sahabat beliau; Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib dan Fathimah. Layaknya tamu, Ali bin Abi Thalib dan isterinya Fathimah menyambut kedatangan mereka, kemudian disuruh masuk dan dipersilahkan duduk. Beberapa saat kemudian, Fathimah ke dapur mencari hidangan untuk Rasulullah saw; ayahnya dan sahabat-sahabatnya. Adapun hidangan yang dibawa Fathimah adalah madu yang diletakan di sebuah mangkuk yang indah.
Ketika madu yang berada dalam mangkuk tersebut berada di tengah mereka, Rasulullah saw melihat sehelai rambut di dekatnya. Kemudian Rasulullah saw mengambil ketiganya; madu dengan mangkuk dan sehelai rambut tersebut. Maka Rasulullah saw berkata kepada semua sahabatnya, “Coba kamu membuat perumpamaan dari yang tiga ini; madu, mangkuk dan sehelai rambut!”. Masing-masing mereka kemudian membuat perumpamaan.
Giliran pertama dipersilahkan kepada Abu Bakar as-Shiddiq, dia berkata “Iman itu lebih manis dari madu, orang yang beriman lebih cantik dari mangkuk yang indah ini, namun mempertahankan iman atau mencari orang yang mampu mempertahankan imannya sampai dia meninggalkan dunia ini, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Rasulullah saw berdecak kagum dengan perumpamaan Abu Bakar.
Selanjutnya Umar bin Khattab dipersilahkan, dan dia berkata “Kekuasaan itu lebih manis dari madu, orang yang berkuasa/penguasa/ pemimpin lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun berkuasa secara adil atau mencari orang yang mampu berlaku adil terhadap kekuasaannya, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut.” Rasulullah saw memuji perumpamaan Umar bin Khattab.
Kesempatan selanjutnya diberikan kepada Utsman bin Affan, dia berkata “Ilmu itu lebih manis dari madu, orang berilmu lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mencari orang berilmu yang mampu mengamalkan ilmunya dengan sempurna, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Bagus, sambut Rasullah saw.
Kemudian kesempatan diberikan kepada Ali bin Abi Thalib, dia berkata "Tamu itu lebih manis dari madu, orang yang menerima tamu lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mencari orang yang mampu menyambut tamunya dengan hangat dan mesra dari mulai kedatangan mereka sampai saat mereka meninggalkan rumah tanpa kurang sedikitpun, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut". Rasulullah saw tersenyum sambil mengagumi perumpamaan Ali bin Abi Thalib.
Fathimah juga diberi kesempatan untuk membuat perumpamaan, dia berkata “Wanita itu lebih manis dari madu, wanita yang shalihah lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mancari wanita yang tidak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya saja, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Rasulullah saw pun memuji perumpamaan Fathimah.
Sekarang kesempatan Rasulullah saw membuat perumpamaan, beliau berkata “Amal itu lebih manis dari madu, orang yang beramal lebih cantik dari mangkuk yang indah ini, namun mencari orang beramal yang ikhlas dalam mengerjakan amalnya itu, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Allah swt kemudian melalui Rasulullah saw juga membuat perumpamaan, "Sorga-Ku lebih manis dari madu, keindahan sorga-Ku lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun jalan menuju sorga-Ku susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”.
Semua perumpamaan di atas pada hakikatnya, bukan berarti sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, namun lebih menunjukan arti susahnya berbuat yang demikian itu. Yaitu, susahnya mempertahankan keimanan, berlaku adil terhadap amanah berupa kekuasaan, mengamalkan ilmu dengan sempurna, memuliakan tamu secara sempurna, wanita yang benar-benar bersih dan terjaga, beramal dengan ikhlas serta mendapatkan sorga Allah. Kalaupun itu ditemukan maka amat sedikit yang mampu melakukannya.
Diposkan oleh luthfi di 21:35
Label: ceramah dan khutbah
0 komentar:

Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
READ MORE - Madu, Mangkuk Indah, dan Sehelai Rambut

Selasa, 21 September 2010

Halal Bil Halal, Bukan Haram Bil Haram

Sudah merupakan tradisi tahunan yang dilakukan kaum muslimin dan muslimat di Indonesia umumnya setelah merayakan lebaran (idul fitri) mengatualisasikan halal bil halal di tempat kediaman masing-masing. Hal ini dilakukan sepulang mudik dari kampung halaman sebagai bentuk silaturrahim, karena tidak sempat bertatap muka secara langsung ketika idul fitri berlangsung. Meminjam istilah Quraisy Shihab term halal bil halal berarti hallun bi hallun yang bermaksud membuka sesuatu yang menyesakkan atau melepaskan buhul-buhul yang menyempitkan dada. Artikulasi halal bil halal di sini lebih menargetkan pembukaan kran maaf dan lapang dada. Tentulah kran ini akan terbuka lebar dengan cara bersilaturrahmi yang sebenarnya tidak hanya terjebak dalam formalitas tahunan dan basa basi mingguan bahkan bulanan. Selesai acara halal bil halal digaungkan dengan penuh seremonial, apalagi sampai mengundang ustadz atau penceramah kondang sehingga ukhuwah (persaudaraan) yang ditanamkan kembali layu ditelan kesibukan dan dimakan oleh kecuekan, ketidak pedulian terhadap sesama. Tulisan ini bermaksud mengajak pembaca untuk menelusuri halal bil halal yang diinginkan Allah swt dan didambakan rasulNya.
READ MORE - Halal Bil Halal, Bukan Haram Bil Haram

Kamis, 02 September 2010

Nuansa Puasa Dan Ekonomi Islam

Ekonomi diartikan sebagai segala bentuk kegiatan, prilaku, aktifitas manusia yang berhubungan dengan kegiatan mencari uang dan membelanjakannya. Oleh karena itu, ketika kita membicarkan ekonomi Islam, maka keterkaitannya dengan ibadah puasa sangat besar. Di antara keterkaitannya adalah sebagai berikut;
Pertama, Tujuan puasa adalah agar manusia memperoleh kedudukan sebagai orang yang bertaqwa. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 183. Sementara, landasan mencari uang juga taqwa, seperti disebutkan dalam surat ath-Thalaq [65}; 2-3
“….Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar (2). Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya…(3).”
Dengan demikian, orang yang puasanya benar, maka usahanya dalam mencari uang dan membelanjakannya juga benar. Sebaliknya, yang tidak benar dalam mencari uang, dipastikan bahwa puasanya juga tidak benar. Agaknya, itulah hikmahnya kenapa Hajar isteri Ibarhim as. berlari mencari air kehidupan untuknya dan anaknya dengan memulainya dari Shafa (bersih/suci) serta mengakhirinya di Marwa (tempat kepuasan). Sehingga, yang mencari dan mendapatkan harta dengan cara yang bersih, suci dan baik, dia akan mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan.
Kedua, Puasa melahirkan kepedulian dan sikap berbagi. Hal itu terlihat dari bentuk ritual ibadah puasa menahan haus dan lapar yang berarti ikut bersimpati, berempati serta merasakan kesusahan orang lain. Akhirnya, puasa ditutup dengan membayarkan zakat fitrah kepad fakir miskin, sebagai wujud kepedulian sosial.
Sementara itu, ekonomi Islam juga berdasarkan asas saling membantu dan berbagi dengan sesama. Begitulah yang disebutkan Allah swt. dalam surat az- Zukhruf [43]:32
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Begitu juga yang disebutkan dalam surat al-Hasyar [59]: 7
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”.
Dalam syari’at Islam dikenal dua bentuk shadaqah wajib. Pertama disebut zakat mal (zakat harta), seperti zakat hasil pertanian, binatang ternak, harta perniagaan, emas dan perak dan sebagainya. Kedua, disebut zakat fitrah yaitu sedekah harta yang dikeluarkan untuk diberikan kepada orang tertentu dengan tujuan mensucikan jiwa, menambal kekurangan ibadah puasa dan sekaligus manifestasi dari ibadah puasa itu sendiri. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw
“Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensucian orang yang puasa dari hal-hal yang sia-sia dan dari perkataan dosa, maka siapa yang membayarkannya sebelum shalat ‘îd maka itulah zakat yang diterima Allah, namun siapa yang membayarkannya setelah shaalt ‘îd maka ia sama dengan sedekah biasa.”(H.R. Abu Daud)
Dengan demikian, zakat fitrah sama dengan sujud sahwi dalam shalat yang berfungsi menyempurnakan kekurangan dan kesalahan kecil yang dilakukan dalam berpuasa. Sehingga, bagi yang tidak berpuasa agaknya kewiban zakat fitrah tidaklah ada padanya. Karena ibarat kain, zakat fitrah berfungsi sebagai penambal bagi sobekan yang terdapat pada kain tersebut. Bagaimana jika kain yang akan ditambal itu tidak ada, yang ada hanyalah penambalnya saja? Tentu hal ini suatu kesia-siaan belaka.
Zakat fitrah dinamakan demikian, karena bertujuan mensucikan jiwa manusia dari kotoran berupa dosa. Sebab, tujuan ibadah puasa adalah menjadikan manusia kembali ke asal kejadiaanya; yaitu suci seperti yang diterangkan Allah dalam surat Shad [38]: 71-72. Namun, kesucian itu mulai ternoda ketika manusia melakukan suatu dosa. Sementara dosa yang mengotori rohani manusia dan yang membuat manusia jauh dari asalnya; Tuhan, salah satu cara menghapus dan mengembalikannya kepada kesuciannya adalah melalui ibadah, di antaranya puasa. Seperti sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim “Siapa yang berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan perhitungan yang mantap Allah akan mengampuni semua dosanya yang telah berlalu” .
Akan tetapi, sebagai manusia tentulah pelaksanaan ibadah tidak luput dari salah dan kekurangan, yang bisa merusak kesempurnaanya. Kekurangan dan kesalahan dalam pelaksanaan ibadah Ramadhan itulah yang ditambal dengan zakat fitrah, sehingga manusia benar-benar bisa kembali ke asal kejadiannya yaitu suci dari dosa dan kesalahan.
Zakat fitrah diwajibkan bagi setiap muslim yang mardeka, dan memiliki kecukupan harta atau belanja, untuk dirinya dan keluarganya, serta orang-orang yang menjadi tanggungannya untuk hari raya dan malamnya. Oleh karena itu, bagi yang tidak shalat atau puasa maka tentu tidak ada kewajiban zakat fitrah padanya karena prinsipnya dia bukanlah seorang muslim, sekalipun dia masih tetap mengaku muslim. Sebab, muslim itu sendiri berarti tunduk,patuh dan taat. Sedangkan jika dia tidak shalat dan tidak puasa bagaimana mungkin akan disebut sebagai orang yang tunduk, patuh atau taat.
Begitu juga, seorang budak tidaklah wajib membayar zakat fitrah, karena zakat hanya wajib bagi yang memiliki harta. Sedangkan budak adalah bagian dari harta itu sendiri. Dan terakhir, zakat fitrah tidak wajib yang tidak memiliki kelebihan harta untuknya, dan keluaraga, serta orang yang menjadi tanggungannya untuk selama hari raya dan malamnya. Jika terdapat kelebihan, maka wajib membayar zakat fitrah sesuai kelebihan itu. Namun, jika kelebihannya banyak maka zakat fitrah dibayar sesuai ukuran dan ketentuan yang berlaku.
Adapun waktu wajib zakat fitrah, adalah mulai terbenam matahari malam ‘îd al-fihtri sampai sebelum dilaksanakannya shalat ’îd. Dengan demikian, kewajiban membayar zakat fitrah adalah bagi yang mendapatkan pertemuan dua masa; yaitu akhir Ramadhan dan awal satu Syawal. Oleh karena itu, tidaklah wajib zakat fitrah bagi;
1. Anak yang lahir setelah terbenam matahari akhir Ramadhan, karena dia hanya mendapatkan satu masa yaitu awal Syawal, dan tidak mendapatkan Ramadhan.
2. Suami yang menikahi isterinya setelah terbenam matahari akhir Ramadhan.
3. Seorang budak yang mardeka setelah terbenam matahari akhir Ramadhan.
4. Orang yang kaya mendadak setelah terbenam matahari akhir Ramadhan
5. Orang yang masuk Islam setelah terbenam matahai akhir Ramadhan.
Sementara itu zakat fitrah wajib bagi;
1. Orang yang meninggal setelah terbenam matahari akhir Ramadhan, karena dia telah hidup dan bertemu dua masa yaitu Ramadhan dan awal Syawal. Berbeda halnya, jika meninggalnya sebelum terbenam matahari, maka tidaklah wajib zakat fitrah.
2. Seorang tuan yang memerdekakan budaknya setelah terbenam matahari akhir Ramadhan.
3. Seorang suami yang mentalak isterinya setelah terbenam matahari akhir Ramadhan
4. Seorang yang hilang kepemilikan atau kekayaannya (miskin mendadak) setelah terbenam matahari akhir Ramadhan.
Namun demikian, pembayaran zakat fitrah boleh dilakukan semenjak awal Ramadhan. Dan yang lebih afdhal menurut jumhur ulama menjelang shalat ‘îd. Namun, kalangan Hanafiyah berpendapat pembayaran zakat fitrah sebaiknya dilakukan dua hari atau tiga hari sebelum Ramadhan berakhir, agar orang fakir dan miskin yang menerimanya, bisa membelanjakannya sesuai keperluan untuk menyambut hari raya. Dan hukumnya menjadi haram, jika dibayarkan setelah selesai shalt ‘îd, tetapi kewajiban membayar tidak gugur karena terlambat.
Dalam pembayaran zakat fitarh masih ada ketentuan lain yang di atur menurut syari’at, di antaranya;
1. Tidak wajib bagi suami membayarkan zakat fitrah, bagi istrinya yang durhaka. Sebab, zakat fitrah bagian dari kewajiban suami terhadap isteri, sementara isteri yang durhaka tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.
2. Tidak wajib bagi suami yang miskin membayarkan fitrah isterinya yang kaya, dan kewajiban isterinya pun menjadi gugur, karena dia adalah tanggungan suaminya.
3. Tidak wajib bagi ayah membayarkan zakat fitrah anaknya yang belum dewasa tetapi kaya. Kewajiban berlaku bagi si anak itu sendiri dengan hartanya.
4. Tidak wajib bagi ayah membayarkan zakat fitrah bagi anak yang lahir dari perzinaan, tetapi kewajiban adalah bagi ibunya. Sebab, anak zina dia hanya memiliki ayah secara biologis, tetapi tidak memiliki ayah secara syar’i.
5. Wajib bagi tuan membayarkan zakat pembantunya.
6. Wajib dibayarkan zakat fitrah oleh sebuah keluarga, untuk anggota keluarganya yang hilang sampai dipastikan meninggalnya. Sebelum ada kepastian tentang kematiannya selama itu pula wajib dibayarkan zakat fitrahnya
Pentingnya Sebuah Kebersamaan

Manusia, seperti yang dijelaskan Allah swt dalam surat an-Nisa’ [4]: 28 adalah makhluk yang lemah. Bahkan, isyarat tersebut dengan jelas juga Allah sebutkan dalam salah satu ayat-Nya dari wahyu pertama yang diturunkan, surat al-‘Alaq [96]: 2, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari ‘Alaq. ‘Alaq secara harfiyah artinya sesuatu yang menggantung. Hal itu mengisyaratkan bahwa semenjak awal penciptaannya, manusia adalah makhluk yang memiliki ketergantungan kepada pihak lain disebabkan kelemahan manusia itu sendiri. Oleh karena itulah, manusia dalam kehidupannya memiliki kecendrungan untuk hidup secara bersama dan berkelompok.
Dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi saw, banyak ditemukan perintah untuk membangun kebersamaan itu. Seperti dalam surat Ali ‘Imran [3]: 103
Begitu juga dalam hadits Rasulullah saw, misalnya “Bersama itu adalah rahmat, dan berpecah itu “Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali agama Allah secara bersama dan janganlah kamu semua bercerai berai…”
adalah laknat”. Bahkan, kebersamaan itu bukan hanya perlu dalam kehidupan bermasyarakat, namun juga diperlukan dalam beribadah. Oleh karena itu, Rasulullah saw bersabda “Shalat berjama’ah lebih baik dari shalat sendiri dengan perbedaan 27 derajat”. Oleh karena itu, dalam setiap shalat kita selalu membaca;
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta tolong.”
Ungkapan “kami” pada kata na’budu wa nasta’în pada ayat tersebut tidak boleh dirobah dengan kata “saya” (a’budu wa asta’în), ketika shalat dilakukan sendiri. Ungkapan “kami” selalu dibaca, baik ketika shalatnya berjama’ah maupun shalat sendiri. Hal itu memberikan sebuah isyarat betapa pentingnya sebuah kebersamaan.
Di antara keuntungan bersama dalam ibadah dan mohon pertolongan adalah, bahwa ibadah yang dilakukan secara bersama akan dapat menutupi kekurangan ibadah yang lain yang kurang sempurna. Ibarat membeli buah, jika yang dibeli satu buah, tentulah sang pembeli akan memeriksanya secermat mungkin, sehingga jika ditemukan sedikit saja cacat mungkin transaksi akan dibatalkan atau diganti yang lain. Akan tetapi, jika sang pembeli membelinya satu karung atau satu truk, tentu saja dia tidak akan menelitinya satu persatu, karena kalaupun nanti ditemukan ada satu, dua, atau lebih yang cacat, maka akan tertutupi oleh yang bagus dengan jumlahnya yang lebih banyak . Begitu juga ibadah yang dilakukan secara bersama, Allah swt akan menerimanya secara kolektif, dan kekurangan dari satu atau dua orang bisa disempurnakan dengan kesempurnaan ibadah yang lainnya. Bukan bermaksud mengatakan Allah kurang teliti dalam hal ini, tetapi begitulah keuntungan berjama’ah dalam ibadah.
Begitu juga pertolongan yang diminta secara bersama, akan lebih didengarkan dan dikabulkan oleh tempat meminta daripada meminta pertolongan secara sendiri-sendiri. Sama halnya dengan ketika seseorang pergi ke kantor DPR sendiri, lalu berteriak mengajukan keinginannya. Tentulah keingian tersebut tidak akan didengarkan orang atau mungkin sekali dia akan ditangkap, karena dianggap mengganggu kenyamanan atau dikira sebagai orang gila. Namun, jika keinginan itu disampaikan secara bersama atau dalam bentuk demonstrasi, tentulah akan didengarkan dan kabulkan. Begitu juga halnya, dengan permohonan kepada Allah swt, bukan berarti Allah takut kepada banyaknya jumlah manusia, akan tetapi begitulah keuntungannya sebuah kebersamaan.


Namun demikian, dari ayat di atas kita juga harus memahami bahwa permohonan diajukan setelah terlebih dahulu melakukan perintah tempat mengajukan permohonan (ibadah). Artinya, bahwa tuntutan dikemukan setelah terlebih dahulu memenuhi kewajiban yang sudah ditentukan. Oleh karena itu, idealnya dalam kehidupan ini, adalah mendahulukan pelaksanaan kewajiban dari pada menuntut hak, dan jangan sebaliknya. Sebab, jika kewajiban sudah dipenuhi secara sempurna, maka hak dengan sendirinya akan diterima
Ketiga, Puasa menghasilkan kejujuran. Sebab, ketika seseorang melaksanakan ibadah puasa, sekalipun dia tidak dilihat oleh orang lain, namun dia tetap tidak makan dan minum. Sebab, dia tahu bahwa Allah melihat segala perbuatannya. Begitulah puasa menjadikan seseorang berprilaku jujur. Sementara ekonomi Islam juga dibangun atas dasar kejujuran, seperti disebutkan dalam surat ar-Rahman [55]: 7-9
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) (7). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu (8). Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (9).”

Keempat, Puasa mendidik keinginan dan membuang sikap tamak, rakus. Bukankah seorang bersedia meninggalkan makan dan minum serta berhubungan dengan isterinya sekalipun semua itu halal dan miliknya sendiri. Sebab, dia tahu hal itu belum saatnya.
Sedangkan untuk sesuatu yang sudah hala dan miliknya sendiri, masih bisa dia menahan diri tidak menyentuhnya, apalagi terhadap harta dan sesuatu yang bukan miliknya. Begitulah puasa menjadikan seseorang mampu menahan dan mengendalikan keinginannya.
Sementara, ekonomi Islam juga didasarkan jauh dari sikap rakus, tamak apalagi menghalalkan segala cara. Lihat firman Allah dalam surat at-Taktsur [102]: 1-2
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu (1). Sampai kamu masuk ke dalam kubur (2).”
Kelima, Puasa menyadarkan manusia akan kehidupan akhirat, sehingga tidak terlalu berambisi dengan harta dan menjadikannya tujuan hidup. Ekonomi Islam juga tidak menjadikan harta sebagai tujuan dan terlalu mencintainya. Dalam surat al-Humazah [104]: 1-2, Allah swt berfirman;
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (1). yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya (2)”.
Keenam, Puasa adalah ibadah yang bertujuan menanamkan nilai-nilai kebersamaan, mulai dari menahan, berbuka dan seterusnya, dan juga nilai penghormatan pada yang lain. Tidak ada perbedaan imsak (menahan) antara orang kaya dan miskin. Begitu juga, tidak ada perbedaan waktu berbuka antara yang kaya dan miskin. Semua yang berpuasa menahan dan berbuka dalam waktu yang sama, terlepas dari apa status dan kedudukan mereka. Begitu juga, sekalipun berbuka karena rukhsah, naman makan dan minum harus jauh dari orang yang sedang berpuasa.
Ekonomi Islam juga dibangun atas dasar saling menghormati. Oleh Karena itu, haram menawar barang yang sedang ditawar orang lain. Begitulah hubungan antra ibadah puasa dan ekonomi Islam.
READ MORE - Nuansa Puasa Dan Ekonomi Islam