marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Kamis, 21 Oktober 2010

Standar Baik dan Buruk

Dalam surat al-Ma’idah [5]: 100 Allah swt berfirman:
“Katakanlah (hai Muhammad): "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.”
Berkaitan dengan tersebut dalam tafsir Ibnu Kastir disebutkan bahwa sesuatu yang sedikit dan halal serta bisa memberi manfaat lebih baik dari pada yang banyak, haram tetapi memberi mudarat. Ketika Tsa’labah bin Hatib Al-anshari meminta rasulullah untuk mendo’akan dia agar diberikan harta yang banyak dan kekuasaan di mana-mana, rasulullah saw menjawab:” sedikit yang kamu miliki dan menjadikan kamu bersyukur lebih baik dari pada sesuatu yang banyak tetapi membuatmu tidak sanggup bersyukur. Sedikit dan kamu merasa cukup lebih baik dari pada banyak tapi melalaikanmu”.
Ayat di atas, jika dicermati akan memunculkan pertanyaan dalam fikiran setiap pembacanya. Mengapa Allah swt mengatakan bahwa tidak sama antara yang buruk dengan yang baik. Bukankah tanpa dikatakan Tuhan pun manusia dengan akalnya mampu mengetahui bahwa yang buruk dan baik itu tidak pernah sama?
Jika kita perhatikan al-Qur’an lebih lanjut, akan ditemukan banyak ayat Allah yang memiliki redaksi yang hampir sama dengan ayat di atas. Misalnya surat al-An’am [6]: 50:
“…Katakanlah (hai Muhammad): "Apakah (tidaklah) sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?".
Begitu juga surat Fathir [35]: 19:
“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat”.
Dan juga ayat 22, “Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati….”
Selanjutnya surat az-Zumar [39]: 9:
“Katakanlah (hai Muhammad): "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
Dan juga dalam surat al-Hasyr [59]: 20, “Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah(surga); penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung”, dan selanjutnya.
Jika saja boleh berandai, bila kita yang menerima ayat itu dari Allah swt dengan redaksi seperti yang diungkapkan dalam ayat tersebut, tentulah kita akan menjawab secara spontan kepada Allah, “Ya Tuhan, kami juga tahu bahwa yang buruk dan yang baik itu tidak sama, akal kami juga mengetahui keduanya berbeda”.
Allah swt Yang Maha Bijaksana, tentulah tidak menurunkan suatu firman-Nya, kecuali padanya terdapat hikmah, pelajaran yang maha besar. Sebab, tidak satupun yang berasal dari Tuhan mengandung kesia-siaan. Akan tetapi, tentu hikmah tersebut ditujukan untuk petunjuk dan kebaikan manusia itu sendiri.
Minimal ada dua hakmah dibalik ungkapan Tuhan dengan redaksi seperti yang tercantum dalam ayatnya surat al-Ma’idah [5]: 100 tersebut. Pertama, Allah swt ingin menegaskan kepada manusia bahwa sekalipun manusia mampu dengan akalnya mengetahui yang baik dan buruk dan membedakan keduanya, akan tetapi Allah swt ingin agar untuk mengukur baik dan buruk sesuatu bukanlah akal semata. Sebab, akal manusia tidak konsisten dalam menentukan ukuran buruk dan baiknya sesuatu. Baik dan buruk menurut akal manusia bisa berubah sesuai perubahan waktu, perbedaan tempat, dan sesuai kebiasaan.
Menurut cerita orang yang sudah hidup 40 tahun yang lalu, di negeri Minangkabau ataupun di beberapa negeri yang lain contohnya sangat buruk dipandang ketika perempuan memakai celana panjang sekalipun longgar. Perempuan yang memakainya akan menjadi buah bibir masyarakat, dan dipergunjingkan di semua tempat karena buruknya hal tersebut. Namun, hari ini kita melihat pakaian perempuan sudah melebihi itu; calana pendek, sempit dan menampakan bagian-bagian aurat yang semestinya ditutupi, akan tetapi hal seprti itu sudah menjadi pemandangan yang biasa dan bahkan sudah berobah menjadi “tren” kehidupan wanita. Kita tidak lagi merasa risih dan terganggu dengan pemandangan seperti itu, bahkan seperti sudah menjadi sesuatu yang baik dan benar. Bahkan untuk menghadiri acara zikir atau istighasah bersama bagi laki-laki diharuskan memakai sarung, peci, kopiah ataupun sorban dan tidak dibolehkan memakai celana panjang dan baju batik. Meskipun secara syara’ (agama) tidak ada aturan seperti itu, hal yang penting sopan dan menutup aurat, namun dalam tradisi menjadi aib bagi si pelakunya. Begitulah jika ukuran baik dan buruk diserahkan kepada akal, akan berbeda pandangannya seiring terjadinya perubahan waktu. Sesuatu yang dulu menurut akal manusia buruk, ketika zamannya sudah berbeda bisa saja menjadi baik.
Begitu juga, ukuran baik dan buruk menurut akal bisa berobah sesuai perbedaan tempat. Di daerah pedesaan, di mana masyarakatnya masih memegang teguh nilai adat dan agama, teramat buruk jika dilihat sepasang manusia yang bukan muhrim berjalan berduaan. Semua orang akan memandang dengan pandangan “miring” dan akan menjadi perbincangkan masyarakatnya. Akan tetapi, di daerah perkotaan apalagi di kota-kota besar, laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim berjalan berduaan di tempat yang ramai, berpegangan tangan, bahkan lebih dari itu sekalipun masyarat tidak merasakan sesuatu yang salah, bahkan sudah menjadi pemandangan yang biasa atau bahkan dianggap sesuatu yang wajar dan benar. Begitulah penilaian akal terhadap baik dan buruk, yang jika tempat berbeda ukurannya juga tidak sama.
Selanjutnya, baik dan buruk menurut akal bisa berbeda sesuai kebiasaan. Misalnya, semua orang sepakat mengatakan sampah sebagai sesuatu yang buruk dan busuk serta menjijikan. Namun, bagi pekerja yang setiap hari memungut sampah (bukan bermaksud merendahakn profesi pemungut sampah), sampah tidak lagi dipandang dan dirasakan sebagai sesuatu yang buruk dan busuk serta menjijikan, karena keseharianya menghadapi sampah. Sehingga, kebiasaanya dengan aroma dan kotornya sampah, membuat dia tidak lagi merasa jijik terhadapnya. Kebiasaan termasuk pembentuk karakter seseorang. Jika sesuatu yang seharusnya tidak layak dilakukan tetapi karena terbiasa melakukannya terjatuhlah ia dalam karekteristik yang jelek menurut publik bahkan dianggap perusak agama. Menghalalkan berbagai cara untuk melibatkan orang lain demi kepentingan pribadi atau organisasi tanpa mempedulikan perasaan orang lain apalagi mempromosikan diri atas nama agama, ulama dan muballigh termasuk kebiasaan yang tidak sah dalam norma-norma umum.
Begitulah keterbatasan akal manusia menentukan ukuran baik dan buruknya sesuatu. Oleh karena itu, Allah swt ingin mengajak manusia untuk mengembalikan ukuran baik dan buruknya sesuatu, kepada al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya. Sebab, apa yang sudah ditetapkan al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya tidak akan pernah berobah sampai kapanpun, dan di manapun. Jika al-Qur’an mengatakan bahwa berjudi itu haram, sampai kiamat pun hukumnya akan tetap haram. Jika al-Qur’an mengatakan berzina itu haram, merampok dan korupsi serta berbasa-basi mengataskan segala sesuatu dengan nama agama di manapun, kapanpun hukumnya tetap haram sekalipun sudah dilakukan oleh semua orang dan sudah dianggap kebiasaan orang banyak. Agaknya itulah rahasianya kenapa di akhir ayat tersebut Allah menegaskan “…sekalipun banyaknya yang buruk itu mencengangkanmu…”. Sesuatu yang haram akan tetap haram sekalipun telah dilakukan semua orang. Sebab, banyaknya orang melakukan sesuatu tidak menjadi jaminan bahwa sesuatu itu adalah baik.
Hikmah yang kedua dari ungkapan Allah dalam ayat tersebut adalah, Allah ingin mengajak manusia untuk membiasakan diri melakukan kebaikan dan menajauhi keburukan. Sebab, kebaikan tidak berarti sebagai kebaikan tanpa adanya pembiasaan diri melakukannya. Tentunya semua orang Islam mengetahui membaca al-Qur’an, shalat tahajjud, bersedekah dan sebagainya sebagai kabaikan yang dijanjikan balasan yang besar di sisi Allah. Akan tetapi, kenapa umat Islam malas melakukannya atau sangat sedikit yang melakukan hal-hal yang seperti disebutkan? Jawabannya, karena mereka tidak membiasakan diri melakukannya.
Barangkali itulah rahasianya kenapa Rasulullah saw menyuruh umatnya dalam sebuah hadits, “Suruhlah anak-anakmu shalat ketika berumur tujuh tahun, jika berumur sepuluh tahun mereka tidak juga shalat maka pukullah mereka(beri sanksi)”. Anak yang masih berumur tujuh tahun atau sembilan tahun, tentu belum diberati beban hukum secara syari’at (belum mukallaf). Shalat ataupun tidak, bagi mereka sama saja karena tidak ada beban dosa. Namun, yang ditujukan dalam hadits tersebut adalah upaya penanaman kebiasaan shalat atau beribadah bagi seorang anak semenjak usia dini. Sebab, seseorang bila sudah biasa melaksanakan shalat semenjak kecil, sampai dewasa hal itu tidak akan bisa dia tinggalakan betapapun dia dipaksa untuk meninggalkannya. Sebaliknya orang yang tidak pernah shalat, akan sangat susah untuk melaksanakannya pada masa dewasanya sekalipun diiringi pemaksaan atau diancam sanksi dan hukuman.
Adalah suatu hal yang pasti bagi yang biasa olah raga setiap harinya jika tidak berolah raga satu hari saja, badannya akan terasa sakit dikarenakan mininggalkan kebiasaaanya. Sebaliknya, bagi yang tidak pernah berolah raga, sekali melakukannya badannyapun akan terasa sakit karena melakukan sesuatu yang bukan kebiasaannya. Begitu pentingnya pembiasaan diri sehinga dalam sebuah ungkapan bijak disebutkan, bahwa manusia akan mati dibimbing oleh kebiasaannya. Bisa karena terbiasa, susah karena dimanja. Wallahu a’lam
READ MORE - Standar Baik dan Buruk

Sabtu, 09 Oktober 2010

Profil Umat Pilihan

Setiap makhluk diberikan Allah fitrah atau naluri untuk hidup berkelompok dan berorientasi secara komunal. Kelompok-kelompok tersebut dibangun biasanya berdasarkan unsur kesamaan yang mereka miliki. Kelompok makhluk Tuhan inilah yang disebut dengan nama ummat, dan manusia adalah salah satu bentuk kelompok tersebut sekaligus unsur pokoknya. Akan tetapi, dari sekian banyak bentuk ummat, dalam al-Qur’an ( kaum ‘Aad, Tsamud, Bani Israil dan lain-lain) terdapat istilah khairu ummah yang berarti umat terbaik; sebuah penamaan yang diperuntukan bagi umat Islam. Kata Khairu Ummah tersebut terdapat dalam surat Ali ‘Imran [3]: 110
Artinya: “Adalah kamu sebaik-baik umat (khaira ummatin) yang diutus untuk manusia menyuruh berbuat baik (ma’ruf) dan mencegah dari perbuatan munkar dan beriman kokoh kepada Allah…”
Ummat seperti yang telah disebutkan, ia diartikan sebagai suatu kelompok yang dihimpun oleh suatu kesamaan. Kesamaan itu bisa agama, waktu, tempat, jenis dan sebagainya. Oleh karena itulah, burung yang diikat kesamaan jenis sebagai binatang yang memiliki sayap dan terbang, dalam al-Qur’an disebut ummat. Seperti yang terdapat dalam surat al-An’am [6]: 38
Artinya: “Dan tidak satupun binatang melata di bumi dan tidak pula burung yang terbang mengembangkan kedua sayapnya kecuali mereka adalah umat-umat seperti kamu…”
Umat Muhammad saw. adalah umat terbaik dari semua aspek yang mengikat kesamaan tersebuat. Misalnya dari sisi agama, betapa tidak karena Allah swt telah menegaskan dalam surat al-Maidah [5]: 6:
“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku sempurnakan atas kamu nikmat-Ku dan telah Ku ridhai Islam sebagai agamamu”.
Agama Islam yang dibawa nabi Muhammad saw. adalah agama yang paling terakhir dan paling sempurna. Sebab, tidak ada lagi nabi yang akan diutus Allah untuk merobah ajaran agama ini. Segala sesuatunya telah sempurna dan tidak akan megalami perobahan sampai akhir zaman. Hal ini tentu berbeda dengan agama dan ajaran nabi untuk umat-umat lalu, yang hanya berlaku untuk waktu tertentu dan umat tertentu. Inilah bukti bahwa umat Islam sebagai umat terbaik dari sisi agama.
Dari segi waktu atau masa hidup, umat Islam juga merupakan umat terbaik. Sebab, dalam surat al-Hadid [57]: 9, Allah swt berfirman:
“ Dialah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang nyata supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dan sesungguhnya Allah terhadap kamu maha pengampun lagi penyayang”.
Hal itu menunjukan bahwa umat Muhammad hidup dalam masa dan kedaan, yang jauh lebih baik dari umat lalu. Sebab, umat sebelumnya hidup dalam zaman kegelapan, baik akidah maupun peradaban. Saat ini umat Islam telah mencapai apa yang zaman dulu mustahil bagi manusia, seperti naik pesawat, mobil dan sebagainya.
Umat Islam juga umat terbaik dari sisi wilayah atau tempat tinggal. Betapa tidak, bahwa di manapun negara Islam atau negara yang berpenduduk muslim merupakan negara yang kaya raya. Seperti Indonesia yang merupakan negara paling subur dan disebut sebagai “sorga Allah” di bumi. Negara-negara Arab, walaupun tidak subur tetapi kaya dengan sumber-sumber minyak yang menjadi urat nadi kehidupan dunia. Begitulah Allah jadikan umat Islam sebagai umat terbaik dari segi tempat tinggal.
Dari segi jenis sudah dapat dipastikan bahwa jenis manusia adalah umat terbaik bila dibandingkan jenis lain, “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik penciptaan” (Q.S. at-Tin [95]: 4.
Namun demikian, jika kita kembali kepada surat Ali Imran [3]: 110 tentang pembicaraan Allah terhadap umat Islam sebagai umat terbaik, akan ditemukan sebab yang menjadikan kondisi dan sebutan itu tetap melekat pada diri mereka. Umat Muhammad saw. akan tetap menjadi umat terbaik disebabkan tiga hal; yaitu,
1. Menyuruh kepada yang baik (Ma’rûf)
Ma’rûf adalah perbuatan yang baik, tidak hanya baik menurut aturan syari’at yang digariskan Allah swt, tetapi juga yang dianggap baik menurut pandangan manusia kebanyakan, selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama. Norma yang sudah berlaku ditengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama disebut ma’rûf, dan umat Muhammad saw. berkewajiban menegakannya.
Namun demikian, menegakan yang ma’rûf tidaklah pekerjaan gampang. Karena pelaksaannya bisa sempurna kalau umat Islam menjadi penguasa dan pemegang sekaligus pengambil kebijakan. Itulah agaknya kenapa kata pemimpin yang mesti dipatuhi, Allah sebutkan dalam surat an-Nasa’[4]:59 dengan Uli al-Amr, berasal dari kata Amar yang berarti menyuruh. Hal itu menunjukan bahwa pelaksanaan Amar Ma’rûf bisa sempurna kalau dilakukan oleh penguasa atau pemerintah. Dengan demikian, umat Muhammad saw. menjadi umat terbaik kalau mereka yang menjadi penguasa, pengambil kebijakan dan menjalankan kebijakan tersebut. Dan tentu para penguasa atau pemerintah yang diharapkan yang bersih dari penyakit kronis zaman seperti korupsi, kolusi dan nepotisme buta. Profil pemimpin muslim yang didambagakan, siapapun dia dan dari manapun asal aktifitas perpolitikannya, tentulah harus populis dan pro rakyat. Karakter penguasa muslim yang sejati sebagai profil umat pilihan di tengah-tengah umat yang lain adalah tidak banyak meminta, tapi banyak memberi seperti pohon pisang ketika tumbuh tidak meminta dipupuk, racun hama dan perawatan laiannya. Ia cukup diletakan di dalam sebuah lobang, lalu dibiarkan tanpa pupuk dan racun hama, ia akan tetap tumbuh dan berbuah. Bandingkan, jika kita menanam tanaman lain, seperti cabe, tomat, bawang dan sebagainya yang sangat memberatkan sang pemilik, karena mesti dipupuk, diberi racun hama, kemudian perhatian yang maksimal. Janganlah hendaknya terlalu banyak menuntut, mengharap apalagi menyusahkan orang lain. Sebab, jika seseorang banyak menunut dan meminta, maka orang lain akan menyimpan banyak harapan kepadanya. Jika dia kemudian hari memberi, orang lain tidak terlalu hormat dan bangga, karena memang sudah semestinya dia memberi karena telah banyak menuntut selama ini. Akan tetapi, jika dia kemudian hari tidak bisa memberi dan memenuhi harapan tempat ia meminta, biasanya orang lain akan kecewa kepadanya.
Sebaliknya, jika seseorang tidak banyak menuntut dan menyusahkan, namun kemudian banyak memberi, maka orang akan menaruh rasa segan,bangga, hormat dan simpati kepadanya. Lihatlah pohon pisang, yang sekiranya dia mati dan tidak menghasilkan buah, sang pemilik biasanya tidak teralu kecewa dan berkecil hati. Berbeda halnya, jika tanaman cabe atau tomat yang telah memakan biaya besar, namun tidak menghasilkan buah, maka pemilik kebun akan kecewa dan menggerutu kepadanya. The last but not least profil penguasa muslim hendaklah tidak sibuk berpesta pora dengan jargon-jargon politik sarat dengan basa-basi dan baliho-baliho dimark up dengan segala senyum yang fiktif dan kortesif.
2. Mencegah dari perbuatan munkar
Munkar berarti perbuatan yang tidak dikenal sebagai kebaikan, baik oleh agama maupun oleh masyarakat, selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama. Oleh karena itu, adat istiadat yang berlaku di tengah masyarakat tidak boleh dilanggar, karena hal itu berarti munkar sekalipun tidak melanggar agama. Berzinah, berjudi, merampok, korupsi, penyelewengan infak masjid, arogansi jabatan yang dimiliki, otoriter karena menggangap atau dianggap dirinya berkuasa, mementingkan keputusan kelompok sendiri, menjelekkan reputasi orang lain, merasa diri sok pintar, pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat yang tidak komunikatif, pungli atas dalih kesejahteraan rakyat, penyelwengan pajak dan banyak yang lainnya adalah termasuk perbuatan munkar yang harus dicegah dan dianggap sebagai teroris agama yang sebenarnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia merobahnya dengan tangannya (kekuasaannya), jika tidak mampu robahlah dengan lidahnya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah iman yang paling lemah”. Muslim pilihan adalah sosok individu yang mampu sadar dari kemunkaran yang mengerogoti imannya dan juga bisa menyadarkan saudara-saudaranya yang lain.
3. Beriman kokoh kepada Allah
Iman yang kokoh tidak diperoleh dengan cara yang gampang. sebab, syaithan telah berjanji dan bersumpah dihadapan Tuhan akan menggelincirkan iman manusia bahkan akan mencabutnya dari dalam hati manusia, sehingga mereka menjadi pengikutnya. Untuk memiliki iman yang kokoh manusia harus memiliki beberapa hal, yaitu;
a. Ilmu yang luas
Hal ini dikerenakan kebodohan merupakan gerbang utama syaithan menggoyahkan dan memalingkan manusia dari kebenaran. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat an-Nisa’[4]: 120:
“Syaithan menjanjikan mereka janji-janji kosong dan membuat angan-angan mereka panjang, padahal janji syaithan itu hanyalah tipu daya saja”.
Adalah sudah menjadi sebuah kepastian, bahwa kebodohan menjadikan seseorang tidak punya pendirian, karena dengan mudah orang lain merobah dirinya termasuk juga keyakinannya.
b. Kematangan materi
Untuk tidak menyebut kaya, karena kekayaan juga bersifat relatif dalam pandangan manusia. Tetapi, bahwa syarat seorang bisa memiliki iman yang kokoh adalah memiliki kecukupan harta, sehingga dia tidak memiliki ketergantungan kepada pihak lain. Sebab, kemiskinan juga gerbang utama syaithan menggelincirkan bahkan mencabut iman manusia seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 268:
“Syaithan menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji, dan Allah menjanjikan kamu ampunan dan karunia dari sisi-Nya dan Allah Maha Luas Karunia-Nya lagi Maha Mengetahui”.
Betapa banyak hari ini kita saksikan, sebagian manusia yang rela meninggalkan keyakinannya hanya karena “sesuap nasi” atau “sebungkus supermi”. Benar sekali apa yang pernah dikatakan Rasullah saw kâda al faqru an yakûna kufran (Kefakiran dekat kepada kekafiran). Tentulah kekayaan yang diperdapati dengan cara halal dan diredhai Allah swt seperti terungkap dalam Al baqarah:2:188:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”
c. Sehat fisik, mental maupun rohani
Iman yang kuat bisa diperoleh dalam badan yang sehat, karena penyakit juga merupakan gerbang masuknya godaan syaithan. Itulah yang terjadi pada diri salah seorang nabi Allah, Ayyub as, “Dan ingatlah hamba Kami Ayyub ketika dia memanggil Tuhannya sesungguhnya saya digoda syaitahn dengan penyakit dan derita saya” (Q.S. Shad [38]: 41). Betapa seringkali manusia mengumpat dan mencela, ketika mereka ditimpa penyakit. Bahkan ada sebagian manusia yang “menggerutu” kepada Allah bahkan berpaling dari agamanya.
Oleh karena itu, umat Muhammad saw. akan tetap sebagai uamt terbaik, jika memiliki iman yang kokoh melalui ilmu yang luas, kemapanan materi dan kesehatan jasamani dan rohani, mampu membawa kebaikan secara universal dan sanggup mencegah kebatilan baik individual maupun komunal. Bila ini tidak dimiliki maka umat terbaik hanyalah sebuah impian yang tidak akan pernah terwujud. Wallahu ‘alam
READ MORE - Profil Umat Pilihan