marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Kamis, 25 November 2010

Menjadi Guru Yang Ideal Menurut Alquran

Sehubungan dengan peringatan 25 November yang merupakan hari guru atau PGRI maka tulisan ini bermaksud menjelaskan perspektif islam tentang guru yang ideal.
Kata guru adalah salah satu kata yang sangat populer dan sering diucapakan manusia, walaupun dengan bahasa yang beragam. Karena, kebutuhan akan keberadaan guru adalah sangat penting bagi manuisa. Tidak akan ada peradaban di bumi ini, tanpa keberadaan sosok guru. Itulah sebabnya, sebelum nabi Adam diturunkan ke bumi dan membangun peradaban, terlebih dahulu dia belajar kepada Allah swt. sebagai “Guru” pertama. Seperti yangdisebutkan dalam surta al-Baqarah [2]: 31
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
Dalam setiap proses pembelajaran, selalu ada dua pihak yang terlibat secara langsung; yaitu guru dan murid. Oleh karena itulah, proses yang dilakukan keduanya disebut belajar dan mengajar atau sering disingkat dengan PBM. Jika salah satu dari keduanya tidak ada, maka proses belajar dan mengajar tidak akan terjadi. Selanjutnya, jika salah satu dari keduanya tidak memenuhi persyaratan yang dituntut dari keduanya, maka sekalipun prosesnya terjadi namun hasilnya tidak akan dicapai secara maksimal.
Dengan demikian, demi tercapainya hasil proses belajar dan mengajar dengan baik dan sempurna, maka perlu kedua pihak yang terlibat langsung memposisikan diri sebagaima mestinya. Dalam bahasa yang sederhana bisa dikatakan, bahwa demi tercapainya hasil terbaik dan maksimal dalam proses belajar dan mengajar maka dibutuhkan guru yang idel dan murid yang ideal.
terdapat empat surat di dalam al-Qur’an yang membicarakan tipe seorang guru yang ideal dalam mendidik. Ideal dalam kemampuan, sikap, metode dan sebagainya. Surat-surat tersebut adalah;
Pertama, surat al-‘Alaq [98]: 1-5 yang merupakan wahyu pertama diturunkan kepada Rasulullah. Dalam ayat ini Allah menyebutkan Dzat-Nya sebagai pengajar manusia.
Kedua, surat an-naml [27]: 15-44, di mana dalam surat ini Allah menceritakan sikap nabi Sulaiamn yang memilki ilmu yang luas terhadap bawahanya, yang sekaligus juga murid-muridnya.
Ketiga, surat ‘Abasa [86] 1-16, di mana dalam surat ini Allah menceritakan sikap nabi Muhammad saw. terhadap seorang muridnya yang bernama Abdullah Ummi Maktum. Ayat ini menyatakan teguran kepada nabi Muhammad agar bersikap proporsional sebagai seorang guru.


Adapun guru yang ideal menurut ayat 1-5 surat al-‘Alaq adalah;
Pertama, Seorang guru mestilah memiliki ilmu dan wawasan yang luas. Sebab, bagaimana mungkin kita akan mencapai hasil yang maksimal dalam mendidik dan menagajar, jika kualitas dan sumber daya gurunya sangat minim dan terbatas. Itulah sebabnya, Allah yang menyebutkan Dzat-Nya sebagai Pengajar manusia yang mengajarkan apa yang belum diketahuinya. Seperti dalam surat al-‘Alaq ayat 5
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Oleh karena itu, idealnya seorang guru adalah orang yang dituntut untuk selalu mampu menciptakan sesuatu yang baru. Baik dalam hal materi pembalajaran maupun metode dan caranya. Sehingga, pengajaran tidak bersifat statis dan selalu bergerak ke arah kemajuan. Tentu para guru dalam hal ini dituntut untuk selalu menambah wawasannya, yang bisa saja dilakukan melalui berbagai cara, seperti pendidikan formal, pelatihan, banyak membaca, banyak mendengar berdiskusi dan sebagainya. Memang begitulah pesan Allah kepada setiap manusia yang berada dalam dunia pendidikan, supaya mereka menjadi Insan Rababni. Seperti yang disebutkan dalam surat ‘Ali Imran [3]: 79
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
Kedua, Seorang guru mestilah mampu mendorong dan memberikan motivasi kepada semua muridnya untuk selalu aktif dan kreatif. Seorang guru idealnya adalah tidak memaksa muridnya untuk belajar, namun lebih kepada pemberian motivasi dan rangsangan. Itulah sebabnya, kata iqra’ (bacalah) diulang dua kali dalam surat al-‘Alaq ayat 1 dan 3.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3).”
Dan pada perintah membaca kedua, Allah menjanjikan kemulain-Nya yang tercurah bagi yang aktif membaca. Begitulah bentuk motivasi seorang guru kepada muridnya, agar mereka aktif dan kreatif.
Ketiga, seorang guru yang ideal tidak hanya mampu menyuruh dan mengajak muridnya untuk aktif membaca, namun juga mampu mengimbanginya dengan kemampuan menulis. Itulah yang disebutkan dalam surat al-‘Alaq ayat 4
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.”
Ilmu yang sudah dikuasai, jika tidak ditulis biasanya dengan mudah akan hilang dan lenyap dari ingatan. Ibarat hewan, jika jika masih dibiarkan lepas tanpa ikatan, tentu dia akan mudah pergi dan meninggalkan pemiliknya. Begitulah salah satu sifat ilmu, yang juga menuntut ikatan. Dan ikatan ilmu adalah ketika ia ditulis dalam lembaran kertas.
Selanjutnya, sikap guru yang ideal menurut surat an-Naml [27]: 15-44 adalah;
Pertama, Seorang guru harus menyadari bahwa dia adalah seorang yang memiliki ilmu, sehingga memiliki tanggung tanggung jawab moral terhadap ilmu yang dimilikinya untuk menyebarluaskan dan mengajarkannya kepada manusia. Hendalak setiap guru berkeingianan untuk menjadikan anak didiknya seperti dirinya atau melebihi dirinya. Itulah yang ditunjukan oleh nabi Sulaiman as. dalam ayat 16.
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata.”
Nabi Sulaiman menyadari sepenuhnya akan ilmu yang dimilikinya dan bahwa itu adalah karunia Tuhan kepadanya. Oleh Karena itu, dia memberitahukan kepada manusia pengetahuannya dengan maksud sekiranya manusia juga berkeinginan untuk belajar dan menimba ilmu darinya. Minimal dia mengatakan hal yang demikian agar tidak terkesan kalau dia menutupi ilmu yang diberikan kepadanya.
Begitulah tanggung jawab seorang alim terhadap ilmunya. Dia harus sadar akan pengetahuan yang dimilikinya dan tidak boleh menutupi ilmu tersebut dari orang lain yang ingin mengetahuinya. Serta memiliki tanggung jawab moral terhadap ilmu tersebut dalam bentuk mengajarkannya kepada orang lain.
Dalam pandangan ilmu filsafat manusia terbagi kepada empat macam. Pertama, orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Kedua, orang yang tidak tahu bahwa dia tahu. Ketiga, orang yang tahu bahwa dia tidak tahu. Dan keempat, orang yang tahu bahwa dia tahu. Dua kelompok pertama adalah manusia yang sangat buruk, sedangkan dua terakhir adalah manusia yang baik dan yang terbaik adalah kelompok terakhir.
Kedua, seorang guru meskipun dipahami orang banyak sebagai orang alim yang memiliki ilmu yang berbeda dengan orang awam. Namun, hendaklah setiap guru menyadari bahwa betapa banyak dan luas pengetahuannya, masih banyak yang belum diketahui dan mungkin saja pengetahuan itu ada pada orang lain yang kedudukannya lebih rendah daripadanya. Sehingga, sikap yang demikian akan mengantarkan seseorang memiliki sikap tawadhu’ dan menghargai orang lain, serta mau belajar kepada yang lain sekalipun kedudukannya lebih rendah darinya, termasuk muridnya sekalipun. Sikap itulah yang ditunjukan nabi Sulaiman as. dalam ayat 22-23.
“Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini (22). Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar (23).”
Pada ayat sebelumnya, nabi Sulaiaman as. telah mengatakan bahwa dia telah diajarkan ilmu yang banyak, diberikan kekuasaan yang sempurna bahkan mampu memahami bahasa makhluk lain selain mamnusia. Akan tetapi, salah seorang tentaranya; burung hud-hud dengan lantang mengatakan “…Aku mengetahui apa yang belum engkau ketahui…”. Hal itu membuktikan bahwa tidak semuanya yang dapat diketahui manusia, bahkan oleh seorang nabi yang diberi wahyu sekalipun karena ada hal-hal tertentu yang dia tidak mengetahuinya. Itulah yang ditegasklam Allah dalam surat al-Isra’ [17]: 85
: “…dan tidaklah kamu diberi ilmu kecuali sangat sedikit sekali.”
Ketiga, Seorang guru secara pasti memiliki pengetahuan melebihi muridnya, akan tetapi dia semestinya tetap memberikan kesempatan dan penghargaan kepada para muridnya untuk ikut aktif dalam mengaktualkan diri dan kemampuan mereka. Itulah hal yang ditunjukan oleh nabi Sulaiman as. sebagai guru yang memiliki ilmu yang luas, di dimana dia memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengangkat istana ratu Balqis dari Yaman ke Palestina, sekalipun dia sendiri mampu dan sangat mampu untuk melakukan itu. Begitulah isyarat yang terdapat dalam ayat 38-40
“Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri(38). Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya(39). Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia(40)”.
Begitulah cara guru dalam mengahdapi muridnya, yaitu memberikan kesemapatan dan penghargaan kepada siapa saja yang memiliki kemampun untuk malakukan sesuatu dan menunjukan kemampuannya. Sehingga, pembelajaran tidak menjadi dominasi guru, sementara murid hanya duduk dan diam mendengarkan uraiangurunya (“mancawan” bahasa kitanya). Dengan cara begitu, para murid merasa dihargai dan akan termotivasi untuk besaing dan lebih maju.
Surat ‘Abasa [80]: 1-16 juga menceritakan bentuk dan tipe guru yang ideal.
Surat yang turun untuk menegur Rasulullah saw ketika beliau bermuka masam terhadap seorang sahabat yang buta bernama Abdullah ibn Ummi Muktum. Dia adalah seorang sahabat yang cacat yaitu matanya buta, namun terkenal sebagai sahabat yang rajin belajar kepada Rasulullah dan banyak bertanya tentang wahyu dan berbagai ajaran Islam.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah sedang sibuk dan serius menghadapi dan mengajarkan Islam kepada beberapa tokoh Quraisy yang diharapakan Rasul saw keislaman mereka. Sebab, dalam perhitungan beliau jika tokoh-tokoh ini memeluk Islam diperkirakan akan mempercepat perkembangan Islam di Jazirah Arab.
Di saat Rasulullah saw sedang berbincang dan mengajarkan Islam kepada mereka, datanglah Abdullah ibn Ummi Maktum menyela pembicaraan Rasulullah saw. Dia meminta supaya diajarkan apa yang telah diajarkan Allah kepada Rasulnya. Hal ini dilakukan berkali-kali sehingga membuat Rasulullah saw merasa terusik dan jengkel. Hal itu kelihatan dari raut muka beliau yang masam - walaupun tidak sampai menghardiknya- serta mengabaikan Abdullah bin Ummi Maktum. Maka Allah swt menurunkan surat ‘Abasa [80]: 1-16.
Adapun sikap guru yang semestinya menurut ayat di atas adalah;
Pertama, Seorang guru tidak boleh memperlihatkan penampilan yang kurang responsif terhadap muridnya, apalagi bermuka kusut dan masam. Sebesar apapun persoalan di “luar sana” seorang guru tidak boleh membawanya ke dalam kelas apalagi melampiaskannya terhadap murid. Kalaupun seorang murid melakukan hal yang kurang berkenan, maka sedapat mungkin wajah atau air muka yang masam apalagi dilingkupi kemarahan dan kebencian harus dihindari. Sebab, proses belajar dan mengajar menuntut terciptanya hubungan batin dan emosional yang baik anatra guru dan murid. Jika ini tidak tercipta maka dipastikan ilmu tidak akan bisa diberikan dengan sempurna atau murid tidak bisa menyerapnya dengan baik. Inilah yang digambarkan dalam ayat 1-2 surat ‘Abasa.
“Dia bermuka masam. Karena telah datang kepadanya seorang yang buta
Kedua, Seorang guru harus memberikan penghargaan yang sama terhadap muridnya. Seorang guru tidak boleh membedakan perlakuan dan perhatian terhadap murid-muridnya. Hal ini tergambar dari ayat 5-6, bahwa saat itu Rasulullah saw sangat serius menghadapi pera pemuka Quraisy sementara Abdullah ibn Ummi Maktum adalah seorang sahabat yang buta- walaupun Rasulullah saw. tidak pernah membedakan manusia- sehingga beliau sedikit mengabaikannya.
“Adapun orang yang merasa tidak butuh (5) Maka engkau terhadapnya melayani (6).”
Dengan demikian, guru harus berlaku sama terhadap seluruh muridnya, sehingga tidak ada di antara muridnya yang merasa iri atau dengki kepada murid lain atau bahkan membenci gurunya karena dinilai kurang adil kepada sesama mereka. Bila ini terjadi, maka dikhawatirkan proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan bagus.
Ketiga, Seorang guru harus mengajarkan hal-hal yang berguna bagi muridnya, baik untuk dunia maupun akhirat. Seorang guru jangan mengajar sesuatu yang merugikan muridnya, apalagi mengajarkan sesuatu yang akan mencelakakannya. Sebab, guru adalah “idola” kedua bagi murid setelah orang tua mereka. Murid pasti meyakini bahwa yang diajarkan gurunya adalah sesutau yang mesti diikuti. Itulah yang digambarkan dalam ayat 3-4 surat ‘Abasa.
“Apakah yang menjadikanmu mengetahui- boleh jadi ia ingin membersihkan diri (3) Atau mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu (4).”
Keempat, Seorang guru tidak hanya dituntut mengajarkan sesuatu yang berguna, tetapi juga yang berupaya membawa mereka mengenal dan takut pada Tuhannya. Banyak ilmu yang bermanfaat, tetapi malah semakin menjauhkan seseorang dari Tuhannya. Oleh karena itu, tugas seorang guru adalah bagaimana memadukan ilmu yang diajarkan kepada muridnya dengan akidah yang mereka yakini sebagai kebenaran. Sehingga ilmu yang mereka pelajari tidak hanya bertujuan untuk pengisi otak tetapi juga sebagai makanan hati, jiwa, atau rohani. Yang pada akhirnya akan muncul generasi yang mampu memadukan antara ilmu dan amal shalih. Inilah yang dimaksudkan dalam ayat 8-9 surat ‘Abasa.
“Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera (8) Sedang ia takut”.
Itulah hikmahnya, kenapa Allah ketika memerintahkan membaca dalam wahyu pertama dikaitkan dengan kata “nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu”. Sehingga, proses belajar; membaca dan menulis dan berfikir tidak terlepas dari motivasi ibadah dan demi menemukan kebesaran Allah serta untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Semoga, kita dijadikan Allah swt. sebagai tipe guru yang ideal. Ideal di hadapan manusia juga ideal di hadapan-Nya. Wallahu A’lam
READ MORE - Menjadi Guru Yang Ideal Menurut Alquran

Senin, 22 November 2010

Artikulasi Kurban dalam Kehidupan

Jeritan dan tangisan saudara kita terdengar nyaring dan menyayat-nyayat, seakan-akan ingin membuka tirai tebal yang selama ini menutup hati kaum muslimin dan bangsa Indonesia. Jeritan saudara kita di berbagai daerah yang tertimpa bencana alam dan bencana sosial politik yang memilukan. Bencana tersebut menambah beban berat kaum Muslimin dan bangsa ini yang selama beberapa tahun terakhir dilanda krisis berkepanjangan. Krisis moneter, krisis ekonomi, krisis politik dan krisis moral yang merupakan pangkal awal penyebabnya. Belum lagi antrian panjang rakyat miskin yang rela berdesakan bahkan ada yang sampai pingsan mengantri sepotong daging qurban. Apa dan siapa yang disalahkan tidak jelas. Kondisi seperti ini masih terasakan sampai pada detik-detik hari raya Îd al-Adhha tahun 1431 H kali ini.
Îd al-Adhha juga disebut dengan nama hari raya Qurban. ‘Adhha secara harfiyah berarti menyembelih hewan tertentu. Sementara qurban berarti pendekatan yang sempurna kepada Allah. Makna sempurna dipahami dari bentuk kata qurban yang merupakan bentuk kata benda (mashdar) kata qaraba yang berarti dekat. Kata ini satu pola dengan kata Qur’an yang berarti bacaan yang paling sempurna, berasal dari kata qara’ a (membaca). Sehingga, ‘Id al-Adhha yang padanya ada ibadah haji dan qurban pada hakikatnya adalah sarana bagi setiap muslim untuk mencapai kedekatan yang paling sempurna kepada Allah.
Pada prinsipnya, semua ibadah yang dilakukan manusia, apapun bentuknya adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, belum dinamai Qurban (pendekatan yang sempurna). Pendekatan kepada Allah swt. barulah sampai ke tingkat yang paling sempurna (Qurban), jika sudah melaksanakan ritual tertentu pada hari raya al-Adhha yang salah satu bentuknya menyembelih hewan tertentu seperti kambing, sapi dan unta.
Oleh karena itulah, ‘id al-Adhha merupakan hari raya terbesar dalam ritual keagamaan umat Islam, walaupun dalam prakteknya, kita khususnya umat Islam di Indonesia menjadikan îd al-fithr sebagai hari raya terbesar. Di Indonesia, agaknya sudah menjadi sebuah budaya yang mungkin akan susah untuk dirobah, bahwa hari raya îd al-fithr dirayakan dengan sangat besar dan meriah, sementara îd al-adhha dirayakan dengan sangat sederhana, bahkan tanpa merasakannya sebagai hari raya. Keagungan îd al-adhha dibandingkan îd al-fithr terlihat dari beberapa hal.
Pertama, pada perintah bertakbir untuk kedua hari raya tersebut. Di mana, pada hari raya îd al-fithr bertakbir diperintahkan mulai dari terbenamnya matahari akhir ramadhan, sampai turunya khatib dari mimbar khutbah hari raya tanggal 1 syawal tersebut. Sedangkan pada hari raya îd al-Adhha, takbir diperintahkan mulai tergelincirnya matahari hari pada hari Arafah tanggal 9 Zulhijjah, sampai berakhirnya waktu ashar hari ketiga dari pada hari tasyrîq, yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Hal itu berarti masa berkumandangnya takbir mengagungkan nama Allah, lebih lama pada hari raya îd al-Adhha dibandingkan îd al-fithr.
Kedua, terletak pada subtansi dan tujuan kedua hari raya tersebut. Di mana, sebelum hari raya îd al-fithr umat Islam melaksanakan serangkaian ibadah baik siang maupun malam hari selama satu bulan penuh. Begitu juga, mereka dituntut meningggalkan larangan Allah swt ketika melaksanakan ibadah yang diperintahkan kepada mereka. Sehingga perjuangan mereka selama sebulan tersebut menjadikan umat Islam pada hari raya îd al-fithr bergembira dan bersorak dengan bertakbir, karena kemenangan mereka berperang melawan hawa nafsu. Setelah satu bulan berjuang melaksankan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, sehingga mereka mendapatkan prestasi menjadi orang yang bertaqwa (muttaqîn). Oleh karena itu, îd al-fithr diartikan sebagai simbol kemenangan manusia melawan hawa nafsu.
Berbeda halnya dengan îd al-Adhha, di mana umat Islam melaksanakan ibadah qurban padanya. Mereka bertakbir, mengagungkan nama Allah swt karena kemenangan umat Islam melawan keegoan diri. Sebab, korban adalah simbol pengorbanan keegoan manusia terhadap dirinya. Hal itu disimbolkan dengan peristiwa penyembelihan Isma’il oleh Ibrahim as. Di mana, Ibrahim as sudah menantikan kehadiran seorang anak selama puluhan tahun. Ketika anak yang dinantikan sudah diperoleh, dan disaat seorang ayah berada dipuncak kasih sayangnya kepada sang anak, Allah swt menginginkan anak itu diberikan untuk-Nya. Namun, Ibarahim as. dengan penuh ketaatan memberikan yang terbaik dari dirinya demi kepatuhan kepada Allah swt. Oleh karena itulah, Ibrahim as. dianugerahi prestasi sebagai muhsinîn. Seperti firman Allah swt dalam surat ash-Shafât [37]: 105
“sesungguhnya kamu Ibrahim telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dengan demikian, terdapat perbedaan prestasi yang diperoleh manusia dalam kedua hari raya îd al-fithr dan îd al-Adhha. Jika pada hari raya îd al-fithr seseorang menjadi muttaqîn melalu ibadah puasa, maka pada hari raya îd al-Adhha seseorang menjadi muhsinîn melalui pelaksanaan ibadah qurban. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Hajj [22]: 37
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Terkait dengan moral dan nilai kemanusiaan dan hari raya Adha, surat Al-Kautsar (QS. 108: 1-3) juga memberikan pesan tentang 3 hal penting dalam hidup ini
Artinya : 1) Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, 2) maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah, 3) Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).
Ayat di atas memberikan informasi pada kita , bahwa ada tiga kata kunci penting dalam hidup ini, yaitu nikmat yang banyak, shalat, dan berkorban. 1) Allah telah memberikan karunia dan nikmat yang teramat banyak, segala sisi dalam hidup ini penuh dengan nikmat. Jika ingin agar nikmat tersebut lestari maka lakukanlah 2) shalat, yaitu memperkuat hubungan vertikal agar nikmat tersebut memiliki nilai transenden dan hakiki, Selain itu juga lakukan 3) pengorbanan agar secara sosial nikmat tersebut mendapatkan pengakuan dan sumrambah pada yang lain. Mungkinkah orang mampu merasakan nikmat Tuhan jika ia hanya merasakannya sendiri? Tidak mungkin. Ia harus merasakan nikmat yang dikaruniakan kepadanya bersama dengan orang lain, karenanya berkorban merupakan keniscayaan agar nikmat itu dirasakan oleh orang lain dan memperoleh nilai hakikinya. Bukan nikmat semu tetapi nikmat yang menginternal dalam hidup kita selamanya.
Kurban merupakan kata kunci bagi terciptanya harmonitas masyarakat dan bangsa. Tanpa pengorbanan cita-cita luhur pembangunan hanyalah retorika belaka. Kepedihan yang menimpa sekian banyak umat Islam dan bangsa ini juga berawal dari tidak adanya pengorbanan yang sejati. Yang banyak saat ini adalah perbincangan, harapan, dan retorika politis tentang pengorbanan dan belum peksanaan korban dalam arti yang komprehensip yaitu berkorban ilahiyah-vertikal dan sosial-horisontal.
Pengorbanan sejati pasti didasari oleh 1) adanya niatan yang tulus karena Allah Swt. Dan bukan untuk ajang unjuk kekayaan dan prestise. Motivasi berkorban adalah untuk taqarrub, mendekatkan diri agar kita bisa lebih dekat dengan pencipta kita. 2) Berkorban juga harus didasari oleh pertimbangan akal-rasio dan ilmu yang memadai yaitu untuk kepentingan kemaslahatan, kemakmuran dan kedamaian masyarakat umum. Berkorban dengan menyembelih kambing, kerbau atau sapi adalah sebagian dari berkorban dalam arti yang luas. Berkorban juga dapat dilakukan dengan a) penyediaan fasilitas umum, b) penyediaan fasilitas pendidikan yang representatif untuk membangun SDM, c) pelestarian alam agar alam selalu bersahabat dengan kita tetap dan bertambah subur, indah, dan nyaman bagi kehidupan setiap makhluk. 3) Berkorban juga harus didasari oleh kesadaran akan pesan moral-etis yang terkandung di dalamnya sehingga ada upaya yang terus menerus untuk meningkatkan spiritualitas diri dan masyarakatnya.
Di antara pesan moral, ahlak yang dapat kita sebutkan adalah :
1. Berkorban berarti adanya kesediaan untuk memotong sebagian kekayaan kita yang berujud kambing, kerbau, sapi untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini berkorban juga kesediaan untuk memotong sebagaian kekayaan lain seperti ayam, padi, pakaian, tempat tinggal atau pekarangan dan uang untuk dimanfatkan oleh diri, keluarga dan masyarakat luas.
2. Berkorban berarti adanya kesediaan untuk memotong sebagaian tenaga yang kita miliki untuk kepentingan umum, untuk keluarga, untuk saudara-famili, tetangga, dan masyarakat serta bangsa. Orang yang telah terilhami makna kurban, ia akan senantiasa siap bergaul dengan baik dengan lingkungan sosial (juga fisik-material) di sela-sela kesibukannya.
3. Berkorban berarti adanya kesediaan untuk menyebarkan ilmu dan keterampilannya (dakwah dan ta’lim) untuk pemberdayaan masyarakat dengan mengajar anak-anak dan remaja serta mengajar setiap orang yang membutuhkan seperti mengajar tentang baca-tulis (al-Qur’an), ilmu-pengetahuan, pekerjaan (skill) dan kemasyarakatan. Berkorban dalam arti ini juga kesediaan untuk ikut berpartisipasi dalam mencari alternatif penyelesaian problem atau masalah keummatan dengan memeras otak dan fikiran untuk memperoleh hasil pemikiran yang benar-benar orisinil, maslahat, dan menyentuh kebutuhan umat.
4. Berkorban untuk berpartisipasi dalam proses kepemimpinan (imamah) dan memegang kepemimpinan dengan penuh tanggungungjawab (amanah). Seseorang berkenan menjadi pemimpin untuk kebaikan umat, jika dipilih dan ia berkenan pula untuk mundur tatkala diyakini kurang memberikan kemaslahatan bagi umat sekaligus ia mau memberi kesempatan pada generasi yang lebih potensial untuk menjadi pemimpin. Kesediaan untuk maju ke tampuk kepemimpinan, mundur dan memberi kesempatan orang lain maju karena tuntutan masyarakat yang sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh UU adalah bagian dari berkorban. Sebagai rakyat, berkorban adalah menjadi warga bangsa yang baik, partisipatif, kreatif dan mampu melakukan kontrol yang bermoral untuk pemimpin dan lingkungan sosialnya. Rakyat yang siap menciptakan kepemimpinan yang adil, jujur dan bijaksana adalah bagian dari pengorbanannya.
5. Berprilaku positif dalam bergaul (mu’asyarah bi al-ma’ruf) dengan keluarga (anak-anak dan istri), orang tua, mertua, serta melakukan proses edukasi yang terus menerus bagi mereka juga bagian dari makna berkorban. Bertutur kata dengan bahasa yang sopan tatkala bergaul atau melakukan kritik konstruktif (bermoral) merupakan bagian dari berkorban. Berpakaian yang sopan, indah, serasi, dan menutup aurat merupakan bagian dari berkorban dalam arti yang lebih aplikatif.
Demikian antara lain artikulasi korban dalam kehidupan riil sehari-hari. Pemahaman akan arti korban seperti ini belum terealisasikan secara konsisten di masyarakat Muslim. Alhamdulillah kaum muslimin sudah mulai banyak yang sadar akan pentingnya berkurban dengan menyembelih hewan kurban tetapi yang perlu ditingkatkan adalah berkurban dalam arti luas yang menyentuh seluruh aspek lehidupan manusia seperti di atas.
Saat ini jamaah haji kita sedang berada di tanah suci, mendekatkan diri pada Allah Swt. Meneladani prilaku nabi Ibrahim, Ibu Hajar, dan Ismail. Selain napak tilas [peribadatan nabi Ibrahim jamaah haji dan juga semua kaum Muslim mencontoh bagaimana menjadi Bapak yang bijak seperti Ibrahim, menjadi istri dan ibu yang penuh kasih sayang bagaikan Hajar, dan menjadi anak yang cerdas, sopan dan taat pada orang tua sebagaimana Ismail. Ketiganya merupakan model terbaik (dalam keluarga dan masyarakat) sesuai dengan perannya masing-masing dan ketiganya adalah makhluk terpuji yang rindu akan Tuhannya. Kita sebagai bangsa yang sedang mengenang Nabi Ibrahin, Ismail dan Ibu Hajar, di Indonesia juga dianjurkan untuk menjadi orang yang terbaik dan manfaat dengan mengemban amanat Ilahi sesuai dengan tugas dan peran kita masing-masing.
Bulan haji, sebagai mana dalam sejarahnya, menuntun kita untuk bekerja keras dengan tulus-ihlas dan selalu dekat kepada Allah Swt. Bulan ini kita disadarkan untuk selalu instropeksi diri, apakah kita selama ini sudah melakukan kerja positif–profesional (amal sholih), kerja keras, dan semangat tinggi ?. Mengapa hati kita belum terpatri oleh rasa rindu dan selalu mengaharap akan ridlo Allah Swt. Mengapa kita sering kurang jujur dan pemalas. Marilah kita rancang bangunan hidup kita ini agar selalu dalam garis Tuhan yang penuh semangat juang, berfikir cerdas, hati bersih, kerja keras, dekat dengan Allah Swt sekaligus dekat dengan makhluk-Nya, menjaga keharmonisan sosial dan keharmonisan dengan alam semesta. Menjaga alam agar Ia memberikan yang terbaik bagi kehidupan kita.
Ibadah hajji telah mendidik kita untuk menyatukan langkah dengan dasar ketauhidan, visi dan misi yang sama. Bersatu untuk mengemban tugas sebagai makhluk Allah di bumi. Bersatu sebagaimana saudara kita yang bersatu di baitullah dan di padang Arafah saat menunaikan haji. Hentikan perpecahan dan permusuhan, kita rapatkan kembali persatuan. Kita telah tahu akibat perpecahan dan permusuhan yang telah membawa kesengsaraan umat berabad-abad.
Ibadah haji telah mengantarkan pelaksananya untuk menerima sebutan Bapak dan Ibu haji. Sebutan tersebut merupakan fenomena sosiologis bagi bangsa kita sejak masa pra dan pasca kemerdekaan. Karena seorang Muslim telah haji ia menjadi contoh panutan sebagai manusia yang mengemban nilai kenabian (profetik) sekaligus membumikannya dalam kehidupan riil di mana Bapak dan Ibu haji hidup dan bergaul. Semoga pada bulan haji ini kita tersadarkan kembali untuk menuju kesempurnaan lahir dan batin secara bersamaan.
Semoga kita dapat memperbaiki kehidupan ini agar menjadi lebih baik dan lebih memiliki nilai guna yang tinggi bagi lingkungan serta senantiasa mendapatkan ridho Allah Swt. Wallahu ‘alam
READ MORE - Artikulasi Kurban dalam Kehidupan

Kamis, 04 November 2010

Mengambil hikmah dari gempa

Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. ( QS Al Zalzalah : 99:1-5)
Sudah hampir seminggu gunung berapi dan gempa menerpa negeri tercinta ini dan menurut info terupdate masih berlanjut (www.detiknews.com)sehingga meninggalkan duka dan kesedihan bagi para korban. Tatapan kesedihan itu tercermin jelas dengan kematian keluarga yang dicintai dan lenyapnya harta yang disayangi oleh sebahagian para korban yang masih hidup. Ratapan tangis pun memuncak ketika tiba perasaan kesal serta pikiran untuk memulihkan kehidupan yang sudah hancur.
Ketika kita dihadapkan dengan panorama bencana: mayat-mayat berserakan, rumah-rumah runtuh, orang-orang terluka dan para pengungsi ‘kleleran’, apa yang berjumpalitan di benak kita?. Apakah yang kita rasakan?.
Sakit.
Itulah yang terjadi berulang-ulang di tanah air kita dua tahun belakangan ini: sejak gempa di Nabire, Tsunami di Aceh dan Nias, --kini—gempa di Yogyakarta dan Gunung Merapi yang masih mengeluarkan asap panas. Ketika panorama itu diputar berulang-ulang, apakah yang kita rasakan?.
Lebih sakit.
Guncangan gempa, hempasan Tsunami dan gelegak lahar itu terus-menerus menggempur hati kita, meninggalkan luka yang masih menganga. Apakah kita mesti mengeluh, “mengapa yang terus datang adalah derita demi derita, gelap di atas gelap?”.
Gelap --yang seperti pakaian-- membalut tubuh bangsa kita. Gelap yang kita sendirilah penyebab pekat dan ketakberanjakannya. Hutan-hutan kita tebangi tanpa keseimbangan; tambang-tambang kita gali habis-habisan; korupsi jadi kebanggaan, belum lagi anggaran dipangkas demi kepentingan individual atau kelompok alih-alih studibanding ke luarnegeri, padahal hakikatnya wisata jasmani; moral bangsa hanyut dibawa banjir bandang. Tindak aniaya adalah kegelapan. Demikian pesan al-Qur’an.
Akan tetapi, gelap adalah juga tempat melatih kebeningan, mempertajam perenungan dan –dengan jujur—mengakui kesalahan-kesalahan. Malam menjelang subuh adalah saat terintim manusia dengan Tuhannya.
Letusan gunung berapi, gempa dan tsunami itu adalah bencana. Setiap bencana itu menyakitkan. Sehingga rasulullah SAW mengaskan dalam hadistnya ketika salah seorang sahabat beliau Ikramah datang ke rumahnya dan didapati lampu rumah nabi padam kemudian rasulullah mengucapkan istirja’ : Innaa lillahi wa innaa ilaihi raj’un ( kita adalah milik Allah dan akan kembali kepadaNya). Ikramah bertanya: “kenapa rasullullah mengucapkan istirja’ padahal hanya lampu yang padam? Nabi menjawab: segala sesuatu yang menyakitkan kita itu adalah musibah (bencana) meskipun lampu padam.
Alqur’an telah banyak memberikan kepada umat ini pelajaran-pelajaran berharga tentang bangsa dan umat sebelum kita yang ditimpakan berbagai bencana. Di antaranya: Pembangkangan dan kedurhakaan umat nabi Nuh, diselesaikan oleh Allah dengan mendatangkan badai Topan/ al-thaufân. (Q.S. al-Ankabut [29]: 14. Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Hud, diakhiri Allah dengan mendatangkan angin yang sangat dingin dan kencang (rihun sharsharun), sehingga menghancurkan tubuh-tubuh mereka seperti tunggul kayu yang lapuk (Q.S. al-Haqqah [69]: 6). Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Shalih, Allah balas dengan ledakan gunug api (al-rajfatu), sehingga menghancurkan tubuh-tubuh mereka (Q.S. al-A’raf [7]: 78). Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Luth, disudahi Allah dengan mendatangkan hujan batu (matharun min al-hijârat), sehingga merekapun binasa (Q.S. Hud [11]: 82). Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Musa, diakhiri Allah dengan mendatangkan petir (al-Shâ’iqati) lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 55. Pembangkangan dan kedurhakaan bangsa Saba’ setelah Sulaiman diakhiri Allah dengan mendatangkan banjir bandang (sailul ‘iram), sehingga negeri mereka menjadi kering, gersang dan tandus dan merekapun kelaparan.
Ternyata, semua bentuk azab ataupun peringatan yang pernah diturunkan Allah tidak mengambil satu bentuk dan satu subjek saja. Oleh karena itu, jika gempa dan tsunami telah didatangkan Allah sebagai bentuk azab ataupun peringatan, maka andaikata bencana akan tetap terjadi maka ia akan mengambil bentuk dan subjek lain. Sebab, tentara Allah bukan hanya gempa atau air. Masih banyak lagi tentara dan senjata Allah yang bisa dijadikan sarana menghukum atau menegur mahkluk-Nya.
Masih terlintas dari ingatan kita gempa yang terjadi di Sumatera Barat, Rabu (30/09/09), yang meluluh lantahkan ranah minang.
Sehari setelah kejadian gempa, beredar kabar -di antaranya lewat pesan singkat (SMS) dan situs jejaring sosial facebook- yang mengaitkan waktu terjadinya gempa dengan surat dan ayat yang ada di dalam al-Qur'an.
"KETAHUILAH…. Gempa di Padang terjadi pada pukul 17.16, coba lihat QS. 17.18.. Kemudian gempa susulan terjadi pada pukul 17.38, lihat QS. 17:58.. Gempa di Padang terjadi pada tanggal 30 bulan 9, lihat QS. 30:9.." demikian bunyi pesan singkat yang beredar. Siapa yang membuka ayat-ayat di atas akan menyadari bahwa musibah itu memang layak menimpa negeri ini”.
QS. Al Israa’(17) ayat 16: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
QS. Al Israa’(17) ayat 58: “Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuz).”
QS. Ar-Ruum (30) ayat 9: "Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku dzalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku dzalim kepada diri sendiri."
Tiga ayat di atas, yang dikaitkan dengan waktu kejadian gempa di Sumbar, berbicara perihal azab Allah berupa kebinasaan suatu penduduk negeri. Bahwa kebinasaan dan kehancurannya disebabkan oleh tingkah laku penduduknya dengan melakukan kedurhakaan kepada Allah. Bukan Allah berlaku dzalim terhadap mereka, tapi merekalah yang telah mendzalimi diri mereka sendiri.
Dan ketika Allah akan menurunkan adzab kebinasaan kepada suatu penduduk negeri maka diadakan di antara mereka para pemimpin yang suka hidup mewah dan kufur kepada Allah, sehingga mereka menyeru rakyatnya kepada kekufuran, maka ketika mereka melakukan hal itu tiba saatnya adzab turun.
Dan ketika Allah akan menurunkan adzab kebinasaan kepada suatu penduduk negeri maka diadakan di antara mereka para pemimpin yang suka hidup mewah dan kufur kepada Allah, sehingga mereka menyeru rakyatnya kepada kekufuran, maka ketika mereka melakukan hal itu tiba saatnya adzab turun.
Kekufuran para pemimpin ini sudah terlalu lama, yaitu dengan menolak hukum Allah (syariat Islam), menggantinya dengan produk hukum manusia. Contohnya demokrasi. Syariat dikesampingkan, tradisi dan aturan hidup yang menyelisihi Islam dibudidayakan. Akhirnya yang diharamkan oleh Islam dihalalkan, begitu juga sebaliknya. Para mujahid dihabisi, sementara penjahat dilindungi.
Tentang ada atau tidaknya kaitan antara ayat-ayat di atas dengan bencana tidak ada satu dalil sharih yang menunjukkannya. Namun, semestinya bencana menjadi pelajaran bagi kita. Introspeksi dan muhasabah terhadap kesalahan dan kedurhakaan kepada Allah harus segera dilakukan, supaya musibah tidak terulang. (voa-islam) Dengan menjadi ûlûl al-albâb (orang-orang yang berpikir jernih)
LANTAS, bagaimana kita mesti mengambil hikmah dari gempa?.
Kalau kita melihatnya hanyalah sekedar peristiwa alam, ilmu pengetahuan memberikan jawaban. Akal yang bekerja disini –mengutip Dr. Taha Abdurrahman, filosof Maroko-- disebut akal mulki ; akal yang menghasilkan pengetahuan.
Akal macam ini memberi kita pengetahuan bagaimana gempa bumi terjadi; bagaimana membuat sistem peringatan dini sebelum ia terjadi; bagaimana mengkonstruk bangunan tahan gempa; bagaimana menyiapkan masyarakat untuk tepat bertindak menjelang, ketika dan setelah gempa terjadi; bagaimana menyiapkan capacity building sistem penangananbencana yang kokoh-efekif ; dan seterusnya. Pemerintah dengan segala perangkat dan fasilitas yang dimilikinya paling bertanggung jawab menyediakan semua ini.
Negara-negara sekuler dan lembaga-lembaga internasional biasanya melihat bencana dari perspektif ini. Dalam konteks bencana alam, reaksi mereka bisa dirunut: ikut belasungkawa, memberi bantuan kemanusiaan (barang atau uang), memperingatkan negara korban agar membangun early warning system dan membantu negara bersangkutan untuk rekonstruksi pasca bencana. Selepas itu, kondisinya kembali ke status quo: aktivitas mereguk habis-habisan kenikmatan dunia kembali dibuka; struktur dunia yang tidak adil tetap lestari dan dunia kembali berputar dengan segala perangkat dan nilainya yang berlaku de facto.
Namun kalau kita melihat gempa dari perspektif nilai(akal malakuti), persoalannya menjadi lain. Akal macam ini mengantarkan seseorang pada keimanan. Bahwa segala peristiwa di dunia ini adalah ayat (tanda yang mengandung nilai) Allah SWT untuk mengajar manusia yang mau menggunakan kecerdasan otak dan hatinya (ulul albab).
Gempa –dalam perspektif ini—bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan alam terhadap keserakahan dan kezaliman manusia; sebagai warning system proteksi Allah SWT terhadap manusia --bahwa dengan kekuasaan-Nya manusia bisa diserang kehancuran kapan saja, oleh banjir, angin topan, gunung meletus dan lain-lain--; sebagai media untuk menguji kesabaran dan kekokohan mental sebuah komunitas untuk meraih masa depan yang lebih baik. Semakin dalam perenungan dengan akal malakuti, semakin banyak makna dan kearifan yang bisa digali.
Orang beriman melihat musibah sebagai ujian. Ia akan keluar menjadi sosok yang lebih kuat setelah musibah berlalu. Kalau ia harus kembali menghadap Penciptanya sekalipun, semboyannya adalah innalillah wa inna ilahi raji’un, segalanya berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya. Musibah yang menjadi ujian itu memberikan kesempatan kepada orang beriman untuk introspeksi; jangan-jangan ada yang salah dengan dirinya. Bisa jadi ia kurang bersyukur, kurang serius mengabdi kepada Allah, banyak melabrak larangan-larangan-Nya dan seterusnya.
Perenungan macam ini mau tidak mau akan mengantarkan sang empunya untuk kembali kepada-Nya, bertaubat, meneguhkan keimanan dan beramal saleh. Ini adalah perlajaran paling berharga yang bisa dipetik oleh orang beriman dari bencana yang dihadapinya. Sikap mental dan perilakunya pasca bencana pasti lebih baik dari sebelumnya. Karena bisa jadi gempa adalah medium revolusi spiritual baginya untuk menapaki tangga demi tangga menuju puncak nilai keluhuran manusia. Bisakah kita, bangsa Indonesia, belajar serius dengan mata nurani dari rentetan bencana yang menghantam negeri kita tahun-tahun belakangan ini?.Bukankah setelah subuh, gelap pasti berlalu digantikan cahaya mentari; membuka hari baru yang cerah dan menjanjikan?. Bisakah kita merengkuhnya?. Memang segala kejadian di muka bumi ini hak mutlak ketetapan Allah. Dia semata yang mengetahuinya. Kapan dan di mana kejadian tersebut sudah Dia ketahui dan rencanakan dengan detail. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
READ MORE - Mengambil hikmah dari gempa