marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Senin, 31 Januari 2011

Membumikan Rahmatun Lil ‘Alamin

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Al Anbiya’: 107)
Betulkah ? Ketika seseorang berdalil dengan ayat ini dia menyalahkan tindakan terorisme yang selama ini dialamatkan kepada para mujahidin, FPI, pejuang hukum Islam di setiap parlemen, mujahidin di setiap medan pertempuran di bumi ini, dan kepada para ikhwan pejuang amar ma’ruf nahi mungkar ?
Benarkah ? Ketika seseorang berdalil dengan ayat ini, ia mengusulkan agar majalah Playboy Indonesia tetap eksis dan pejuang kemerdekaan dari pornografi & pornoaksi dibubarkan ?
Betulkah ? Dengan dalil ini seseorang aparat hukum dan wakil rakyat yang diamanahkan untuk membela rakyat berbuat semaunya, sehingga mengatakan “ islamkan agama yang damai” ?
Benarkah ? Dengan dalil ini seseorang dapat menyalahkan perbuatan trio bomber Bali, lantaran perbuatan mereka Islam tidak lagi rahmat akan tetapi menjadi laknat ?
Benarkah ? Ketika seseorang berdalil dengan ayat ini, ia berjustifikasi bahwa kemungkaran, kemaksiatan, dan seluruh kebebasan bisa bersanding damai dengan Islam dan kaum muslimin ?
Masih banyak pertanyaan yang terngiang di pikiran kita tentang penyelewengan ayat ini, dan na’udzubillahi min dzalik. Untuk itu penulis mencoba membawa pembaca ke arah pemikiran yang benar, Insyaallah.
Sebenarnya, ketika kita membaca ayat itu dengan seksama dan dengan pemahaman yang benar serta menyeluruh, kita akan mendapatkan bahwa Allah lmengutus Nabi Muhammad dengan seluruh syari’at (hukum) yang dibawanya sebagai rahmat bagi seluruh alam. Jadi, kata rahmat dalam ayat tersebut merupakan hasil akhir yang dicapai oleh umat manusia setelah mereka menerapkan syari’at Islam secara keseluruhan. Maka jelaslah letak kesalahan kita dan masyarakat selama ini yang mengatakan bahwa kata rahmat merupakan ‘ilat (alasan) diutusnya Rasulullah sehingga mereka berani menyalahkan dan mendiskreditkan para pejuang jihad fi sabilillah dan amar ma’ruf nahi mungkar dengan menggunakan ayat ini.
Imam As Syaukani, pengarang kitab tafsir Fathul Qodir menerangkan maksud ayat tersebut dengan tulisannya: “Tidaklah Kami mengutus Engkau wahai Muhammad dengan syariah dan hukum kecuali menjadi rahmat bagi seluruh manusia.”
Dengan demikian Islam sebagai rahmatan lil alamin akan terwujud dengan penerapan syariah Islam, bukan yang lain. Dan penerapan syariah Islam yang dimaksud tentu saja harus totalitas (menyeluruh) bukan sepotong-sepotong, baik dalam urusan pribadi, keluarga, golongan, masyarakat, negara, bahkan dunia.
Islam dengan segala macam hukumnya telah menjadi momok yang menakutkan, terutama sejak dipaksakannya rekayasa sejarah yang mendiskreditkan Islam dan gerakan Islam. Selama ini digambarkan betapa seram dan ngerinya hukum Islam jika diterapkan dan betapa sadisnya hukum rajam dan potong tangan dan seterusnya.
Akhirnya Islampobia menjalar di masyarakat, bahkan orang-orang yang berstatus muslim pun takut kalau hukum Islam diterapkan di Indonesia Raya ini. Padahal kalau mereka mau melihat Islam dari sumbernya yang asli yaitu Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman generasi-generasi terbaik yang dipuji Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan mendapati agama Islam sebagai agama rahmat dan kasih sayang untuk seluruh alam.
Suatu saat malaikat Jibril datang kepada Nabi ketika beliau terusir dari kaumnya dan dilempari dengan batu di Thoif hingga kakinya berdarah. Lantas beliau bermunajat dan berdoa kepada Allah kemudian datanglah malaikat seraya berkata: "Aku diutus Allah untuk mentaati perintah-Mu. Jika engkau menginginkan agar aku menimpakan gunung ini kepada mereka aku akan laksanakan." Maka Rasulullah bersabda: "Ya Allah, berilah hidayah pada mereka karena sesungguhnya mereka belum mengetahui." Melihat Rasulullah berdoa seperti itu, Jibril mengatakan: "Maha benar Allah yang menamakanmu ra'ufur rahim." (Nurul Yaqin hal. 56).
Inilah bukti kasih sayang beliau kepada seluruh manusia. Jika beliau diberi pilihan doa yang maqbul terhadap kaumnya apakah dilaknat dan diadzab ataukah diberi hidayah, tentu beliau memilih berdoa agar Allah memberikan hidayah.
Suatu hari Rasulullah diminta oleh seseorang: "Wahai Rasulullah, doakanlah kejelekan bagi musyrikin." Maka Rasulullah menjawab:"Aku tidak diutus sebagai tukang laknat, melainkan aku diutus sebagai rahmat." (HR. Muslim).
Negara Islam Siapa Takut ?
Kalau demikian kenyataannya, mengapa kita mesti takut terhadap munculnya negara Islam. Negara yang akan mengayomi rakyat semesta dan membawa bangsa kepada kemakmuran yang hakiki. Yang memberi kesempatan kepada rakyat non Islam untuk menjalankan agamanya sambil melihat kesempurnaan syariat Islam sehingga suatu saat mereka akan masuk Islam tanpa paksaan. Dan ini juga berarti rahmat yang lebih sempurna lagi bagi mereka.
Rasulullah melarang kaum Muslimin untuk mengganggu orang-orang non-Islam yang hidup sebagai kafir dzimmi. Yaitu orang kafir yang termasuk warga negara Islam yang dilindungi selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara dan membayar jizyah (semacam upeti atau pajak). Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak mengijinkan kalian untuk masuk ke rumah orang-orang ahli kitab kecuali dengan seijin mereka, tidak boleh memukul mereka dan mengambil buah-buahan mereka selama mereka memberikan kepada kalian kewajiban mereka." (HR. Abu Dawud).
Demikianlah warga negara non-Islam diberikan hak-haknya dan dijaga hartanya. Tidak boleh dirampas hartanya atau dibunuh jiwanya dengan zolim selama mereka mentaati peraturan-peraturan Islam walaupun kita sama-sama tahu bahwa kedudukan mereka lebih rendah dari kaum muslimin sebagaimana ucapan Umar bin Khattab: "Rendahkanlah mereka tapi jangan zolimi mereka." (Fatawa: 28 / 653)
Suatu hari Rasulullah didatangi dua orang utusan dari Musailamah Al-Kadzab, seorang nabi palsu. Kemudian beliau bersabda: "Apakah kalian mau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?" Mereka berkata: "Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah Rasulullah." maka Rasulullah bersabda: "Aku beriman kepada Allah dan para rasul-Nya! Kalau saja aku membolehkan untuk membunuh seorang utusan tentu akan aku bunuh kalian berdua!" mendengar ucapan beliau, mereka berdua masuk Islam dan keduanya ingin tinggal bersamanya. Akan tetapi Rasulullah tetap memerintahkannya untuk kembali kepada kaum yang mengutusnya. Maka Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya aku tidak akan melanggar perjanjian dan tidak akan menahan para utusan. Maka kembalilah engkau! Kalau di dalam diri kalian tetap ada keimanan seperti sekarang ini, maka kembalilah kemari." (HR. Abu Dawud, An-Nasa'i).
MasyaAllah … betapa damainya Islam…
Tidak akan didapati kebijaksanaan yang seperti ini dalam agama lain. Hanya saja orang-orang bodoh, para ahli bid'ah, kaum munafiq merusak gambaran yang indah ini, sehingga akhirnya merusak pandangan Islam dan membuat manusia takut kepadanya.

Kasih sayang dalam perang

Demikian pula dalam peperangan. Agama Islam tidak lepas dari sifatnya sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam mengajarkan peraturan-peraturan dan hukum-hukum perang. Siapa yang boleh dibunuh dan siapa yang tidak.
Suatu hari Rasulullah berwasiyat kepada pasukan perangnya: "Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah! Perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tapi jangan mencuri rampasan perang, jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh, jangan membunuh anak-anak. Jika kalian menemui musuhmu dari kalangan musyrikin, maka ajaklah mereka kepada tiga perkara. Jika mereka menerima salah satunya, maka terimalah dan berhentilah (tidakmemerangi): Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka mengikuti ajakanmu, maka terimalah dari mereka dan tahanlah peperangan. Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka menyambut ajakanmu, maka terimalah dan ajaklah untuk pindah (hijrah) dari desa mereka ke tempat muhajirin (Madinah). Kalau mereka menolak, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa mereka dianggap sebagai orang-orang Arab gunung (nomaden) yang Muslim. Tidak ada bagi mereka bagian ghanimah (rampasan perang) sedikit pun kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Kalau mereka menolak (untuk masuk Islam) maka mintalah dari mereka untuk membayar jizyah (upeti) (sebagai orang-orang kafir yang dilindungi). Kalau mereka menolak, maka minta tolonglah kepada Allah untuk menghadapi mereka kemudian perangilah. Jika engkau mengepung penduduk suatu benteng, kemudian mereka menyerah ingin meminta jaminan Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kau lakukan. Tetapi jadikanlah untuk mereka jaminanmu, karena jika kalian melanggar jaminan-jaminan kalian itu lebih ringan daripada kalian menyelisihi jaminan Allah. Dan jika mereka menginginkan engkau untuk mendudukkan mereka di atas hukum Allah, maka jangan kau lakukan. Tetapi dudukkanlah mereka di atas hukummu karena engkau tidak tahu apakah engkau menepati hukum Allah pada mereka atau tidak." (HR. Muslim dalam Kitabul Jihad bab Ta'mirul Imam no. 1731)
Rasulullah berkata kepada salah satu shahabatnya dalam suatu peperangan: "Berangkatlah engkau menemui Kholid dan katakan kepadanya: Sesungguhnya Rasulullah melarang engkau untuk membunuh wanita, anak-anak, dan pekerja" (HR. Abu Dawud).
Dalam riwayat-riwayat ini terdapat kandungan akhlak yang sangat santun, damai, dan berkasih sayang. Hal ini sudah diucapkan oleh Rasulullah ribuan tahun yang lalu yang pada hari ini para mujahidin di seluruh dunia masih mempertahankannya, mereka berperang dengan akhlak yang sangat tinggi, hanya saja rekayasa media yang dikuasai orang kafir digunakan untuk membunuh karakter akhlak Islami ini berhasil membuat kaum muslimin bingung untuk memilih siapa mujahid dan siapa teroris.




Kasih Sayang Dalam Hukuman (‘Iqob)

Hukum qishosh, hukum seorang yang membunuh adalah dibunuh pula. Hukum ini membawa rahmat kepada seluruh kaum muslimin yaitu keamanan dan ketentraman. Bahkan hukum yang sepintas terlihat akan membawa korban lebih banyak, ternyata bagi orang yang cerdas akan terlihat bahwa sesungguhnya hukum ini justru menjaga kehidupan. Allah berfirman: "Sesungguhnya pada hukum qishosh ada kehidupan bagi kalian wahai orang yang cerdas, semoga kalian bertakwa." (Al-Baqoroh: 179)
Namun hukum ini pun terkait dengan tuntutan keluarga korban. Jika mereka memaafkan maka tidak dilakukan hukum bunuh melainkan membayar diyat, semacam uang denda atau tebusan senilai harga seratus ekor unta yang diberikan kepada keluarga korban. Ini pun merupakan rahmat dan keringanan dari Allah untuk mereka sebagaimana Allah katakan sendiri dalam ayat-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishosh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaknya (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih." (Al-Baqoroh: 178)
Ini pun kalau benar-benar terbukti ia membunuh dengan sengaja, kalau ternyata tidak sengaja maka tidak ada qishosh dan yang berlaku adalah diyat. Bahkan kalau keluarga korban akan menginfakkan tebusan tersebut kepada si pembunuh dan mema'afkannya, berarti ia tidak perlu membayar diyat.
Sedangkan hukum potong tangan bagi pencuri atau hukum cambuk (bagi pezina yang belum menikah) dan rajam (bagi pezina yang telah menikah) dan lain-lain, merupakan kejahatan yang jika sudah sampai kasusnya kepada pemerintah maka harus ditegakkan hukum padanya. Ini pun sesungguhnya merupakan rahmat bagi seluruh kaum muslimin bahkan seluruh manusia.
Hukum potong tangan bagi pencuri dan para koruptor misalnya, membawa keamanan dan ketenangan bagi seluruh rakyat. Hukum cambuk dan rajam bagi pezina membawa keselamatan bagi seluruh manusia dari berbagai penyakit-penyakit kelamin disamping menjaga keturunan dan nasab, agar tidak tercampur dan kacau.
Hukum-hukum ini pun tidak begitu saja diterapkan, tetapi melalui proses dan aturan-aturan yang jelas. Seperti pada hukum potong tangan, tidak semua pencuri di potong tangannya. Jika ia mencuri di bawah tiga dirham, maka ia tidak dipotong tangannya. Berarti ada jumlah tertentu yang menyebabkan seorang pencuri mendapatkan hukuman potong tangan. Rasulullah bersabda: "Jangan dipotong tangan seorang pencuri kecuali pada pencurian seperempat dinar ke atas." (Muttafaqun 'alaihi. Dengan lafadh Muslim).
Seperti kita katakan tadi bahwa hukum ini dilaksanakan jika sudah sampai kasusnya pada pemerintah. Adapun jika belum sampai kasusnya pada pemerintah, maka dianjurkan untuk saling memaafkan dan tidak saling menuntut.
Abdullah bin Mas'ud berkata: Aku ingat orang pertama yang dipotong tangannya oleh Rasulullah. Waktu itu didatangkan seorang pencuri kepada Rasulullah . Lalu beliau pun memerintahkan untuk dipotong tangannya. Aku melihat wajah Rasulullah sepertinya memendam kekecewaan. Maka para shahabat pun berkata: "Wahai Rasulullah, sepertinya engkau tidak suka orang itu dipotong tangannya?" Maka beliau pun bersabda: "Apa yang menghalangiku untuk memotongnya?" Kemudian beliau bersabda: "Janganlah kalian menjadi pendukung-pendukung setan terhadap saudaramu! Sesungguhnya tidak pantas bagi seorang imam jika telah sampai kepadanya hukum had kecuali harus menegakkannya. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan cinta pada pemaaf. Maka saling memaafkanlah kalian dan saling memaklumi. Bukankah kalian suka kalau Allah mengampuni kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (HR. Ahmad).
Hukum cambuk dan hukum rajam bagi para pezina, banyak orang beranggapan dengan adanya hukuman ini interaksi, komunikasi, dan pergaulan mereka terhambat. Benarkah ?
Pernah seorang pemuda datang kepada Nabi n meminta ijin untuk berzina. Maka dengan sabar Rasulullah menerangkan kepadanya cara berfikir yang benar: "Bagaimana pendapatmu kalau itu terjadi pada ibumu?" Anak itu menjawab: "Ayah dan ibuku sebagai jaminan! Aku tidak akan ridho." Rasulullah pun bertanya lagi: "Bagaimana pendapatmu kalau itu terjadi pada istrimu?" Anak muda itu menjawab: "Ayah dan ibuku sebagai jaminan! Aku tidak akan ridho." Maka beliaupun bersabda: "Kalau begitu orang lain pun tidak ridho perzinaan itu terjadi pada ibu-ibu mereka, istri-istri mereka, anak-anak perempuan mereka, saudara-saudara perempuan mereka, atau pun bibi-bibi mereka."
Pikiran yang cerdas akan lebih memilih keselamatan dan kebahagiaan keluarganya daripada pergaulan bebas yang hanya memunculkan berbagai macam penyakit pribadi, keluarga, dan sosial.
Inilah hikmah ditegakkannya hukum bagi para pezina dengan cambuk atau rajam. Menjaga istri-istri kita, anak-anak perempuan kita, ibu-ibu kita, saudara-saudara perempuan kita, bibi-bibi kita, dan seterusnya.

Rahmat kepada hewan
Suatu hari Rasulullah memasuki perkampungan kaum Anshor. Kemudian beliau masuk ke suatu tembok kebun salah seorang dari mereka. Tiba-tiba beliau melihat seekor unta yang kurus. Ketika melihat Rasulullah, unta itu menangis, merintih dan meneteskan air mata. Maka beliau pun mendekatinya lalu mengusap perutnya sampai ke punuknya dan ekornya. Unta itu pun tenang kembali. Kemudian Rasulullah bersabda: "Siapa penggembala unta ini?" Maka datanglah seorang pemuda dari Anshor, kemudian berkata: "Itu milikku ya Rasulullah." Maka Rasulullah berkata: "Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam memelihara ternak yang telah Allah berikan kepadamu itu ? Sesungguhnya ia mengeluh kepadaku bahwa engkau melaparkan dan melelahkannya." (HR. Bukhori, Muslim, Tirmidzi)
PENUTUP
Masih banyak gambaran betapa rahmatnya Islam yang belum tersebut dalam tulisan ini, namun orang-orang yang bertaqwa akan selalu yakin bahwa seganas-ganasnya hukum Islam (menurut pikiran orang kafir, munafiq, dan jahil) ia adalah syari’at terbaik yang telah Allah turunkan kepada hamba-Nya.
Berbagai macam fenomena yang terjadi di sekitar manusia merupakan sunnatullah untuk dunia ini. Kemaksiatan dan kebenaran, pendidikan dan kebodohan, kekayaan dan kemiskinan, kecantikan dan kejelekan, pelanggaran dan ketaatan, hukuman dan hadiah, peperangan dan perdamaian, jujur dan koruptor, dan hal lainnya, pasti akan terjadi di dunia ini. Maka dari itu Allah memberikan jalan keluar yang hanif dan rahmat untuk manusia dengan menciptakan syari’at Islam sebagai solusi mereduksi korupsi, dan kejahatan yang merugikan individual maupun sosial. Maka tidak selayaknya manusia mengobok-obok hukum Allah yang telah diturunkan di dunia ini. Wallahu a’lam.
READ MORE - Membumikan Rahmatun Lil ‘Alamin

Kamis, 13 Januari 2011

Islam dan Monogami Keberpihakan

Isu poligami merupakan isu yang tak pernah lapuk dimakan zaman selalu aktual dan mengundang kontroversi disetiap masanya seperti yang sedang dialami oleh salah satu da’i kondang Indonesia AA Gym. Hal yang menjadi perdebatan adalah karena selalu dikaitkan dengan teks Qur’an dan sejarah panjang kehidupan Rosul SAW. Kelompok yang kontra poligami selalu dianggap kelompok yang menolak al-qur’an, karena dengan menolak poligami seolah kemudian dianggap tidak meyakini adanya surat Q.S an Nisa ayat 3 :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Menurut kelompok pro poligami adalah ayat yang dengan jelas menganjurkan poligami. Bahkan di suatu moment tabligh, penulis sempat ditanya oleh salah seorang audiens yang menganggap kelompok yang menolak poligami ini menurutnya sedang melakukan upaya untuk merevisi al-qur’an. penulis yakin salah satu statement ini merupakan pandangan mayoritas masyarakat kita yang memandang sepintas terhadap kelompok yang kontra poligami. Sebuah problem klasik yang harus dipahami secara komprehensif. Ayat-ayat al-qur’an tidak diragukan lagi kebenarannya. Tetapi ketika kontennya sudah diinterpertasi menurt hawa nafsu dan keinginan sepihak maka akan muncullah tuduhan-tudahan mendistorsi al-qur’an yang modus operandinya kepentingan golongan. Penulis tidak akan membahas ayat di atas secara ketauhidan atau tektual marilah kita coba menulusurinya secara sosial dan keberpihakan yang komprehensif terlepas dari term pro dan kontra.

Menyajikan Fakta, mengangkat suara perempuan

Menyajikan fakta bahwa perkawinan poligami lebih banyak memberikan efek negatif penulis kira sudah merupakan hal yang perlu diketahui oleh masyarakat luas. Selama ini suara-suara perempuan yang merana dan mengalami ketidakadilan bahkan kekerasan dalam perkawinan poligami seolah terkubur oleh suara-suara yang lebih powerfull dan seolah legitimat karena disuarakan para tokoh agama. Menolak polgami seolah kemudian menolak menjadi muslimah yang baik.

Berbagai realitas sudah banyak terjadi dan seharusnya mendapat tempat yang utama sehingga masyarakat dapat lebih melihat persoalan poligami secara objektif. Banyak hal dikorbankan ketika perkawinan poligami terjadi, berdasarkan temuan penulis saat melakukan wawancara dengan para perempuan yang mengalami perkawinan poligami ternyata poligami menjadi pintu pembuka terjadinya berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Realitas telah menunjukkan bahwa hak perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang aman dalam keluarga untuk menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah sesuai dengan tujuan perkawinan tidak akan tercapai dlam perkawinan poligami. Tidak hanya perempuan karena dibelakang perempuan ada banyak anak-anak yang berduka mendapatkan keluarga yang tidak sempurna. Di mana kasih sayang tidak dapat sepenuhnya mereka dapatkan, pengabaian ekonomi, hak pendidikan dan lain sebagainya. Dalam perkawinan terdapat larangan bagi suami untuk tidak menyia-nyiakan istri, bahkan dalam aturan lain termasuk juga larangan untuk tidak menyia-nyiakan mantan istri. Pelarangan ini secara jelas dipertegas dalam al-Qur’an. Perilaku menyia-nyiakan istri ini sangat mungkin dialami perempuan, baik dalam perkawinan monogami, lebih lagi dalam perkawinan poligami. Mengingat kecenderungan manusia—khususnya yang berpoligami—untuk berbuat demikian sangat besar, maka secara tegas pula perilaku poligami diingatkan bahwa kemungkinan berbuat tidak adil yang berujung pada penyia-nyiaan istri dalam perkawinan poligami sangat besar .

Istri dalam hal ini tidak hanya mengalami pengingkaran komitmen perkawinan, tetapi juga tekanan psikologis, kekurangan ekonomi, kekerasan seksual hingga kekerasaan fisik. Hal itu ternyata tidak hanya dialami istri pertama, istri kedua, ketiga juga mengalami derita yang sama. Hal ini mematahkan pandangan yang berkembang dalam masyarakat bahwa “istri muda lebih disayang daripada istri pertama”. Temuan lain menunjukkan bahwa istri kedua dan seterusnya lebih banyak yang diabaikan dan mengalami kekerasan berlapis. Sebagian besar suami kembali pada istri pertama, karena masyarakat biasanya lebih mengakui sebagai istri yang sah, selain karena pernikahan yang mereka lalui sah secara negara.

Ini menambah rangkaian kekerasan yang dialami perempuan. Proses pernikahan yang dilalui dengan istri muda pada umumnya dilakukan di bawah tangan (sirri), hal ini yang menyebabkan para istri mengalami beragam bentuk kekerasan. Istri yang mengalami kekerasan dalam hal ini tidak bisa melakukan tuntutan apalagi melalui proses hukum, selain itu mereka tidak bisa mendapatkan hak waris dari suaminya.

Fakta-fakta inilah yang seharusnya bias dilihat secara jernih oleh semua masyarakat, sehingga tidak ada klaim yang negatif terhadap kelompok yang selama ini memperjuangkan penghapusan perkawinan poligami. Bukankah tujuan perkawinan adalah tercipatanya ketentraman dan ketenangan? Bukannya menciptakan permusuhan dan ketidakadilan yang sangat memungkinkan terjadi dalam perkawinan poligami.

Poligami, sebuah Refleksi

Gambaran diatas menunjukkan bahwa praktik perkawinan poligami banyak mengabaikan hak-hak perempuan. Rangkaian kekerasan sudah banyak terjadi sejak pernikahan dilakukan. Perjodohan yang dilakukan orang tua tanpa pertimbangan pihak perempuan sebenarnya merupakan pintu awal terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan. Perempuan sama sekali tidak mempunyai suara untuk menentukan masa depannya sendiri. Motivasi ekonomi, peningkatan status sosial menjadi salah satu alasan orang tua merelakan anak-anaknya dinikahi laki-laki beristri yang mempunyai status tinggi dalam masyarakat rasanya harus dipertimbangkan oleh para orang tua karena sesungguhnya dengan demikian mereka telah mengabaikan hak anak untuk menentukan masa depannya sendiri.

Selain itu implikasi yang ditimbulkan akibat perkawinan poligami yaitu terjadinya kekerasan terhadap para istri, tidak terlepas istri pertama, ke dua, ketiga dan ke empat. Perempuan dalam perkawinan poligami umumnya mengalami bentuk kekerasan yang berlapis-lapis. Istri dalam hal ini tidak hanya mengalami pengingkaran komitmen perkawinan, tetapi juga tekanan psikologis, kekurangan ekonomi, kekerasan seksual hingga kekerasaan fisik. Hal ini tidak hanya dialami istri pertama, namun istri kedua, istri ketiga ternyata mengalami hal yang hampir sama, ini mematahkan pandangan yang berkembang dalam masyarakat bahwa “istri muda lebih disayang daripada istri pertama”. Selain itu pada biasanya istri kedua dan seterusnya lebih banyak yang diabaikan dan mengalami kekerasan berlapis. Sebagian besar suami kembali pada istri pertama, karena masyarakat biasanya lebih mengakuinya sebagai istri yang sah, selain karena pernikahan yang mereka lalui memang sah secara negara.

Ini menambah rangkaian kekerasan yang dialami perempuan. Pernikahan yang dilalui dengan istri muda pada umumnya dilakukan di bawah tangan (sirri), ini yang menyebabkan para istri yang mengalami bentuk kekerasan tidak dapat melakukan tuntutan, apalagi melalui proses hukum. Selain itu mereka tidak mendapatkan hak waris dari suaminya.

Azas monogami terbuka dalam UU perkawinan No.1 tahun 1974 menunjukkan bahwa poligami tetap boleh dilakukan oleh laki-laki. Pengaturan poligami ini tidak hanya menunjukkan bahwa dalam institusi perkawinan, posisi tawar perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, tetapi memperlihatkan pula bahwa negara memihak pada laki-laki dengan melegitimasi dominasi seksualitas mereka. Hal ini semakin diperkuat oleh syarat-syarat yang harus dipenuhi jika suami hendak melakukan poligami, yaitu jika istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri. Jika istri sakit berat atau mendapat cacat badan, atau jika istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Syarat di atas sebenarnya menunjukkan bahwa seorang istri dituntut untuk melakukan pelayanan seksualitas secara sempurna terhadap suaminya. Istri ditempatkan pada fungsi melayani, sebagaimana nampak dalam persyaratan yang berkaitan dengan keadaan cacat badan atau menderita suatu penyakit berat. Maka jika fungsi-fungsi tersebut terganggu perempuan tidak layak lagi menjadi istri. Ini berarti bahwa seksualitas perempuan hanya direduksi sebatas bisa memberikan pelayanan dan memenuhi kebutuhan seksualitas lawan jenisnya. Dengan demikian nampak bahwa hukum ikut mengeliminasi atau melecehkan eksistensi seksualitas perempuan.

Nampak bahwa seksualitas berada dalam kungkungan kekuasaan. Dalam konteks ini negara ikut berkontribusi dalam memasung hak seksualitasnya perempuan. Konstruksi sosial dan sistem kekuasaan yang patriarkhis seolah mereduksi seksualitas hanya pada satu kekuasaan laki-laki, ini yang oleh Foucault dilihat ada hubungan negatif antara seks dan kekuasaan. Kekuasaan dalam hal ini selalu berusaha membendung seksualitas yang dipandang sebagai bahaya status quo kekuasaan itu. Pemasungan ini kemudian dilegalkan dalam bentuk penetapan Undang-Undang. Pembolehan praktik perkawinan poligami dalam Undang-Undang merupakan salah satu bentuk objektifikasi seksualitas perempuan dari laki-laki.

Persoalan poligami dalam masyarakat tidak dapat dilihat secara parsial, karena merupakan sebuah tatanan yang dibangun atas kolaborasi antara norma agama (khususnya Islam), sosial, hukum dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam masyarakat. Kesemuanya itu didukung oleh peraturan negara yang tidak sensitif gender. Temuan di lapangan menunjukkan sebagian besar landasan suami melakukan poligami sama sekali tidak terkait dengan aturan yang ada dalam undang-undang. Ini jelas menunjukkan laki-laki melakukan poligami hanya untuk memenuhi nafsu seksualitasnya semata. Bahkan juga ditemukan perempuan hanya dijadikan sebagai alat untuk memperkuat jaring-jaring kekuasaan laki-laki. Jadi jelas yang menjadi alasan banyaknya perkawinan poligami bukan karena persoalan jumlah demografi perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki, melainkan lebih pada persoalan sosial dan budaya yang mendapat legitimasi agama.

Rendahnya akses perempuan pada ekonomi keluarga, menyebabkan rendahnya bargaining position dengan suami. Relasi yang timpang ini akhirnya membuat perempuan lebih banyak menerima keadaan yang dialaminya. Keputusan untuk melepaskan perkawinan yang dijalani tidak menjadi pilihan yang diambil oleh para perempuan, karena bila ini diambil jaminan ekonomi dan kekhawatiran akan pendidikan anak akan terabaikan. Hal ini sejalan dengan pandangan feminist Marxis yang mengatakan bahwa institusi keluarga selama ini hanya sebagai unit ekonomi, bukan sebagai unit emosional (Tong, 1989). Menurut kaum feminis Sosialis dan Marxis seperti ditulis Eisenstein (1983) dalam Ollenburger dan Moore (1996), ketergantungan ekonomi perempuan terhadap laki-laki merupakan bagian dari sistem yang mempertahankan perkawinan, keluarga dan sistem peribuan (mothering).

Di sisi lain jika melihat konsep mu’asyarah bi al-ma’ruf (intercourse yang baik) sebagaimana dikemukakan Husein Muhammad (2001) bahwa dalam perkawinan mengandung arti kebaikan bagi semua pihak, baik istri maupun suami. Nampak dalam perkawinan poligami adanya ketidakseimbangan dalam sisi kebaikan dan keuntungan, laki-laki lebih banyak diuntungkan dengan memiliki banyak istri yang akan melayani baik secara seksual maupun kebutuhan ekonomi. Sementara istri harus berjuang keras sendiri memenuhi kehidupan ekonomi dan membiayai kebutuhan sendiri. Selain itu, kebutuhan mendapatkan cinta dan kasih sayang (mawadah wa rahmah) dalam keluarga yang tidak seimbang memperkuat temuan Little di Negara Afrika Barat, maraknya poligami dalam masyarakat Afrika tidak hanya karena motivasi ekonomi atau menambah kekayaan melalui penggarapan tanah. Namun dalam beberapa kasus peranan ekonomi istri memungkinkan suami untuk hidup lebih santai. Kesempatan untuk berburu, kegiatan waktu senggang yang paling disenangi laki-laki dan bekerja kurang keras menjadi lebih besar daripada laki-laki yang beristeri satu orang (Boserup, 1984).

Berdasarkan gambaran tersebut nampak bahwa implikasi yang ditimbulkan sebenarnya lebih banyak memunculkan kemadharatan dari pada sisi maslahat dari praktik perkawinan poligami. Dalam perkawinan poligami banyak terjadi pengabaian hak-hak kemanusiaan yang semestinya didapatkan oleh seorang istri dan anak dalam keluarga. Implikasi lain yang kemudian muncul adalah adanya permusuhan di antara keluarga para istri yang terjadi dalam perkawinan poligami. Kekerasan yang berlapis-lapis, baik ekonomi, fisik, psikis, kekerasan seksual, dan sebagainya yang dialami para istri juga anak-anaknya menjadi satu bukti bahwa semestinya ada peninjauan kembali pada praktik perkawinan poligami.

Sebenarnya bila mengacu pada kaidah fiqh yang mengatakan “Darul mafasid muqaddamun min jalbil mashalih” (menolak kemafsadatan lebih didahulukan dari meraih kemaslahatan) atau “apabila sama antara kemafsadatan dan kemaslahatan maka harus ditangguhkan dan jangan dilaksanakan”. Menolak kemafsadatan lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan, yang sedikit. Berdasarkan kaidah tersebut nampak bahwa apabila perkawinan poligami lebih banyak memberikan mafsadat daripada maslahatnya, sudah saatnya model perkawinan seperti ini ditangguhkan dan jangan dilaksanakan. Artinya perkawinan dengan menggunakan azas monogami yang dilandasi cinta dan kasih sayang untuk mencapai mawadah wa rahmah merupakan konsep perkawinan yang semestinya menjadi satu model yang ditetapkan. Wallahu ‘alam.
READ MORE - Islam dan Monogami Keberpihakan