marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Sabtu, 22 Desember 2012

Label Islami Marak

Akhir-akhir ini sering kita lihat label Islami di tengah masyarakat kita. Fenomena ini begitu memikat sehingga menyilaukan pandangan sebagian kaum muslimin khususnya. Segala sesuatu diberi label Islami untuk menegaskan kehalalannya. Muncullah bank syariat, musik islami, sinetron islami, nasyid islami, film islami, kosmetika islami, seni islami, lagu islami, sandiwara islami, kartun islami, novel islami, teater islami, pemikiran islami, wawasan islami dan lain sebagainya.

Penggunaan label-label berbau Islam ini seakan menjadi aspek legal bagi barang atau produk tersebut. Namun sejauh manakah kebenarannya? Itulah yang masih perlu dikaji lagi. Sebab, pada umumnya pihak-pihak yang menyematkan label itu tidak begitu mengerti hukum syariat, sehingga kebenaran dan kecocokannya dengan syariat masih menjadi tanda tanya. Sebagaimana yang sudah dimaklumi bersama, bahwa label buatan manusia tidak bisa dijadikan barometer isi. Bisa jadi labelnya halal tapi isinya haram, demikian pula sebaliknya. Dan label tentunya bukan menjadi jaminan isi dan tidak bisa merubah hakikat isi.

Inilah masalah yang akan kita bicarakan di sini.

Barang-barang atau apa saja yang diberi label Islami ini tidak lepas dari dua bentuk :

Pertama : Perkara-perkara duniawi yang hukum asalnya adalah mubah. Kaidah syariat menyatakan bahwa hukum asal untuk urusan duniawi ini adalah mubah sampai ada dalil syariat yang melarangnya.

Kedua : Perkara-perkara ibadah yang telah ditetapkan hukumnya dalam syariat. Kaidah syari’at menyatakan bahwa hukum asal untuk urusan ibadah adalah dilarang sampai ada dalil syariat yang menyuruhnya.

Untuk bentuk pertama, label Islami di sini memberi makna bahwa barang atau benda itu adalah mubah atau halal atau memberikan penegasan bahwa ini tidak terlarang dalam syariat, misalnya pakaian Islami, makanan Islami, minuman Islami, pengobatan islami, kosmetika islami, butik islami, jilbab gaul dan sejenisnya.

Untuk bentuk kedua, label Islami di sini memberi makna bahwa perkara itu dianjurkan atau diwajibkan atau menegaskan bahwa ada perintah syariat padanya atau sejalan dengan perintah syariat, misalnya dzikir islami, doa islami, ziarah islami, umrah islami, haji islami, jihad islami dan semisalnya.

Barangkali bentuk yang kedua ini jarang terdengar, yang sering kita dengar adalah bentuk yang pertama. Istilah yang dipakai kadang kala dengan menggunakan kata Islam itu sendiri, seperti contoh di atas, atau dengan menggunakan embel-embel syariat, seperti bank syariat, atau rumah gadai syariat, simpan pinjam syariat dan sejenisnya. Atau dengan salah satu simbol dan identitas islam, misalnya Ka’bah, Mekkah, Madinah dan sejenisnya, contohnya adalah minuman dengan label mecca cola.

Indikasi yang ada menunjukkan bahwa trend ini hanyalah sebatas mencari popularitas. Gejala ini biasanya bersifat kontemporer. Masyarakat kita sekarang ini tengah dihadapkan pada suatu gejala yang disebut budaya pop atau pop culture. Sikap latah adalah salah satu ciri khasnya. Dan budaya pop ini ternyata berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, dan kaum muslimin merupakan pangsa pasar terbesarnya. Bahkan wacana ini semakin menguat dalam konteks keagamaan. Gejala ini bisa dilihat dari semakin maraknya trend-trend islami yang muncul bak jamur di musim hujan.

Umat Islam Indonesia dikenal dengan sensitifitas keislamannya. Mereka sangat sensitif dengan bentuk-bentuk pengemasan Islam yang sifatnya khas. Sehingga dengan mudahnya trend ini mendapat tempat di hati sebagian umat Islam di sini. Apalagi mendapat kesempatan untuk diekspos media massa, baik berupa media cetak maupun elektronik yang semakin meluaskan pengaruhnya. Tentunya trend islami ini akan mudah diterima oleh kalangan masyarakat yang mayoritas muslim. Ini tentunya peluang yang sangat menguntungkan bagi orang yang berpikiran bisnis. Maka trend Islami inipun berubah menjadi budaya massa. Seiring dengan itu, arus kapitalisme pun mulai mempengaruhi trend-trend budaya massa tadi. Mereka berasumsi bisa memetik keuntungan yang besar dari fenomena ini. Sehingga trend-trend islami ini menjadi komoditas yang menggiurkan bagi mereka. Akhirnya simbol-simbol agamapun dijual atau dibisniskan dan menjadi stok kebutuhan pasar.

Dari situ arahnya bisa ditebak, trend islami ini hanya untuk memuaskan konsumsi pasar yang haus dengan fenomena seperti ini disebabkan kejenuhan mereka dengan modernitas atau sekedar mencari solusi alternatif. Pasar lebih dikedepankan daripada aspek halal haramnya. Sementara nama syariat hanyalah kulit tanpa isi. Maka dari itu sebagian besar label islami ini ternyata tidak islami bahkan jauh sekali dari ruh Islam, bahkan jelas-jelas dilarang oleh Islam. Hal ini akan nampak jelas bila kita tilik satu persatu.

Sebagai contoh munculnya fenomena jilbab gaul yang dianggap sebagai busana Muslimah yang islami. Penggunaan kata jilbâb mengesankan bahwa busana ini adalah busana islami. Namun kalau dilihat dari syarat-syarat dan kriteria jilbâb yang syar’i bagi wanita jelas jauh panggang dari api. Sebutan yang tepat untuk kerudung gaul seperti ini adalah berjilbab tapi telanjang. Bayangkan, seorang muslimah mengenakan jilbâb yang sekedar melilit di leher sementara bagian dada dibiarkan terbuka, dipadu dengan dandanan modis, celana street dan baju sedemikian ketat, hingga setiap lekuk dan tonjolan tubuhnya terbentuk, bagaimana kita harus menilainya? Itulah fenomena yang kita saksikan.

Jilbab gaul seperti ini justeru memunculkan degradasi moral secara berkesinambungan yang tak dapat dihindari. kenapa demikian ? Karena jilbâb gaul hanya dijadikan trend oleh kawula muda. Lebih parah lagi, mereka merasa sudah menutup aurat dengan benar sehingga lebih sulit mengajak mereka untuk mengenakan jilbâb syar’i daripada wanita yang memang pada dasarnya belum mengenakan jilbâb sama sekali.

Kesalahpahaman tentang makna dan fungsi jilbâb yang sesungguhnya ini diakibatkan oleh banyak hal :
Pertama : Maraknya tayangan–tayangan televisi yang kurang mendidik.
Kedua : Minimnya pengetahuan seorang muslimah terhadap nilai–nilai Islam sebagai akibat kurangnya pendidikan agama di sekolah–sekolah umum.
Ketiga : Kegagalan fungsi keluarga.
Keempat : Peran para desainer yang tidak memahami dengan benar prinsip pakaian Islam.

Demikian pula gebyar musik, lagu dan nasyid islami yang marak muncul belakangan ini, bahkan di Amerika sekarang rap islami sedang digandrungi oleh anak-anak muda. Kebanyakan para pelakunya tidak mengetahui bahwa Islam melarang musik. Para Ulama Islam bahkan telah menulis buku berkenaan dengan larangan musik dan alat-alat musik. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh al-Allâmah Ibnul Qayyim t yang berjudul Kasyful Ghithâ’ ‘an Hukmi Samâ’il Ghinâ’[1] . Dalam buku itu, beliau t menyebutkan kesepakatan imam madzhab yang empat dalam masalah ini. Dalam buku itu bahkan Ibnul Qayyim t menyatakan bahwa musik-musik yang dikatakan bernafaskan islam itu justeru lebih berbahaya daripada jenis musik lainnya. Karena pembubuhan kata ‘islami’ di situ mengesankan bahwa hal itu boleh menurut syari’at Islam, padahal tidak.

Demikian pula menjamurnya bank syariat, pelabelan syariat di sini mengesankan bahwa semua sistem dan tata cara yang berlaku di dalamnya sudah sesuai dengan syari’at. Namun benarkah demikian ?

Akhir-akhir ini juga marak trend novel islami. Bermunculanlah buku-buku novel yang katanya bernafaskan Islam dengan menjual cinta! Para pembaca mengira bahwa isi novel tersebut menggambarkan sosok pribadi dan suasana yang islami. Novel-novel itu menyuguhkan kisah yang sejalan dengan harapan pembacanya yang mengidolakan nilai-nilai Islam. Dalam waktu singkat ia menjadi trend dan menjelma jadi kehebohan massal. Barangkali maksud penulis adalah menanamkan nilai-nilai agama tertentu. Namun faktanya bukan itu yang ditangkap oleh pembaca. Mereka lebih tertarik dengan anak muda yang menjadi tokoh utama dalam novel tersebut. Kepribadiannya dianggap sebagai contoh bagi mereka. Maka yang tertanam dalam benak mereka adalah suguhan tentang kisah percintaan dan pacaran muda mudi model Islam!? Sinetron-sinetron, sandiwara-sandiwara dan film-film yang katanya bernafaskan Islam setali tiga uang dengan ini.

Bukankah kisah yang Allah Azza wa Jalla suguhkan bagi kita dalam al-Qur'ân dan yang disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup menjadi ibrah bagi kita ? Sesungguhnya orang-orang Bani Isrâil binasa ketika mereka beralih kepada kisah-kisah dan meninggalkan kitab suci mereka.

Barangkali sebagian orang melakukannya dengan tujuan untuk melaksanakan islamisasi di berbagai bidang dan aspek kehidupan manusia sekarang. Bahkan hal ini dianggap sebagai parameter kebangkitan dunia Islam. Namun yang perlu dicermati apakah dalam melaksanakan tujuan ini sudah selaras dengan syariat Islam itu sendiri ? Atau justeru menjadi bumerang bagi islamisasi itu sendiri, bak senjata makan tuan ? Sehingga umat terlanjur meyakini syar’inya sebuah perkara yang ternyata tidak syar’i bahkan menyimpang jauh dari syariat. Dalam hal ini sebagian orang mungkin melatahi apa yang dilakukan oleh umat lain. Bagi mereka itulah solusinya untuk menangkal arus luar yang begitu deras menyeret kaum muslimin. Umat harus diberi solusi dan ini adalah salah satu solusinya menurut asumsi mereka. Namun niat yang baik tidak menjamin cara dan prosedur juga akan baik. Seperti perkataan salah shahabat Rasûlullâh yaitu Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu , “Berapa banyak orang yang menghendaki kebaikan akan tetapi dia tidak berhasil mendapatkannya ?”

Niat yang baik harus disertai dengan cara yang baik pula sehingga hasilnya juga akan menjadi baik. Camkanlah dengan baik perkataan para Ulama’ yang menerangkan kepada kita bahwa ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla kecuali jika memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
READ MORE - Label Islami Marak

kerugian yang sebenarnya

Orang yang berakal pasti akan memilih sesuatu yang baik bukan yang buruk, mengutamakan kebahagiaan yang bersifat abadi daripada kebahagiaan sejenak. Kalaulah kita merenungi dunia dan segala isinya ini, kita pasti akan sadar dan yakin bahwa dunia dan segala isinya ini hanya bersifat sementara, tidak kekal. Kebahagiaan dan kesedihan di dunia juga bersifat sementara. Bertolak belakang dengan kebahagiaan atau kesedihan di akhirat yang semua bersifat abadi. Maka alangkah ruginya, orang yang hanya mengejar materi dan kesenangan semu di dunia, karena tidak lama lagi itu semua akan berakhir dengan kematian.

Ya Allah, jangan Engkau jadikan dunia sebagai pusat perhatian kami !

PERUMPAMAAN KESENANGAN DUNIA
Orang-orang yang berlomba mengejar kesenangan dunia ini ibarat orang-orang yang berada dalam sebuah permainan yang melalaikan, tidak lama lagi permainan itu akan berakhir dan menyisakan kelelahan yang tidak berarti.

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Kehidupan dunia ini hanyalah main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya ? [al-An’âm/6: 32]

Imam al-Alûsi rahimahullah mengatakan, “Maksudnya adalah semua perbuatan yang dikhususkan hanya untuk kehidupan dunia ini seperti main-main dan senda gurau, yaitu tidak bermanfaat dan tidak tetap (kekal). Dengan penjelasan ini, sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama’, amal-amal shalih yang dilakukan di dunia ini tidak termasuk (main-main dan sendau gurau), seperti ibadah dan perbuatan yang dilakukan untuk kebutuhan pokok dalam kehidupan.” [1]

JANGAN TERLENA !
Karena kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal, maka mestinya tidak ada orang yang terperdaya serta tidak menyebabkan lupa urusan akhirat. Allâh Azza wa Jalla mengingatkan kaum Mukminin agar jangan sampai urusan keluarga membuatnya lupa beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allâh. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. [ al-Munâfiqûn/63: 9]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan para hambaNya yang beriman untuk banyak mengingatNya dan melarang mereka sibuk dengan harta serta anak-anak sampai lupa dzikir. Allâh juga memberitakan kepada mereka bahwa barangsiapa terlalaikan oleh kesenangan kehidupan dunia dan segala perhiasannya dari tujuan utama penciptaannya yaitu mentaati Rabbnya dan selalu mengingatNya, maka dia termasuk orang-orang yang merugi. Yang merugikan diri mereka sendiri beserta keluarga mereka pada hari kiamat.” [2]

Kemudian Allâh Azza wa Jalla menganjurkan kaum Mukminin agar berinfaq dalam rangka taat kepada Allâh Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh?" [al-Munâfiqûn/63:10]

Ayat ini mengisyaratkan bahwa semua orang yang melalaikan kewajiban akan menyesal pada saat ajal menjemput. Dia akan meminta perpanjangan waktu walau sejenak untuk mencari keridhaanNya dan memperbaiki yang telah lewat. Tetapi itu mustahil. Segala yang sudah terjadi telah berlalu dan akan terjadi apa yang akan datang. Setiap orang akan mengungkapkan penyesalannya sesuai dengan kadar kelalaiannya”. [3]

Allâh Azza wa Jalla memberitakan penyesalan orang-orang kafir dengan firmanNya:

وَأَنْذِرِ النَّاسَ يَوْمَ يَأْتِيهِمُ الْعَذَابُ فَيَقُولُ الَّذِينَ ظَلَمُوا رَبَّنَا أَخِّرْنَا إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ نُجِبْ دَعْوَتَكَ وَنَتَّبِعِ الرُّسُلَ ۗ أَوَلَمْ تَكُونُوا أَقْسَمْتُمْ مِنْ قَبْلُ مَا لَكُمْ مِنْ زَوَالٍ

Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang adzab kepada mereka, maka orang-orang yang zalim berkata : "Ya Rabb kami, berikanlah tangguh kepada kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan-Mu dan akan mengikuti rasûl-rasûl". (Kepada mereka dikatakan): "Bukankah dahulu (di dunia) kamu telah bersumpah bahwa kamu sama sekali tidak akan binasa ? [Ibrâhîm/14: 44]

Juga dalam firmanNya:

حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila kematian mendatangi salah seorang dari mereka, dia berkata: "Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat melakukan amal saleh pada segala yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja, dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan. [al-Mukminûn/23: 99-100]

MANUSIA YANG TIDAK PERNAH RUGI
Sebagian orang mengira, bahwa dengan beriman dia telah beruntung dan terhindar dari kerugian, meskipun tetap melalaikan kewajiban. Anggapan seperti ini tidak benar. Karena semua manusia itu merugi, kecuali yang memiliki empat sifat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran. [ al-‘Ashr/103: 1-3]

Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan menggunakan waktu yaitu malam dan siang, yang merupakan saat amal perbuatan seluruh hamba dilakukan, bahwa semua manusia itu merugi, tidak beruntung. Kerugian itu bertingkat-tingkat, ada rugi total, seperti orang yang rugi dunia dan akhirat, tidak masuk surga justru masuk neraka jahim; ada yang rugi dari satu sisi, tapi tidak dari sisi yang lain. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa kerugian itu menimpa semua orang, kecuali orang-orang yang memiliki empat sifat :

1. Beriman terhadap perkara yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla supaya diimani. Dan iman itu tidak akan ada kalau tidak ada ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari iman. Iman tidak akan sempurna kecuali dengan ilmu.

2. Beramal shaleh. Ini mencakup seluruh perbuatan baik, yang lahir maupun yang batin, yang berkaitan dengan hak Allâh maupun hak para hambaNya, yang wajib maupun yang sunat.

3. Nasehat menasehati dengan al-haq. Al-haq adalah iman dan amal shalih. Maksudnya mereka saling menasehati, saling menganjurkan serta saling memberikan motivasi untuk melaksanakannya.

4. Nasehat menasehati supaya tetap sabar dalam melaksanakan perbuatan taat, sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat dan sabar menerima takdir Allâh yang pedih.

Dengan dua (sifat) yang pertama, seseorang bisa menyempurnakan dirinya, dan dengan dua (sifat) berikutnya, dia bisa menyempurnakan orang lain. Berhasil menyempurnakan empat sifat di atas, berarti telah selamat dari kerugian dan meraih keberuntungan yang besar.” [4]

KERUGIAN HAKIKI
Banyak orang yang bersedih dan merasa rugi ketika gagal masuk ke sekolah favorit, gagal dalam bisnis, gagal meraih cita-cita dunia dan lain sebagainya. Tidak bisa dipungkiri ini memang kerugian yang harus diantisipasi. Namun jangan lupa bahwa disana ada kerugian yang berakibat sangat fatal dengan sakit yang tak terperikan yaitu kerugian akhirat. Kerugian yang diakibatkan oleh kekufuran, kesyirikan dan berbagai perbuatan maksiat lainnya yang berujung di neraka dan terhalang dari surga. Inilah kerugian hakiki.

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan RasûlNya supaya mengumumkan kepada manusia, bahwa agama beliau adalah mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dalam ibadah.

قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي

Katakanlah: "Hanya Allâh saja yang aku ibadahi dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku". [az-Zumar/39: 14]

Selanjutnya Allâh mengancam akan menimpakan kerugian yang nyata di akhirat bagi orang-orang musyrik, orang-orang yang beribadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ ۗ قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. [az-Zumar/39: 15]

Apa yang menimpa orang-orang musyrik di diakhirat merupakan kerugian yang nyata. Allah Subhanahu wa Ta’ala melanjutkan firmanNya:

لَهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ ظُلَلٌ مِنَ النَّارِ وَمِنْ تَحْتِهِمْ ظُلَلٌ ۚ ذَٰلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ ۚ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ

Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allâh menakut-nakuti para hamba-Nya dengan adzab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku Hai hamba-hamba-Ku. [Az-Zumar/39: 16]

Masuk neraka adalah kerugian hakiki, sedangkan kesuksesan yang hakiki adalah masuk surga serta diselamatkan dari neraka. Allâh berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [Ali Imrân/3: 185]

Semoga Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan kita dari tipu daya dunia dan menjadikan kita termasuk orang-orang meraih keberuntungan yang hakiki, selamat dari kerugian sebenarnya. Hanya Allâh Tempat memohon pertolongan
READ MORE - kerugian yang sebenarnya

Minggu, 09 Desember 2012

Mengapa Mesti Tabayyun?




يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.
[al-Hujurât/49:6].

MUQADDIMAH
Kehidupan bermasyarakat tidak lekang dari isu, gosip sampai adu domba antar manusia. Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok masyarakat menjadikan gosip dan `aib serta `aurat (kehormatan) orang lain sebagai komoditas perdagangan untuk meraup keuntungan dunia. Bahkan untuk tujuan popularitas ada yang menjual gosip yang menyangkut diri dan keluarganya.

Perilaku gosip yang telah menjadi penyakit masyarakat ini tidak disadari oleh kebanyakan pecandunya, bahwasanya menyebarluaskan gosip itu ibarat telah saling memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Allah Ta'ala menggambarkan demikian itu ketika melarang kaum beriman saling ghibah (menggunjing), sebagaimana tersebut dalam al-Qur`ân:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allaah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang. [al-Hujurât/49:12].

Dari penyakit ini, syahwat akan meluas dan berkembang penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong, memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub (kekelompokan), al-walâ` dan al-barâ` (suka dan benci) yang tidak sesuai tempatnya, bahkan sampai bisa sampai pada tahapan saling membunuh. Na'ûdzu billâhi min dzâlik.

Penyakit menggungjing ini tidak akan terobati selama Al-Qur`ân hanya diperlakukan sebagai sekedar ilmu pengetahuan yang dibaca dan dikhutbahkan di mimbar- mimbar, dan tidak menjadikannya sebagai terapi. Padahal Allah Ta`ala berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan kami turunkan Al-Qur`ân sebagai obat dan rahmah bagi kaum beriman. [al-Isrâ`/17:82].

Allah Ta`ala juga berfirman:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya Al-Qur`ân ini membimbing ke jalan yang paling lurus. [al-Isrâ`/17:9]

Terapi dari Al-Qur`ân dengan satu kata inti, yaitu tabayyun. Allah Ta'ala telah menyebutkannya dalam surat al-Hujurât/49 ayat 6 ini, dan insyaa Allaah, akan dilakukan pembahasan yang ditinjau dari tiga sisi. Wallâhul- Muwaffiq.

SABABUN- NUZÛL
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari Juwairiyah bintil-Hârits Ummil-Mu`minîn Radhiyallahu anhuma.

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Kami diberithu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau berkata : aku diberithu 'Îsâ ibnu Dînâr, beliau berkata : aku diberithu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i Radhiyallahu anhu :

Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: 'Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu'.”

Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu al-Hârits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Sebenarnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku," maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits. Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya.

Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog:

Pasukan itu berkata: “Ini dia al-Hârits”.
Setelah al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?"
Mereka menjawab: “Kepadamu”.
Dia bertanya: “Untuk apa?”

Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.

Al-Hârits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”.

Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?”

Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu," maka turunlah ayat dalam surat al-Hujurât: [1]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

TAFSIR PER KALIMAT
1. يا أيّها الّذين آمنوا (wahai orang- orang yang beriman).
Ayat ini diawali dengan seruan kepada ahlul-îmân. Disamping kasus ini terjadi di antara kaum beriman seperti yang kami paparkan di atas, juga karena berkaitan dengan perintah yang tidak sah dilaksanakan kecuali oleh orang yang beriman. Ayat ini, sekaligus menunjukkan bahwa penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan seseorang. Oleh karena itu, mari kita mempersiapkan telinga dan hati, seraya memohon kepada Allah agar melapangkan dada kita dengan nasihat ayat ini.

2. إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (jika ada orang fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting).
An-Naba`, artinya isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah pelaku fusuuq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusuuq. Karena itu, faasiq diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.

Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Dinyatakan oleh Allaah Ta'ala dalam banyak ayat al-Qur`ân:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq. [at-Taubah/9:67].

Kita juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering disebutkan dalam Al-Qur`ân ialah kemunafikan i'tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir'aun dan para pengikutnya:

إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ

Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fâsiq. [al-Qashash/28:32].

Kefâsikan kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu. Hal ini banyak pula disebutkan Allah, di antaranya pada ayat-ayat berikut.

وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ

Dan janganlah pencatat maupun saksi (hutang-piutang) itu mencelakakan. Dan jika kalian lakukan itu, maka itu menjerumuskan kalian dalam kefasikan. [al-Baqarah/2:282].

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Maka barang siapa yang telah menentukan pada bulan- bulan tersebut untuk berhajji, maka janganlah rafats, jangan pula melakukan fusûq, jangan pula berdebat pada saat berhaji. [al-Baqarah/2:197].

Dalam menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat [2]. Dan kefasikan yang dilakukan oleh shahâbi (sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu kebohongannya dalam menyampaikan berita.

Imam Al-Qurthubi[3] berkata: "Al-Walîd dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.[4]

Sehingga, dampak dari indikasi fâsiq menunjukkan bahwa apabila kebohongan saja yang merupakan kefasikan kecil sudah mengharuskan kita mewaspadai serta perlu untuk tabayyun, maka apalagi jika perbuatan itu merupakan fâsiq besar.

3. فتبيّنوا (maka telitilah dulu).
Ada dua qirâ`ah pada kalimat ini. Jumhûr al-Qurrâ membacanya "fatabayyanû", sedangkan al-Kissâ`i dan para qurrâ` Madinah membacanya "fatatsabbatû".[5] Keduanya benar dan memiliki makna yang sama.[6]

Tentang kalimat ini, ath-Thabari memaknainya: “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya ….”[7]

Syaikh al-Jazâ`iri mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat atau memvonis.[8]

4. أن تصيبوا قوما بجهالة (agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan).
Keterkaitan makna antara ketidaktahuan dengan kesalahan sangat erat, sehingga kata "jahâlah" dimaknai kesalahan.

Imam Al-Qurthubi mengatakan, "bi jahâlah," maksudnya ialah secara salah.[9] Adapun kesalahan yang terus dibela serta dicari-cari pembenarannya dengan berbagai dalih, maka demikian ini merupakan sifat dan kebiasaan kaum Nashara, sehingga Allah Ta'ala menyebut mereka dengan azh-zhâllîn. Yaitu orang-orang yang tersesat sebagaimana disebutkan dalam suurat al-Fâtihah.

Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.

5. فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (kemudian kalian menyesal atas perlakuan kalian).
Allah Ta'ala menyebutkan penyesalan ini akan menimpa seseorang yang salah dalam menjatuhkan keputusan karena memandang suatu masalah (perkara) tanpa tabayyun, dan bukan dari orang yang diisukan negatif. Karena yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi). Padahal Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ

Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.[10]

ANTARA KEUMUMAN LAFAZH DAN KEKHUSUSAN SEBAB DALAM AYAT INI
Merupakan kaidah pokok di kalangan ahli tafsir, bahwa:

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

(yang menjadi patokan adalah keumuman indikasi lafazhnya, bukan kekhususan sebabnya).[11]

Kaidah ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalil-dalil yang berlatar belakang kasus tertentu, tidak hanya berlaku untuk kasus tersebut pada waktu itu saja. Tetapi juga berlaku terhadap kasus sejenis pada masa sesudahnya, bahkan kasus-kasus yang tercakup dalam keumuman lafazh tersebut. Dan tentunya, kasus yang sejenis menempati peringkat utama terhadap pemberlakuan ayat tersebut.

Oleh karena itu, dalam ayat ini terdapat dua pedoman.

1. Kasus khusus, yaitu tentang kebohongan al-Walîd dan sunnah tabayyun dari Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika tidak melakukan tabayyun, bisa berakibat vonis murtad, peperangan dan pembunuhan.

2. Indikasi umum yang terkandung dalam dua kata bernada muthlak, yaitu "fâsiq", dan "naba`".

Fâsiq, ini berkaitan dengan kualitas pembawa berita. Dalam istilah ahli hadits disebut "rijâl" atau "sanad". Sedangkan "naba`" yang berarti masalah penting, dan dalam istilah ahli hadits disebut matan (substansi berita).

Pada poin ini, kesalahan sebagian orang ialah menyempitkan makna ayat ini dengan mengatakan, jika yang membawa isu (kabar) tersebut atau bahkan yang memberi vonis tersebut seorang ustadz, maka sudah pasti benar, karena ia (ustadz itu) orang shâlih. Sebaliknya, apabila –ternyata- vonis ustadz tersebut salah, karena berdasarkan persangkaan tanpa tabayyun, apakah kita akan menyematkan pada ustadz tersebut sebagai "fâsiq"?

Tatkala Penulis bertanya tentang hal ini kepada al-'Allâmah Syaikh 'Ali Hasan al-Halabi - hafizhahullâh- beliau menjawab dengan tegas: “Engkau perhatikan sabab nuzûl ayat tersebut. Bukankah turun berkenaan tentang shahâbi (sahabat Nabi)?"

Maksud beliau –hafizhahullâh-, bahwasanya shahâbi sudah tentu 'âdil (legitimate), bahkan ta`dîl (legitimasi) para sahabat dari Allah ialah "radhiyallâhu'anhum waradhû 'anhu". Artinya, Allah telah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya.

Kurang legitimate apa shahâbi? Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyuruh Khâlid ibnul-Walîd agar melakukan tabayyun atau tatsabbut (cross check), karena pengaduan al-Walîd ini akan berakibat fatal. Kasus ini lebih utama dalam penerapan ayat di atas dari pada keumuman lafazh.

Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini sebagai berikut.
1. Ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas.

2. Pelaksanaan perintah tabayyun, merupakan ibaadah yang dapat meningkatkan iman. Dan meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman.

3. Kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar berita dan akan menjatuhkan vonis terhadap pihak yang tertuduh.

4. Dilanggarnya perintah tabayyun, dapat berdampat pada kerusakan hubungan pribadi dan masyarakat.

5. Penyesalan di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang yang menerima isu negatif, menyebarkannya, serta kepada orang yang menjatuhkan vonis tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu.

Demikian, tafsir ringkas ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memuliakan kita dengan hidâyatut-taufîq, sehingga kita berlapang dada dengan nasihat ini. Wa âkhiru da'wânâ, 'anil-hamdu lillâhi Rabbil 'âlamîn.
READ MORE - Mengapa Mesti Tabayyun?