marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Kamis, 30 April 2015

Pandangan mata dalam shalat

Assalamualaikum,

bagaimanakah pandangan mata yg dianggap benar ketika melaksanakan shalat. Karena banyak orang, termasuk saya di saat sholat mata selalu bergerak. Kadang ke atas, ke bawah, bahkan ke samping. Apakah ini mempengaruhi kualitas sholat itu sendiri ustadz. Syukran mhn dijawab
Waalaikum salam.
ada beberapa hal yang hrs diperhatikan ketika melaksanakan shalat sehingga shalat menjadi khusu’ dan berkualitas. Di antaranya adalah:

Bersedekap adalah sunnah shalat

Di antara sunnah shalat adalah tangan bersedekap di atas dada. Wa`il bin Hujrradhiyallahu’anhu meriwayatkan tentang disyari’atkannya sedekap bagi orang yang menunaikan shalat,
صليت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم و وضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره
“Saya shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, di atas dada beliau”. (Hadits shahih, Al-Irwa` 352 dan Shahih Ibnu Khuzaimah 1/243/479).

Bersedekap di atas dada cerminan kekhusyu’an

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahmenyebutkan dalam kitabnya Fathul Bari,
قال العلماء : الحكمة في هذه الهيئة أنه صفة السائل الذليل ، وهو أمنع من العبث وأقرب إلى الخشوع ، وكأن البخاري لحظ ذلك فعقبه بباب الخشوع
“Para ulama berkata bahwa hikmah dari sikap (bersedekapnya tangan) ini adalah sikap seorang hamba yang memohon (kepada Allah dengan memelas) lagi merendahkan diri. Dan sikap tangan seperti itu merupakan sikap yang paling menghalangi seseorang dari perbuatan sia-sia (dalam shalat) serta lebih dekat dengan kekhusyu’an. Dan Imam Al-Bukhari seolah-olah memperhatikan makna ini, lalu (setelah menyebutkan hadits ini) langsung mengiringinya dengan “Bab Khusyuk (dalam shalat)” (Fathul Bari 2/261, Hadits no. 740).

Pandangan mata ke bawah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
كان صلى الله عليه و سلم إذا صلى طأطأ رأسه و رمى ببصره نحو الأرض
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika shalat menundukkan kepala beliau dan mengarahkan pandangannya ke tanah”(HR. Al-Hakim, beliau mengatakan shahih sesuai syarat Imam Muslim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan Al-Albani).
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa khusyuk adalah ruh dan maksud shalat, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh As-Sa’di rahimahullah, “Khusyuk dalam shalat adalah hadirnya hati (seorang hamba) di hadapan Allah Ta’ala, menghayati kedekatan dengan-Nya, hingga tentram hatinya karenanya, tenang jiwa dan gerakannya, tidak banyak mengingat sesuatu di luar urusan shalat, beradab di hadapan Rabb nya, menghayati seluruh apa yang ia ucapkan dan lakukan dalam shalatnya, dari awal hingga selesai shalatnya, sehingga hilang was-was (bisikan syaitan) dan berbagai pikiran yang jelek. Inilah ruh dan maksud shalat” (Tafsir As-Sa’di, hal. 637).
Dengan demikian, profil orang yang khusyuk dalam shalatnya adalah ketika ia khusyuk hatinya, yaitu kehadiran hati seseorang yang sedang menunaikan shalat secara totalitas menghadap Allah Ta’ala dan khusyuk badannya, berupa ketenangan gerakan dalam shalat, beradab dan tidak tergesa-gesa dalam mengucapkan dzikir dan do’a, ketundukan pandangan ke arah tempat sujud, tidak menoleh ke atas atau ke samping, semua anggota tubuh sesuai posisinya masing-masing dalam setiap gerakan shalat dengan tepat dan tidak disibukkan dengan gerakan yang sia-sia.
Oleh karena itulah, bersedekap di atas dada dan pandangan mata ke arah bawah hakikatnya cermin kekhusyukan seseorang. Kedua sikap tangan dan pandangan mata tersebut menghalangi seseorang dari gerakan sia-sia pada tangan dan mata, dan inilah kekhusyukan badan sebagai buah kekhusyukan yang ada dalam hati.
READ MORE - Pandangan mata dalam shalat

Rabu, 29 April 2015

Bagaimana memahami takdir


Takdir memiliki empat tingkatan, dan tidak sah keimanan seseorang kecuali dengan mengimani seluruh tingkatan ini, keempat tingkatan ini adalah;
Yang pertama adalah Al IlmuYaitu dengan meyakini bahwa Allah ta’ala maha mengetahui segala sesuatu, baik yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, ataupun yang akan terjadi. Bahkan Allah mengetahui sesuatu yang tidak terjadi, dan bagaimana jika itu terjadi. Sebagaimana juga Dia maha tahu tentang ciptaannya sebelum Dia menciptakan mereka, dan Allah mengetahui rizki, ajal, serta amalan mereka.
Dalil akan hal ini sangatlah banyak, diantaranya firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh” (Qs. Saba: 3).
Yang kedua adalah Al kitabah (penulisan). Yaitu dengan meyakini bahwa segala sesuatu sudah ditulis oleh Allah ta’ala diLauhul Mahfudz. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Yasin: 12) RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Allah telah menulis semua takdir makhluknya 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi2
Yang ketiga adalah Al Masyi’ah (kehendak), bahwa semua yang terjadi di dunia ini merupakan kehendak Allah ta’ala. Apa yang Dia kehendaki pasti akan terjadi, dan sebaliknya, apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi. Tidak ada sesuatu yang terjadi, melainkan kehendak Allahta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Sesungguhnya urusan Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “jadilah!” maka terjadilah” (Qs. As Shaffat: 82.
Dan yang terakhir atau yang keempat adalahAl Kholqu (penciptaan). Bahwa segala sesatu selain Allah adalah makhluk, ciptaan Allah ta’ala, Allah lah yang menciptakan mereka dari ketiadaan. Termasuk perbuatan manusia, merupakan ciptaan Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Allah menciptakan kalian serta apa yang kalian kerjakan” (Qs. As Shaffat: 96).
Sebagai contoh, ketika si fulan setiap harinya rajin sholat di masjid, Allah dengan ilmunya telah mengetahui bahwa si fulan akan melakukan perbuatan tersebut. Kemudian Allah menuliskan perbuatan si fulan tersebut di lauhul mahfudz, dan Allah punmenghendaki perbuatan tersebut, sehingga kemudian menciptakannya, dengan terjadinya perbuatan tersebut. Begitu juga dengan seorang pencuri, Allah telahmengetahui bahwa si fulan akan mencuri, kemudian menuliskannya di lauhul mahfudz, kemudian Allah menghendaki terjadinya pencurian oleh si fulan, maka Allahmenciptakan perbuatan si fulan tersebut, dengan terjadinya pencurian.

Penetapan takdir3

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa Allah telah menuliskan takdir di lauhul mahfudz lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Namun Al Qur’an dan As Sunnah menunjukan bahwa ada penetapan takdir dalam waktu yang lain. Yaitu ketika seseorang masih berada di rahim ibunya, yang ini terjadi sekali seumur hidup. Kemudian takdir tahunan yang ditetapkan setaun sekali pada malam lailatul Qodar, dan takdir harian yang tetapkan setiap hari.
Mengenai penulisan takdir ketika di rahimditunjukan oleh hadits ibnu Mas’ud, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallambersabda, “Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.”4
Adapun takdir yang bersifat tahunan, Allahta’ala berfirman (yang artinya), “sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi5 dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (Qs. Ad Dukhon: 3-4). Ibnu katsir rahimahullah berkata, “yaitu pada malam lailatul Qodar diputuskan dari lauhul mahfudz untuk dituliskan peristiwa yang akan terjadi selama satu tahun berkaitan dengan ajal, rizki dan lainnya dalam tahun itu”6
Mengenai takdir yang bersifat harian, Allahta’ala berfirman (yang artinya), “setiap waktu Dia berada dalam kesibukan” (Qs. Ar Rahman: 29). Para ulama menafsirkan ayat ini, “kesibukan Nya adalah memuliakan dan menghinakan, mengangkat dan merendahkan, memberi dan menahan, mengayakan dan memisikinkan, menghidupkan dan mematikan dan sebagainya”7

Kewajiban kita terhadap takdir Allah

Wajib bagi manusia untuk mengimani takdir Allah ta’ala, dan menjalankan perintah Allah serta menjauhi larangan Nya. Maka seorang Muslim, jika dia berbuat baik, dia memuji Allah ta’ala. Jika dia berbuat dosa, dia akan beristighfar, bertaubat kepada Allah ta’ala, tidak kemudian terus menerus berbuat dosa dengan alasan takdir. Karena Nabi AdamAlaihis Salam, ketika berdosa dia bertaubat, maka Allah mengampuni dosanya dan memberinya petunjuk. Akan tetapi lihatlah iblis! Dia berdosa, tapi tidak mau bertaubat, justru berdalil dengan takdir, maka iblis pun dilaknat oleh Allah ta’ala. Maka barang siapa yang bertaubat, dia mengikuti kakeknya, Adam Alaihis Salam, dan siapa yang terus terusan berdosa dengan alasan takdir, dia mengikuti musuhnya, Iblis La’natullah ‘Alaih.
Kemudian, seorang Muslim juga harus berusaha untuk kebaikan duniawinya, dengan bekerja, berusaha, mencari nafkah untuk keluarga dan sebagainya. Tidak berpangku tangan dengan alasan takdir. Jika ternyata hasil usahanya sukses, maka dia bersyukur kepada Allah ta’ala. Tapi jika ternyata gagal, maka dia meyakini bahwa itu merupakan kehendak Allah ta’ala, dan apa yang menimpanya sudah ditakdirkan oleh Allah untuknya, tentunya dengan berbaik sangka kepada Allah, bahwa itu adalah yang terbaik baginya. Karena Allah lebih mengetahui yang terbaik buat hamba-hambanya. Tidak ada kehendak Allah kecuali mengandung hikmah yang Allah ketahui dengan ilmu Nya.

Penyimpangan dalam masalah takdir

Ada dua kelompok yang salah memahami takdir8:
Yang pertama mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hambanya. Seorang manusia secara mutlak bebas melakukan perbuatannya tanpa campur tangan Allah, kelompok ini dinamakan dengan Qodariyah.
Adapun yang kedua, adalah kelompok yang mengatakan Allah menakdirkan segala sesuatu, akan tetapi manusia tidak punya pilihan atas perbuatannya, manusia dipaksa untuk melakukan perbuatkannya, seperti robot yang diatur oleh remot. Kelompok ini dinamakan dengan Jabariyah.
Adapun keyakinan yang benar adalah, bahwa Allah menghendaki segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia9, Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.” (Qs. Al Qoshos: 68). Akan tetapi meskipun begitu, hal ini tidak menafikan bahwa manusia juga diberi otak untuk berpikir, diberikan kebebasan memilih, tidak dipaksa atas perbuatannya, Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya” (Qs. An Naba: 39), juga firman Allah, “maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka…” (Qs. Al Kahfi: 29).
Bahkan Allah telah menunjukan jalan kepada manusia, mengutus para Rosul, menurunkan kitab, menyuruh untuk berbuat kebaikan, dan melarang dari perbuatan dosa dan maksiat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Qs. Al Balad: 10), maksudnya jalan kebenaran dan jalan kesesatan.
Kitapun merasakan dengan yakin, bahwa kita tidak dipaksa dalam beramal, kita bebas melakukan perbuatan yang kita inginkan, tidak ada yang memaksa kita, meskipun kehendak kita juga terjadi atas kehendak Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki untuk menempuh jalan yang lurus, Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” (Qs. At Takwir: 28-29).
READ MORE - Bagaimana memahami takdir

Selasa, 28 April 2015

Iman tidak cukup diyakini

Seorang wanita bertanya kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, “apakah iman itu cukup dengan keyakinan hati? Karena terkadang ada seorang Muslim yang jauh dari shalat, puasa dan zakat“. Syaikh menjelaskan:

Iman tidak cukup dengan keyakinan hati tanpa melaksanakan shalat dan kewajiban yang lain. Bahkan wajib bagi seseorang untuk mengimani dalam hatinya bahwa Allah itu Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan mengimani bahwa Ia adalah Rabb-nya dan penciptanya, dan wajib baginya untuk menujukan semua jenis ibadah hanya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan beriman kepada Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, bahwasanya ia adalah Rasulullah untuk seluruh jin dan manusia. Semua ini wajib diimani karena ini adalah landasan agama. Dan juga wajib bagi setiap mukallaf untuk mengimani setiap kabar dari Allah dan Rasul-Nya. Wajib juga mengimani surga, neraka, shirat, mizan dan semua hal yang terdapat dalilnya dari Al Qur’an Al Karim dan As Sunnah yang shahih dan suci.

Disamping semua ini, wajib juga untuk mengucapkan dua kalimat syahadat laa ilaaha illallah muhammad rasulullah. Juga wajib untuk menunaikan shalat dan semua kewajiban dalam agama. Apabila shalat ditunaikan maka, ia telah menunaikan apa yang diwajibkan dalam agama. Namun jika tidak shalat, maka kafir. Karena meninggalkan shalat adalah kekafiran. Adapun zakat, puasa, haji dan kewajiban lainnya selama masih meyakini bahwa hukumnya wajib namun ketika melalaikan hal-hal ini seseorang tidak dikafirkan. Namun ia adalah pelaku maksiat, dan imannya lemah serta kurang. Karena iman itu naik dan turun. Menurut ahlussunnah wal jama’ah, iman itu naik dengan dengan ketaatan dan amalan shalih, dan turun dengan maksiat.

Khusus shalat, jika ditinggalkan maka kafir menurut mayoritas ulama, walaupun orang yang meninggalkan shalat itu tidak mengingkari wajibnya shalat. Inilah pendapat yang tepat diantara khilaf yang ada di antara para ulama. Maka shalat itu tidak sebagaimana ibadah-ibadah yang lain seperti zakat, puasa, haji dan yang lainnya. Yang jika meninggalkannya, tidaklah kufur akbar, menurut pendapat yang shahih. Namun dengan meninggalkannya, iman menurun dan lemah dan termasuk dosa besar. Meninggalkan zakat itu dosa besar, meninggalkan puasa dosa besar, meninggalkan haji ketika mampu juga dosa besar, namun tidak kufur akbar selama masih meyakini bahwa zakat itu benar wajib, puasa itu benar wajib, haji itu benar wajib bagi yang mampu. Ia tidak mendustakan dan mengingkari kewajiban itu semua, walaupun telah melalaikannya, maka tidak menjadi kafir, menurut pendapat yang shahih.

Adapun shalat, jika ditinggalkan menjadi kafir menurut pendapat yang shahih dari khilaf ulama yang ada. Walaupun tidak mengingkari wajibnya shalat, sebagaimana sudah kami jelaskan. Semoga Allah melindungi kita dari perbuatan demikian. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة

“batas antara seseorang dengan kekafiran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim 82, At Tirmidzi 2620, Abu Daud 4678, Ibnu Majah 1078, Ahmad 3/389, Ad Darimi 1233)

dan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر

“perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka kafir”
(HR. Tirmidzi 2621, An Nasa-i 463, Ibnu Majah 1079, Ahmad 5/346)

Nas-alullah al alfiyah was salamah.

Sumber: Fatawa Nurun ‘alad Darbi Syaikh Ibnu Baz yang dihimpun Syaikh Ath Thayyar, 1/33, Asy Syamilah

READ MORE - Iman tidak cukup diyakini

Rabu, 22 April 2015

Hukum mengumumkan kematian via mic dan media

Assalamualaikum ustadz,
apakah benar mengumumkan kematian di mikropon masjid, atau menyebarkan di media. Apalagi zaman sekarang banyak tradisi itu terjadi?
Waalaikum salam,
untuk menjawab pertanyaan di atas. Kami paparkan berikut ini pertanyaan dan jawaban yg senada dg di atas.
هل يجوز النعي بمكبرات الصوت
Bolehkan Mengumumkan Kematian dengan Pengeras Suara?
السؤال:عندنا في الغرب الجزائري يعلن عن موت أحدنا من خلال تعليق مكبر الصوت على سيارة والتجوال ما بين طرق المنطقة،معلنين عن الشخص الذي توفاه الله ومكان الاجتماع للصلاة عليه ومكان دفنه وحسب،فهل هذا يدخل في النعي المنهي عنه علما أنه لا تذكر محاسنه عند الإعلان؟.
Pertanyaan, “Kami di sisi barat Aljazair memiliki kebiasaan mengumumkan kematian dengan menggunakan pengeras suara yang diletakkan di mobil lalu mobil berputar-putar di berbagai jalan di daerah kami sambil mengumumkan nama orang yang meninggal dunia, tempat pelaksanaan shalat jenazah untuk orang tersebut dan tempat pemakamannya. Itu saja yang diumumkan. Apakah perbuatan ini termasuk mengumumkan kematian yang terlarang? Perlu diketahui bahwa pada saat itu tidak ada pujian-pujian untuk mayit”
الجواب: النعي هو الإخبار بموت شخص، وقد ثبت عن حذيفة بن اليمان رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن النعي» رواه أحمد (23270)، والترمذي (986) وحسّنه، ووافقه الألباني.
Jawaban Syaikh Abu Said al Jazairi, “An Na’yu adalah mengumumkan kematian seseorang. Terdapat hadits sahih dari Hudzaifah bin al Yaman bahwa Nabi melarang anna’yu. HR Ahmad dan Tirmidzi, dinilai hasan oleh Tirmidzi dan al Albani.
وما يفعله أهل بلدك هو موجود في كثير من البلاد، وهُو النّعي الذي يكون على رؤوس المنابر وفي الأسواق والتجمّعات، كما كان يفعل أهل الجاهلية،
Perbuatan penduduk negerimu itu ada di banyak daerah. Itulah mengumumkan kematian di menara masjid, di tengah-tengah pasar dan perkumpulan banyak orang. Ini sama persis dengan kelakuan orang-orang jahiliah.
أما النعيُ من أجل مقصد شرعي ليسمع أصحابه وأقرباؤه وكل من سيأتي للصلاة وحضور جنازته فهو أمر جائز، وهذا لا يُتوسّع فيه.
Sedangkan mengumumkan kematian dengan tujuan yang dilegalkan oleh syariat semisal memberitahukan berita kematian kepada kawan dan kerabat mayit serta semua orang yang akan mendatangi rumah duka untuk melakukan shalat jenazah dan menghadiri jenazahnya itu dibolehkan. Pengumuman kematian semacam ini seharusnya bersifat terbatas.
وثبت في صحيح البخاري (1328) وصحيح مسلم (951) أن النبي صلى الله عليه وسلم نعي للناس النجاشي في اليوم الذي مات فيه فخرج بهم إلى المصلى، وكبّر أربع تكبيرات»
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kepada para sahabat kematian Najasyi pada hari kematian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat melakukan shalat jenazah di tanah lapang. Ketika itu beliau bertakbir sebanyak empat kali.
قال النووي رحمه الله تعالى: فيه استحباب الإعلام بالميت لا على صورة نعي الجاهلية، بل مجرّد إعلام للصلاة عليه وتشييعه وقضاء حقّه في ذلك، والذي جاء من النهي عن النعي ليس المراد به هذا، وإنما المراد نعي الجاهلية المشتمل على ذِكر لمفاخر وغيرها»  اهـ.
An Nawawi mengomentari hadits di atas dengan mengatakan, “Hadits di atas adalah dalil dibolehkannya mengumumkan kematian asalkan tidak menyerupai orang-orang jahiliah dalam mengumumkan kematian. Itulah mengumumkan kematian semata-mata ajakan untuk mensholati jenazahnya, mengantarkannya ke pemakaman dan menunaikan hak mayit dengan melakukan hal-hal di atas. Sedangkan pengumuman kematian yang terlarang tidaklah pengumuman kematian sebagaimana di atas. Yang terlarang adalah mengumumkan kematian ala jahiliah. Itulah pengumuman kematian diiringi dengan memuji-muji mayit”.
وقال ابن العربي المالكي رحمه الله: يؤخذ من مجموع الأحاديث ثلاث حالات: الأولى: إعلام الأهل والأصحاب وأهل الصلاح، فهذا سنّة. الثانية: دعوة الحفل للمفاخرة، فهذه تكره. والثالثة: الإعلام بنوع آخر كالنياحة ونحو ذلك، فهذا يحرم» اهـ.
Ibnul ‘Arabi al Maliki mengatakan, “Kesimpulan dari berbagai hadits mengenai hal ini adalah perlu ada tiga rincian.
Pertama, menyampaikan berita kematian seseorang kepada keluarga, kawan dan orang-orang shalih. Hal ini hukumnya dianjurkan.
Kedua, mengumumkan kematian kepada kumpulan orang dengan tujuan menyebut-nyebut kelebihan mayit. Hukum hal ini adalah makruh.
Ketiga, pengumuman kematian jenis lain semisal dalam bentuk meratapi kematian dan semisalnya. Hukum poin ketiga ini adalah haram”.
READ MORE - Hukum mengumumkan kematian via mic dan media

ucapan ringan, berat timbangannya

Assalamu'alaikum.
adakah lafadz zikir yang bermanfaat untuk semua kehidupan, sehingga apa yang diucapakan berfaedah baik secara duniawi maupun ukhrowi. Syukran ustadz
Wassalam,
ummu salim
Waalaikum salam
Banyak kata…keluar dari lisan kita. Tapi entah berapa yang mengeluarkan sepatah dua patah yang menambah bekal pahala di akhirat nanti. Ya saudariku…hanya sepatah dua patah kata…yang terasa ringan untuk diucapkan, mudah untuk dihafalkan, dan dapat menambah keimanan kita. Bukankah iman bertambah dan berkurang? Semoga kita tidak lupa untuk mengamalkan sunnah ini dan bersemangat untuk menghafalkan dan mengamalkan do’a dan dzikir lainnya (yang membutuhkan waktu untuk menghafalkan dan mengamalkannya) yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bismillah
Untuk lafadz yang satu ini, mungkin kita sendiri lupa entah kapan mulai mempelajarinya. Ternyata banyak saat-saat yang kita disunnahkan untuk mengluarkan lafadz ini. Yang pertama adalah saat hendak mulai makan. Hei…mungkin langsung ada yang bertanya-tanya, bukankah saat hendak makan doa yang dibaca “Allahumma bariklana…?”
Jawabnya, “Bukan saudariku.” Bahkan do’a tersebut tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena hanya disebutkan dalam hadits yang lemahriwayat dari Ibnu Sunni. Cukup dengan ‘bismillah’. Maka setan tidak akan dapat ikut makan bersama kita.
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Apabila seseorang masuk rumahnya dia menyebut Allah Ta’ala pada waktu masuknya dan pada waktu makannya, maka setan berkata kepada teman-temannya, ‘Kalian tidak punya tempat bermalam dan tidak punya makan malam.’ Apabila ia masuk tidak menyebut nama Allah pada waktu masuknya itu, maka setan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat menginap’, dan apabila ia tidak menyebut nama Allah pada waktu makan, maka setan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam.'” (HR. Muslim)
Adapun jika kita terlupa membaca ‘bismillah’ di awal waktu kita makan, maka kita cukup membasa ‘bismillah awwalahu wa aakhirohu’ di saat kita ingat.
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Apabila salah seorang kamu makan, maka sebutlah nama Allah Ta’ala (bismillah -pen). Jika ia lupa menyebut nama Allah di awal makannya, maka hendaklah ia mengucapkan,

بِسْمِ اللهِ أوَّلَهُ وَ اخِرَهُ

(Dengan menyebut nama Allah pada awalnya dan pada akhirnya)’.”
 (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih”)
Kita juga disunnahkan membaca bismillah ketika kendaraan yang kita kendarai mogok. (HR. Abu Daud, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud III/941)
Subhanallah
Alhamdulillah, dzikir yang satu ini pun sudah kita hafal sejak lama. Dzikir ini dapat kita amalkan setelah sholat sebanyak 33 kali (HR. Bukhari dan Muslim) atau kita dzikirkan pulasebelum tidur sebanyak 33 kali (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam satu riwayat lain, dibaca sebanyak 34 kali sebelum tidur. Lafadz ini juga disunnahkan untuk diucapkan ketika kita dalam perjalanan dengan kondisi jalan yang menurun (HR. Bukhari dalam al-Fath VI/135). Dapat pula kita ucapkan ketika kita sedangtakjub dengan kebesaran ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala (HR. Bukhari)
Adapula lafadz tasbih lainnya yang telah diajarkan Rasululllahshallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai berikut:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua kalimat yang ringan di lidah, berat dalam timbangan, dicintai Allah Yang Maha Pengasih, (yaitu),

سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

ّ
“Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya, maha suci Allah Yang Maha Agung.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada hadits lainnya, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya ucapan yang paling dicintai Allah adalah

سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِ هِ
(HR. Muslim)
Alhamdulillah
Lafadz ini adalah ungkapan rasa syukur seorang hamba kepada Rabbnya dengan memberikan pujian kepada-Nya. Lafadz ini juga disunnahkan dibaca setelah sholat sebanyak 33 kali dan juga sebelum tidur 33 kali.
Setelah bersin, kita juga disunnahkan mengucapkan alhamdulillah atau alhamdulillah ‘ala kulli haal (HR. Bukhari). Nah, bagi yang mendengar lafadz alhamdulillah dari orang yang bersin, maka berikanlah do’a kepadanya, yaitu

يَر حَمُكَ اللّه
yarhamukallah
“Semoga Allah merahmatimu.”
Kalau sudah mendapat do’a ini, maka orang yang bersin tadi membaca

يَهْدِ يكُمُ اللّهُ و يُصلح بَالَ كُمْ

yahdikumullah wa yuslih baalakum’
“Semoga Allah memberi petunjuk dan memperbaiki keadaanmu.”
Keutamaan dzikir alhamdulillah dan dzikir subhanallah juga terdapat dalam hadits berikut,
“Dari Abu Malik al-Asy’ary dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bersuci adalah setengah iman, الحَمْدُ لِلَّهِ memenuhi timbangan, dan سُبْجَانَ اللّهِ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ (Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya) memenuhi antara tujuh langit dan bumi.”‘” (HR. Muslim)
Allahu Akbar
Sama seperti dua lafadz sebelumnya, lafadz ini juga disunnahkan dibaca setelah sholat dan sebelum tidur. Setelah shalat sebanyak 33 kali dan sebelum tidur sebanyak 33 kali (dalam riwayat lain 34 kali).
Lafadz Allahu Akbar juga sunnah diucapkan ketika melihat sesuatu yang menakjubkan dari ciptaan Allah (HR. Bukhari dalam al-Fath). Dan tahukah saudariku, ternyata lafadz ini juga termasuk dzikir yang sunnah diucapkan ketika dalam perjalanan dengan kondisi jalan yang menanjak. (HR. Bukhari dalam al-Fath VI/135)
Laa ilaha illallah
Alhamdulillah, kita semua tentu telah melafadzkan ini karena inilah salah satu pembeda antara muslim dengan kafir. Tentu saja pelafalan lafadz laa ilaha illallah harus disertai dengan keyakinan hati dan pemaknaan yang benar, bahwa tidak ada ilah atau sesembahan yang berhak disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan tentang lafadz ini dalam haditsnya,
“Sebaik-baik dzikir adalah ada لا اله الا الله (tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah).” (HR. Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits hasan.”)
Dan sungguh manis ganjaran orang yang yang melafadzkan dzikir ini, sebagaimana dijelaskan oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa mengucapkan laa ilaah illallah, maka ditanamkan baginya sebatang pohon kurma di Surga.”(HR. Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits hasan.”)
Saudariku tentu juga mengetahui, pernah menjadi tren ‘latah’ yang menyebar di berbagai kalangan. Salah satu ciri latah ini adalah jika seseorang dikagetkan atau terkejut, maka akan keluar kata-kata yang tidak dia sadari. Atau bahkan ia bisa dikontrol oleh orang yang mengejutkannya sehingga berkata-kata atau bertingkah laku yang tidak-tidak. Padahal untuk urusan yang terlihat kecil ini, ternyata telah pula diajarkan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang yang terkejut disunnahkan untuk mengucapkan lafadz ‘laa ilaha illallah’. (HR. Bukhari dalam Fathul Baari VI/181 dan Muslim IV/22208)

Masya Allah
Yang satu ini, seringkali penulis dengar dilafalkan bukan pada tempatnya. Masya Allah memiliki makna “Atas kehendak Allah”. Lafadz ini diucapkan ketika kita takjub melihat kelebihan yang dimiliki oleh orang lain, baik berupa harta, kondisi fisik atau yang lainnya. Dalam surat Al Kahfi, terdapat tambahan,
“Masya Allah laa quwwata illa billah”
“Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali dengan bantuan Allah.”
Lafadz ini juga berkaitan dengan penyakit ‘ain. Dengan melafadzkan “Masya Allah” ketika kita mengaggumi kelebihan yang dimiliki orang lain, diharapkan orang tersebut tidak terkena penyakit ‘ain disebabkan pandangan kita. Karena penyakit ‘ain ini dapat terjadi baik kita sengaja ataupun tidak.
Nah…yang sering menarik pandangan seseorang adalah tingkah dan fisik anak kecil yang menggoda. Pipinya yang lucu, matanya yang nakal dan lain sebagainya. Lalu datanglah pujian dari sanak, saudara atau teman sekitar kita. Namun kita mungkin lupa, bahwa anak juga merupakan anugrah yang dapat terkena ‘ain. Maka, ingatkanlah orang-orang sekitar untuk mengucapkan masya Allah ketika memberikan pujian kepada anak kita. Begitupula dengan kita sendiri ketika memuji anak atau benda milik seseorang, maka ucapkanlah ‘masya Allah’ ini.
Astaghfirullah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pujian yang paling tinggi adalah la ilaha illallah, sedangkan doa yang paling tinggi adalah perkataan astaghfirullah. Allah memerintahkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengesakan Allah dan memohon ampunan bagi diri sendiri dan bagi orang-orang mukmin.”
Memohon ampunan dengan lafadz ini sunnah diucapkan sebanyak 3 kali setelah selesai salam dari sholat wajib. Kita juga dapat memohon ampunan sebanyak-banyaknya, sebagaimana banyak ayat Al-Qur’an menunjukkan hal ini. Begitupula dari contoh perbuatan Rasululllah shallallahu’alaihi wa sallam (padahal beliau sudah diampuni dosanya yang telalu lalu dan akan datang). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar memohn ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Bukhari)
Kita sebagai wanita juga diperintah untuk memperbanyak istighfar, sebagaimana dalam hadits berikut,
“Wahai sekalian kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar, karena sesungguhnya aku melihat kalian adalah kebanyakan penghuni neraka!”
Seorang wanita dari mereka bertanya, “Wahai Rasululllah, mengapa kami menjadi kebanyakan penghuni neraka?”
Beliau menjawab, “Kalian terlalu banyak melaknat dan ingkar (tidak bersyukur) terhadap (kebaikan) suami, aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya bisa mengalahkan lelaki yang berakal kecuali kalian.”
Ia bertanya, “Apa maksudnya kurang akal dan agama?”
Beliau menjawab, “Persaksian dua orang wanita sama dengan seorang laki-laii dan wanita berdiam diri beberapa hari tanpa shalat.”
(HR. Muslim)
Ini adah lafadz-lafadz dzikir yang ringan di lidah dan mudah untuk dihafal dan diamalkan, insya Allah. Semoga yang ringan ini juga menjadi pemicu untuk menghafal dan mempraktekkan do’a dan dzikir-dzikir lain yang lebih panjang.Barakallahufikunna.
Maraji':
Hisnul Muslim (terj), Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani, at-Tibyan
Istighfar (terj), Ibnu Taimiyah, Darul Falah, cetakan pertama 2002 M
Riyadus Shalihin, Jilid 1 (terj), Imam Nawawi dengan tahkik Syaikh Nashiruddin al-Albani, Duta Ilmu, cetakan kedua 2003
Riyadus Shalihin, Jilid 2 (terj), Imam Nawawi dengan tahkik Syaikh Nashiruddin al-Albani, Duta Ilmu, cetakan kedua 2003.
READ MORE - ucapan ringan, berat timbangannya

Bagaimana mengajarkan anak tentang adab makan dan minum?

Assalamualaikum ustadz,
bagaimana cara mengajarkan anak adab atau etika makan dan minum sesuai dengan islam dan sunnah rasulullah.
dari ummu salam
Waalaikum salam.
Para ibu muslimah yang semoga dirahmati oleh Allah, mendidik anak adalah salah satu tugas mulia seorang ibu. Ketika kita berusaha untuk mendidik anak kita sebaik mungkin dan dengan mengharapkan ridha Allah, maka usaha kita tersebut dapat berbuah pahala. Bagaimana tidak, bukankah membina anak agar menjadi generasi yang sholih dan sholihah adalah salah satu bentuk jihadnya para ibu? Salah satu bentuk pengajaran kepada si kecil adalah mengajarinya tentang adab dan akhlak mulia dalam Islam. Karena bagaimanapun, seorang ibu memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan pribadi anak. Jika sang ibu berakhlak baik maka si kecil pun akan meniru ibunya karena biasanya waktu anak lebih banyak bersama ibunya. Diantara adab yang semestinya kita ajarkan kepada si kecil adalah adab ketika minum. Inilah Adab Minum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Aktivitas minum merupakan aktivitas yang lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Sehingga hal ini merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan pengajaran bagi anak-anak kita dan melatihnya agar terbiasa minum sesuai dengan tauladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa adab minum yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain: Meniatkan minum untuk dapat beribadah kepada Allah agar bernilai pahala.Segala perkara yang mubah dapat bernilai pahala jika disertai dengan niat untuk beribadah. Wahai ibu, maka niatkanlah aktivitas minum kita dengan niat agar dapat beribadah kepada Allah. Dan janganlah lupa memberitahukan anak tentang hal ini. Memulai minum dengan membaca basmallah.Diantara sunnah Nabi adalah mengucapkan basmallah sebelum minum. Hal ini berdasarkan hadits yang memerintahkan membaca ‘bismillah’ sebelum makan. Bacaan bismillah yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan bismillah tanpa tambahan ar-Rahman dan ar-Rahim. Dari Amr bin Abi Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, jika engkau hendak makan ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir) Dalam silsilah hadits shahihah, 1/611 Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim)Wahai ibu, jangan lupa untuk mengingatkan anak-anak kita untuk membaca ‘bismillah’ ketika hendak minum, agar setan tidak ikut serta menikmati makanan dan minuman yang sedang kita konsumsi. Minum dengan tangan kanan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika salah seorang dari kalian hendak makan, hendaklah makan dengan tangan kanan. Dan apabila ingin minum, hendaklah minum dengan tangan kanan. Sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim)Ajarkanlah pada si kecil untuk selalu menggunakan tangan kanan ketika makan dan minum. Seringkali si kecil lupa meskipun telah kita ajari, apalagi ketika menyantap makanan ringan (snack) bersama teman mainnya. Nah, saat kita melihatnya, ingatkanlah ia. Janganlah bosan dan merasa jemu untuk mengingatkan anak kita. Insyaa Allah jika kita melakukannya dengan ikhlas mengharap ridha Allah, Allah akan mengganti usaha kita tersebut dengan pahala. Tidak bernafas dan meniup air minum.Termasuk adab ketika minum adalah tidak bernafas dan meniup air minum. Ada beberapa hadits mengenai hal ini:Dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian minum maka janganlah bernafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263) Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernafas atau meniup wadah air minum.” (HR. Turmudzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani).Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan, “Larangan bernafas dalam wadah air minum adalah termasuk etika karena dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau menimbulkan bau yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung yang jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu. Dalam Zaadul Maad IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupinya. Bernafas tiga kali ketika minum.Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum beliau mengambil nafas di luar wadah air minum sebanyak tiga kali.” Dan beliau bersabda, “Hal itu lebih segar, lebih enak dan lebih nikmat.” Anas mengatakan, “Oleh karena itu ketika aku minum, aku bernafas tiga kali.” (HR. Bukhari no. 45631 dan Muslim no. 2028). Yang dimaksud bernafas tiga kali dalam hadits di atas adalah bernafas di luar wadah air minum dengan menjauhkan wadah tersebut dari mulut terlebih dahulu, karena bernafas dalam wadah air minum adalah satu hal yang terlarang sebagaimana penjelasan di atas. Larangan minum langsung dari mulut teko/ceret.Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah melarang minum langsung dari mulut qirbah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya.” (HR Bukhari no. 5627). Menurut sebagian ulama minum langsung dari mulut teko hukumnya adalah haram, namun mayoritas ulama mengatakan hukumnya makruh. Ketahuilah wahai para ibu muslimah, yang sesuai dengan adab islami adalah menuangkan air tersebut ke dalam gelas kemudian baru meminumnya.Dari Kabsyah al-Anshariyyah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahku lalu beliau minum dari mulut qirbah yang digantungkan sambil berdiri. Aku lantas menuju qirbah tersebut dan memutus mulut qirbah itu.” (HR. Turmudzi no. 1892, Ibnu Majah no. 3423 dan dishahihkan oleh Al-Albani) Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air. Untuk mengkompromikan dengan hadits-hadits yang melarang, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Hadits yang menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air itu berlaku dalam kondisi terpaksa.” Mengompromikan dua jenis hadits yang nampak bertentangan itu lebih baik daripada menyatakan bahwa salah satunya itu mansukh (tidak berlaku).”(Fathul Baari, X/94) Minum dengan posisi duduk.Terdapat hadits yang melarang minum sambil berdiri. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa sehingga minum sambil berdiri, maka hendaklah ia berusaha untuk memuntahkannya.” (HR. Ahmad no 8135) Namun disamping itu, terdapat pula hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri. Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637, dan Muslim no. 2027)Dalam hadits yang pertama Rasulullah melarang minum sambil berdiri sedangkan hadits kedua adalah dalil bolehnya minum sambil berdiri. Kedua hadits tersebut adalah shahih. Lalu bagaimana mengkompromikannya? Mengenai hadits di atas, ada ulama yang berkesimpulan minum sambil berdiri diperbolehkan, meski yang lebih utama adalah minum sambil duduk. Diantara ulama tersebut adalah Imam Nawawi dan Syaikh Utsaimin. Meskipun minum sambil berdiri diperbolehkan, namun yang lebih utama adalah sambil duduk karena makan dan minum sambil duduk adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Minum sambil berdiri tidaklah haram akan tetapi melakukan hal yang kurang utama. Menutup bejana air pada malam hari.Biasakan diri kita untuk menutup bejana air pada malam hari dan jangan lupa mengajarkan anak kita tentang hal ini. Sebagaimana hadits dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda, “Tutuplah bejana-bejana dan wadah air. Karena dalam satu tahun ada satu malam, ketika ituturun wabah, tidaklah ia melewati bejana-bejana yang tidak tertutup, ataupun wadah air yang tidak diikat melainkan akan turun padanya bibit penyakit.” (HR. Muslim) Puas dengan minuman yang ada dan tidak mencelanya. Ajarkan pula kepada anak, bahwa kita tidak boleh mencela makanan walaupun kita tidak menyukainya. Para ibu muslimah, itulah beberapa adab ketika minum sesuai kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Alangkah senangnya hati ini ketika kita melihat anak-anak kita meniru kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan membiasakan adab islami kepada anak semenjak kecil, Insya Allah saat dewasa kelak anak-anak akan lebih mudah untuk melaksanakan adab-adab dalam islam dalam kesehariannya, karena ia sudah terbiasa. Maka janganlah bosan untuk mengingatkan si kecil. Semoga Allah membalas usaha kita dengan pahala yang berlipat ganda. Amiin.
READ MORE - Bagaimana mengajarkan anak tentang adab makan dan minum?

Minggu, 19 April 2015

Penulisan dan pengucapan salam serta shalawat yang benar

Assalamualaikum ustadz robi,
afwan, saya mau bertanya bagaimana pengucapan dan penulisan salam dan shalawat yang benar?.karena banyak sekarang orang suka menyingkat salam dan shalawat.
Waalaikum salam warahmatullhi wabarakatuh,
akhi fillah,
Salah satu bentuk ibadah yang terlalaikan, namun dianggap sebagai hal biasa di kalangan kaum muslimin sekarang ini adalah menulis salam dan shalawat dengan disingkat. Padahal telah diketahui bahwa dalam kaidah penggunaan bahasa Arab, kesempurnaan tulisan dan pembacaan lafadz akan mempengaruhi arti dan makna dari sebuah kata dan kalimat.
Lalu, bagaimana jika salam dan shalawat disingkat dalam penulisannya?
Apakah akan merubah arti dan makna kalimat tersebut?
Adab Menulis Salam
Kata salaam memuat makna keterbebasan dari setiap malapetaka dan perlindungan dari segala bentuk aib dan kekurangan.Salaam juga berarti aman dari segala kejahatan dan terlindung dari peperangan. Oleh karena itu, Islam memerintahkan supaya menampakkan salam dan menyebarluaskannya (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin, Bab Keutamaan Salam dan Perintah Untuk Menyebarluaskannya).
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya,“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”(Qs. An-Nisaa': 86)
Yang dimaksud dengan penghormatan pada ayat diatas adalah ucapan salam, yaitu:
  1. Assalaamu ‘alaykum
  2. Atau assalaamu ‘alaykum warahmatullaah
  3. Atau assalamu ‘alaykum warahmatullaah wabarakaatuh
Dalam ayat diatas juga terdapat perintah untuk membalas salam dengan yang lebih baik atau serupa dengan itu. Misalkan ada yang memberi salam dengan ucapan assalaamu ‘alaykum maka balaslah dengan yang serupa, yaitu wa’alaykumussalaam. Atau yang lebih baik dari itu, yaitu, wa’alaykumussalaam warahmatullaah, dan seterusnya.
Dari ayat yang mulia di atas dapat diketahui bahwa hukum menjawab atau membalas salam dengan lafadz yang serupa atau sama dengan apa yang diucapkan adalah fardhu atauwajib. Sedangkan membalas salam dengan lafadz yang lebih baik dari itu hukumnya adalah sunah. Dan berdosalah orang yang tidak menjawab atau membalas salam dengan lafadz yang serupa atau yang lebih baik dari itu. Karena dengan sendirinya dia telah menyalahi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memerintahkan untuk membalas salam orang yang memberi salam kepada kita (al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Al-Masaail, Masalah Kewajiban Membalas Salam).
Dari penjelasan di atas, lafadz “aslkm” bahkan “ass” dan singkatan yang sejenisnya bukan termasuk dalam kategori salam. Dan bagaimana lafadz-lafadz tersebut dapat disebut salam, sementara dalam lafadz tersebut tidak mengandung makna salam yaitu penghormatan dan do’a bagi penerima salam. Bahkan lafadz “ass”, dalam perbendaharaan kosa kata asing memiliki pengertian yang tidak sepantasnya, bahkan mengandung unsur penghinaan (wal ‘iyyadzubillah).
Adab Menulis Shalawat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia, yang artinya,“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai, orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”(Qs. Al-Ahzaab: 56)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Rasul-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di masa hidup maupun sepeninggal beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kedudukan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi-Nya dan membersihkan beliau dari tindakan atau pikiran jahat orang-orang yang berinteraksi dengan beliau.
Yang dimaksud shalawat Allah adalah puji-pujian-Nya kepada Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud shalawat para malaikat adalah do’a dan istighfar. Sedangkan yang dimaksud shalawat dari ummat beliau adalah do’a dan mengagungkan perintah beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitabBahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin Bab Shalawat Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Disunnahkan –sebagian ulama mewajibkannya– mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dengan ucapan: “shallallahu ‘alaihi wa sallam” (al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dalam sebuah riwayat dari Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang (apabila) namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal no. 1736, dengan sanad shahih)
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali mengatakan bahwa disunnahkan bagi para penulis agar menulis shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh, tidak disingkat (seperti SAW, penyingkatan dalam bahasa Indonesia – pent) setiap kali menulis nama beliau.
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat juga mengatakan dalam kitabSifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa disukai apabila seseorang menulis nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bershalawatlah dengan lisan dan tulisan.
Ketahuilah saudariku, shalawat ummat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bentuk dari sebuah do’a. Demikian pula dengan makna salam kita kepada sesama muslim. Dan do’a merupakan bagian dari ibadah. Dan tidaklah ibadah itu akan mendatangkan sesuatu selain pahala dari Allah Jalla wa ‘Ala. Maka apakah kita akan berlaku kikir dalam beribadah dengan menyingkat salam dan shalawat, terutama kepada kekasih Allah yang telah mengajarkan kita berbagai ilmu tentang dien ini?
READ MORE - Penulisan dan pengucapan salam serta shalawat yang benar

Sabtu, 18 April 2015

Bolehkan uban di kepala dicabut?

Banyak orang merass terganggu dengan mulai munculnya uban. Sehingga berusaha untuk menutupi dan mencat, bahkan mencabutnya.
Kita tahu bahwa semakin tua, maka akan mudah tumbuh uban. Itulah fase kehidupan sebagaimana disebutkan dalam ayat,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)
Kadang uban adalah suatu yang tidak kita sukai karena tanda tidak ayu dan menawan seperti muda. Mungkin karena ketidaktahuan kita, padahal uban adalah cahaya bagi setiap orang pada hari kiamat, begitu pula pada wanita. Disebutkan dalam hadits,
الشيب نور المؤمن لا يشيب رجل شيبة في الإسلام إلا كانت له بكل شيبة حسنة و رفع بها درجة
“Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban –walaupun sehelai- dalam Islam melainkan setiap ubannya akan dihitung sebagai suatu kebaikan dan akan meninggikan derajatnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Masya Allah … Ternyata yang beruban bisa mendapatkan keutamaan seperti itu.
Jika demikian adanya, maka uban janganlah dicabut. Lihatlah nasehat Rasul shallallahu ‘alaihi wa wa sallam dalam hadits dari Abu Hurairah, beliau bersabda,
لا تنتفوا الشيب فإنه نور يوم القيامة ومن شاب شيبة في الإسلام كتب له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة ورفع له بها درجة
Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Juga terdapat hadits dari Fudholah bin ‘Ubaid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَتْ نُورًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدَ ذَلِكَ فَإِنَّ رِجَالًا يَنْتِفُونَ الشَّيْبَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ فَلْيَنْتِفْ نُورَهُ
Barangsiapa memiliki uban di jalan Allah walaupun hanya sehelai, maka uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.” Kemudian ada seseorang yang berkata ketika disebutkan hal ini: “Orang-orang pada mencabut ubannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Siapa saja yang ingin, silakan dia memotong cahaya (baginya di hari kiamat).” (HR. Al Bazzar, At Thabrani dalam Al Kabir dan Al Awsath dari riwayat Ibnu Luhai’ah, namun perowi lainnya tsiqoh –terpercaya-. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Mengenai hukum mencabut uban disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al Majmu’,
“Mencabut ubat dimakruhkan berdasarkan hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. … Para ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa mencabut uban adalah makruh dan hal ini ditegaskan oleh Al Ghozali sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Al Baghowi dan selainnya mengatakan bahwa seandainya mau dikatakan haram karena adanya larangan tegas mengenai hal ini, maka ini juga benar dan tidak mustahil. Dan tidak ada bedanya antara mencabut uban yang ada di jenggot dan kepala (yaitu sama-sama terlarang). “
Hanya Allah yang memberi taufik bagi kita untuk mengamalkan setiap ilmu yang kita peroleh. Moga bermanfaat bagi kita sekalian.

READ MORE - Bolehkan uban di kepala dicabut?