Entah mengapa, istilah
ini ujug-ujug muncul sesaat bangun sahur di hari ke sebelas ramadhan.
Kita harus menjadi muslim transformer. Itulah kalimat yang muncul, tak
tersadari dari lisanku. Saat itu pun, sesungguhnya, hanya baru beberapa
menit saja mata ini terbuka. Bahkan, tubuhpun belum beranjak dari atas
ranjang tidur. Benak itu, berulang-ulang, mengajak diriku sendiri, untuk
menjadi seorang muslim transformer.
Tanpa berusaha keras untuk mencari tahu makna dibalik istilah itu, kemudian seperti biasa, keluar kamar dengan maksud untuk persiapan makan sahur. Istriku, sudah mempersiapkan tadi sore. Sehingga, persiapan sahur pun tidak terlalu ribet. Paling-paling, kalaupun mau dihangatkan, ya menghangatkan lauk pauknya semata. Itulah rutinitas pagi buta, di setiap sahur ramadhan.
Selepas
makan sahur, dan sambil menanti tibanya ibadah shalat subuh. Mulailah
menuliskan huruf demi kata, dan kata demi kalimat, mengenai muslim
transformer. Kita dituntut untuk menjadi seorang muslim transformer.
Inspirasi
utama dalam mewujudkan impian itu, tiada lain adalah dari pengalaman
kita dalam berpuasa. Puasa ramadhan, yang kita jalani selama satu bulan
penuh ini, merupakan momentum bagi kita, untuk melatih
diri, membina diri, mendidik diri, mendisiplinkan diri, dan melakukan
perubahan diri secara gradual atau menyeluruh aspek spiritual kita.
Bila dicermati dengan seksama, banyak aspek-aspek ramadhan, yang memiliki nilai pembiasaan. Bahkan, bisa jadi, ramadhan itu adalah bulan pembiasaan (it’s time of habitution). Ketidakpekaan jiwa selama ini, ketidakpedulian kita selama ini, dan keterasingan diri saat ini, dikoreksi total oleh ramadhan. Seorang muslim dituntut, ditantang, dan diajak untuk melakukan transformasi, mengubah diri dari masa lalu ke masa kini, untuk menggapai masa depan. Mengubah diri dari satu kondisi ke kondisi lain.
Misalnya, bila dirinya memang sudah mengikrarkan diri sebagai orang beriman, maka langkah berikutnya adalah dituntut untuk membuktikan keimanan itu dalam bentuk kesungguhan hati dalam menjalankan ibadah puasa. Karena, hanya mereka yang memiliki keimanan terhadap ajaran agama, dan perintah Tuhan itulah, yang menjalankan ibadah puasa. Dalam kaitan ini, seorang muslim harus mampu mentransformasikan dari keyakinan ke dalam perbuatan, dari keimanan pada keamalan.
Setiap muslim yang beriman, merasa yakin bahwa ibadah puasa itu wajib. Tiada seorang pun memiliki hak untuk membatalkan perintah Allah Swt. Aturan main atau pelaksanaannya, harus sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dalam Agama Islam, atau disebut dengan syari’. Tetapi, baik untuk mengawali ramadhan, dan atau mengakhirinya (ketentuan tanggal 1 syawal), secara fiqhiyyah sendiri memungkin adanya perbedaan. Untuk konteks Indonesia, fenomena inilah yang sering kali muncul ke permukaan. Dari tahun ke tahun, kita senantiasa dihadapkan pada adanya perbedaan penentuan awal ramadhan, dan awal bulan syawal (idul fitri).
Bila
kita tidak sadar diri, tidak peka pada hakikat keislaman, sudah tentu
hal-hal seperti ini, akan memudahkan kita mengalami konflik bathin atau
malahan konflik sosial. Tetapi, dengan adanya fenomena ramadhan seperti
ini pula, kita diajak untuk lahir menjadi seorang muslim yang
transformer, yaitu mentransformasikan diri sebagai muslim yang teguh
pada keyakinan, tetapi menghargai perbedaan. Perbedaan hasil ijtihad,
tidak perlu diartikan sebagai sebuah permusuhan. Perbedaan hasil
ijtihad, setidaknya selama ini, masih tetap dimaknai sebagai sebuah
kekayaan ilmu Islam. Itulah hakikat dari muslim transformer, yaitu
muslim yang teguh pada keyakinan, tetapi tetap menghargai perbedaan.
Kemudian, di tengah perjalanan dan diakhir perjalanan, seorang muslim pun dikondisikan untuk membiasakan mengeluarkan infaq shadaqah. Bahkan di akhir ramadhan, dia diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Kenyamanan dirinya bersahur dan berbuka puasa, serta kebahagiaan diri dan keluarganya menjelang ramadhan, serta merayakan hari kemenangan di idul fitri, perlu diimbangi pula dengan kemampuan untuk peduli pada sesama. Mengeluarkan infaq shadaqah, merupakan contoh dari amalan sosial. Dengan kata lain, di bulan ramadhan ini, seorang muslim diajak untuk mampu menampilkan diri secara aktif dan kreaif mengubah diri, dari muslim individualis ke individu yang peka sosial. Itulah transformasi dari amalan munfaridan ke amalan jama’i atau dari kesalehan individual ke kesalehan sosial.
Terkait
dengan mental pun, demikian adanya. Untuk menjadi orang yang peka dan
peduli pada sesama, seorang muslim yang perpuasa dikondisikan terlebih
dahulu untuk merasakan, menikmati dan menjalami proses lapar dan kelaparan.
Renungkan sejenak. Seorang muslim ini, merasakan dua kondisi, yaitu lapar dan kelaparan. Lapar adalah kondisi tubuh yang merasakan kekurangan asupan makanan. Semua orang atau makhluk hidup, akan merasakan lapar. Tumbuhan yang tidak di siram atau tidak dipupuk, akan merasakan lapar. Hewan yang tidak dikasih makan, juga akan merasakan lapar. Begitu pula manusia. seorang muslim yang berpuasa, di siang harinya, potensial merasakan lapar.
Berbeda dengan kelaparan. Kalau lapar adalah kondisi alamiah, sedangkan kelaparan itu adalah kondisi ketidakberdayaan. Tumbuhan
yang kelaparan, karena tidak mendapatkan kesempatan mendapatkan air
atau nutrisi tanaman. Hewan yang kelaparan, karena dia tidak mendapatkan
kesempatan mengkonsumsi makanan. Seperti itulah yang dirasakan oleh
orang yang kurang beruntung. Masyarakat miskin, atau yang kurang
beruntung (faqir miskin) bukan saja merasakan lapar, tetapi
juga kelaparan. Mereka merasakan kelaparan, karena tidak memiliki daya
atau kekuatan untuk memenuhi rasa lapar tersebut.
Kalau seorang muslim yang sedang berpuasa, sesungguhnya hanya merasa lapar saja. Dia tidak kelaparan. Karena, orang yang berpuasa itu, dia tahu dan memiliki optimisme selepas bedug maghrib akan mampu memuaskan kebutuhan biologisnya. Sementara orang papa, dia tidak yakin dan tidak memiliki peluang yang leluasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia memiliki serba keterbatasan. Itulah kelaparan.
Pada
konteks itulah, puasa ramadhan, membangun kesadaran pada seorang muslim,
dari merasakan lapar untuk bersikap peka peduli pada orang yang
sedang mengalami kelaparan. Dari berpuasa itu, seorang muslim,
disadarkan atau tersadarkan mengenai umat manusia di luar dirinya. Dia
tahu rasanya lapar, dan dia pun dituntut peka dan peduli pada orang yang
kelaparan.
Hemat kata, melalui puasa, sesunggunya kita dituntut untuk mentransformasikan rasa lapar ini ke dalam bentuk kepedulian kepada sesama yang mengalami kelaparan. Itulah pendidikan mental sosial melalui puasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar