Kata jahiliyah adalah sebuah kata yang sudah sangat populer di kalangan umat Islam. Kata jahiliyah dipahami sebagai suatu masa sebelum kemunculan Islam; merupakan masa yang penuh dengan kegelapan, kebodohan, serta jauh dari peradaban. Agaknya, mengartikan jahiliyah dengan pengertian di atas tidaklah seluruhnya salah. Karena jahiliyah secara harfiyah memang berarti kebodohan. Akan tetapi, menyebut bangsa Arab sebelum Islam sebagai bangsa yang bodoh dan jauh dari peradaban juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, sejarah mengakui bahwa pada masa sebelum kemunculan Islam, bangsa Arab merupakan bangsa yang sangat maju dalam seni berbahasa. Bahkan, semenjak masa sebelum Islam sampai sekarang, tidak ada satupun bangsa di dunia ini, yang bisa menyamai kemampuan seni berbahasa bangsa Arab. Oleh karena itulah, al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar, yang salah satunya dari segi keindahan bahasanya.
Akan tetapi, jika kita mencermati kata jahiliyah di dalam al-Qur’an, kita akan menemukan makna jahiliyah lebih kepada arti sikap-sikap hidup yang negative. Dan jahiliyah tidak hanya terbatas kepada masa sebelum kemunculan Islam, akan tetepai bersifat umum; kapanpun dan di manapun asalkan sikap-sikap itu dimiliki sebuah masyarakat, maka sebutan masyarakat jahiliyah layak di sandang mereka. Ada empat kali kata jahiliyah disebutkan di dalam al-Qur’an;
Pertama, surat Ali ‘Imran [3]: 154
“…sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah….”
Dalam ayat di atas, kata jahiliyah menunjukan sikap hidup berupa buruk sangka dan penuh kecurigaan. Begitulah salah satu sikap hidup yang dimiliki masyarakat Arab sebelum kelahiran Islam. Mereka hidup dengan saling curiga, saling mencari aib, kekurangan orang lain dan jauh dari rasa saling menghargai. Mereka lebih senang memiliki banyak musuh daripada banyak kawan. Sehingga, salah satu ajaran pokok al-Qur’an adalah menghilangkan rasa buruk sangka dan curiga kepada orang lain (Q.S. al-Hujurat [49]: 12).
Jika kita cermati bangsa kita, ternyata sikap ini sudah sangat melekat dalam budaya anak bangsa ini. Di mana saling curiga dan cari kesalahan adalah hal yang sudah begitu dekat dengan kehidupan kita. Rakyat yang selalu curiga kepada pemimpin, para pemimpin dan elit bangsa sendiri yang saling curiga dan saling cari kesalahan, saling mencari kambing hitam atas sebuh musibah, hanya bisa menunjukan kekurangan orang lain, namun tidak bisa memberikan masukan, hanya bisa mengkritik tetapi tidak bisa memberikan solusi. Begitulah bentuk jahiliyah pada abad modern yang dipertontontakn bangsa ini.
Kedua, surat al-maidah [5]: 50
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki,…”
Ayat di atas, membicarakan jahiliyah dalam makna hukum; di mana berlaku hukum di tengah masyarakat Arab sebelum Islam, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menindas yang miskin, yang banyak menindas yang sedekit dan seterusnya. Tidak ada belas kasih dan sikap mendahulukan kepentingan orang lain. Sehingga, ajaran moral yang terpenting di dalam al-Qur’an adalah berbuat ihsan “mendahulukan kepentingan dan kebahagian orang lain” (QS. An-Nahl [16]: 90).
Jika kita jujur mencermati bangsa ini, ternyata pola hukum jahiliyah juga menjadi ciri kehidupan bangsa ini. Masih hangat dalam ingatan kita ketika seorang nenek mencuri tiga biji kopi berakhir dengan penjara satu bulan lima belas hari, dua orang pria mencuri semangka karena haus dan lapar berhadapan dengan elit penguasa dan penjara sampai lima tahun, tregedi Pasuruan 15 September 2008 dua tahun yang lalu, zakat yang berujung maut, 21 orang tewas dan belasan lain dirawat di rumah sakit, memperlihatkan betapa anak bangsa ini tidak lagi memperhatikan kebaikan dan kemashlahatan orang lain. Mereka bersedia menginjak dan membunuh sesama hanya untuk mendapat 30.000 rupiah. Mereka hanya melihat diri mereka, tanpa memperhatikan orang lain, sehingga yang kuat menindas dan menginjak yang lemah. Lihat; betapa korban yang meninggal dan terinjak adalah para wanita dan orang tua. Orang yang kuat tidak lagi membantu yang lemah, tetapi malah mnginjak dan membunuh mereka. Andai saja budaya antri dan mau di atur sudah menjadi bagian dari budaya bangsa ini, tentulah insiden seperti itu tidak akan terjadi. Belum lagi para wakil rakyat yang heboh minta jatah dan anggaran, para penguasa yang tidak peduli terhadap jeritan dan tangisan rakyat. Inilah gambaran hukum jahiliyah yang dipertunjukan bangsa ini.
Ketiga, al-Ahzab[33]: 33
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu…”.
Kata jahiliyah dalam ayat di atas menjukan sikap hidup negatif yang pernah dipertunjukan wanita jahiliyah, berupa cara berpakian dan berpenampilan. Kata tabarruj, secara harfiyah berasal dari kata buruj/baraj, yang berarti benteng/tower. Benteng/tower dinamakan buruj karena, letaknya yang tinggi, sehingga jika kita memandang dari kejauhan yang pertama terlihat adalah benteng/tower yang ada di tempat tersebut. Tabarruj artinya menjadi fokous pandangan dan perhatian orang banyak.
Dahulu, Wanita jahiliyah berpakaian sangat “norak”, hiasan yang mencolok serta tampilan lain yang pada akhirnya menjadi objek pandangan mata manusia. Oleh karena itu, tidaklah salah jika pada masa sebelum Islam, wanita tidak dihargai dan mendapatkan pelecehan seksual dari kaum lelaki. Oleh karena itulah, di antara ajaran moral dalam Islam adalah bagaimana mansuia khususnya para wanita seharusnya berpakaian, menjaga mata dan nafsu seks (QS. An-Nur [24]: 31)
Akan tetapi, pemandangan yang sama juga dengan mudah ditemukan hari ini. Para wanita muslimah – katanya - menampilkan pakaian yang sangat minim, tipis, sempit, dengan berbagai macam bentuk perhiasan dan kosmetik, sehingga penampilan para wanita sekarang betul-betul menjadi objek yang menghibur mata lelaki. Oleh karena itu, mall-mall di mana-mana dipadati para remaja dan anak muda bukan untuk berbelanja, tetapai hanya untuk “cuci mata”- meminjam istilah anak muda sekarang-, karena di sana akan dengan mudah di temukan para wanita yang menampilkan kecantikan tubuh mereka melalui balutan busana minim.
Keempat, surat al-Fath [48]: 26
“Ketika orang-orang yang tidak beriman menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah…”
Kata jahiliyah dalam ayat di atas, menunjukan makna keangkuhan, kesombongan, mudah tersinggung, pendendam, pemarah, serta jauh dari sikap lemah lembut. Oleh karena itulah, al-Qur’an mengajarkan bagaimana supaya manusia menjadi makluk pemaaf dan tidak mengingat kesalahan orang lain. (al-Ma’idah [5]: 12).
Sikap jahiliyah ini juga menjadi bagian dari cirri kehidupan bangsa ini, betapa bangsa ini sangat dekat dengan pola kehidupan yang penuh kekerasan, perkelahian dan kesadisan. Bangsa ini sudah sangat jauh dari sifat pemaaf. Adalah persoalan kecil sangat sering memunculkan pekelahian massal, perekelahian antar nagari dan antar kampung, tawuran antar pelajar, mahasiswa, rakyat jelata dengan aparat penegak hukum sperti satpol PP, Polisi dan TNI, sesama penegak hukum seperti polisi dengan TNI, tidak terkeculai anggota DPR di Senayan bahkan di daerah yang katanya merupakan kelompok elit dari bangsa ini yang berperan sebagai duta rakyat. “Main sikut” dan “gontok-gontokan” adalah ciri khas bangsa ini.
Demikianlah sepintas interpertasi tematik makna jahiliyah. Jahiliyyah bukan hanya berarti bodoh, tapi juga bermakna sombong, membuat orang lain resah, tidak peduli kepada orang-orang miskin, dan hidup slalu mementingkan diri sendiri. Sampai kapan kita akan menjadi bangsa Jahiliyah? Apakah kita akan menunggu datangnya nabi kembali? Yang pasti jawaban tentu tidak, sebab kenabian sudah berakhir. Bangsa ini hanya bisa meninggalkan tradisi jahiliyahnya, jika semua memiliki niat yang sama untuk mau berubah. Perubahn harus dilakukan secara kolektif dan universal. Wallahu a’lam Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar