marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Kamis, 02 Desember 2010

Opini Jum’at Oleh : Robi Kurniawan, MA Dosen&Muballigh Batam Penghuni Neraka Saqar 27. Tahukah kamu apakah (neraka) Saqar itu? 28. Saqar i

27. Tahukah kamu apakah (neraka) Saqar itu? 28. Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan (Yang dimaksud dengan tidak meninggalkan dan tidak membiarkan ialah apa yang dilemparkan ke dalam neraka itu diazabnya sampai binasa kemudian dikembalikannya sebagai semula untuk diazab kembali.29. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. 30. Dan di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).
(Al Mudatstsir:74:27-30)
Dalam al-Qur’an disebutkan, bahwa di akhirat nanti manusia terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, disebut ashhâb al-yamîn atau al-maimanah (golongan kanan). Kedua, disebut ashhâb asy-syimâl atau al-masy’amah (golongan kiri). Golongan kanan adalah kelompok manusia yang memperoleh keridhaan Tuhan dan sorga-Nya, dengan berbagai macam bentuk, tingkat dan derajatnya. Sementara golongan kiri, adalah kelompok manusia yang mendapatkan kemurkaan, amarah dan siksa Tuhan serta neraka dengan berbagai macam bentuk dan tingkatnya yang akan menjadi tempat kediaman mereka. Allah swt menyebutkan, bahwa di akhirat nanti penduduk sorga berkesempatan mengunjungi penduduk nereka, dan berdialog dengan penghuninya. Di antaranya, Allah swt sebutkan dalam surat al-Mudatstsir [74]: 40-47.
“Berada di dalam syurga, mereka tanya menanya (40), Tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa (41), "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"(42), Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat (43), Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin (44), Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya (45), Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan (46), Hingga datang kepada kami kematian (47).”
Dalam ayat tersebut Allah ceritakan, bahwa penduduk sorga bertanya kepada penghuni neraka Saqar, tentang sebab mereka berada di dalamnya. Penghuni neraka saqar menjawab, bahwa yang membuat mereka menjadi penghuni neraka Saqar tersebut ada empat hal. Yaitu
1. Kami dahulu tidak termasuk orang yang mengerjakan shalat (Q.S. al-Mudatstsir ayat 43).
Shalat merupakan sebab utama dan pertama yang menyebabkan manusia bisa masuk sorga atau neraka. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa “Amal pertama yang akan diperiksa Allah swt di akhirat nanti adalah shalat, jika shalatnya baik maka baiklah semua amalnya, namun jika shalatnya jelek maka jeleklah semua amalnya”. Sehingga sangat wajar jika dikatakan Nabi saw, bahwa “Shalat itu adalah tiang agama”. Dan bahkan Nabi menegaskan untuk memerintahkan atau mengajarkan shalat kepada anak-anak berusia enam tahun. Jika sudah berusia sepuluh tahun tidak melakukan shalat maka memberikan sanksi dengan cara memukul dan tidak menyakitkan.
Penghuni neraka tentu bukan umat Muhammad saw yang tidak shalat saja, melainkan seluruh manusia yang tidak shalat, mulai dari manusia pertama sampai manusia terakhir. Dengan demikian, shalat pada prinsipnya sudah menjadi ibadah pokok setiap umat pada setiap masa dan periode, namun tentu berbeda dalam bentuk dan tata caranya. Sebagai bukti bahwa shalat sudah dijalankan oleh umat terdahulu, ketika nabi Muhammad saw turun dari langit pada peristiwa isra’ mi’raj membawa perintah shalat dari Allah swt sebanyak 50 kali sehari semalam, beberapa kali beliau dicegat oleh nabi Musa as. yang prinsipnya meminta beliau untuk naik kembali menemui Tuhan supaya beban itu dikurangi. Alasan nabi Musa as. adalah bahwa umat Muhammmad saw tidak akan mampu melaksanakannya, karena dahulu umatnya bani Israel yang secara fisik sangat kuat, tidak mampu melaksanakan perintah shalat yang sebanyak itu.
Dalam al-Qur’an juga diceritakan bahwa nabi Sulaiaman as. pernah lalai melaksanakan shalat ‘Ashar, kerena sibuk mengurus kudanya yang cantik. Untuk menebus kelalaiannya itu, dia kemudian melepaskan kuda tersebut dan tidak pernah lagi memiliki kuda sebagai peliharaan ( Q.S. Shad [38]: 32-34) 32. maka ia berkata: "Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan.". 33. "Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku." Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu. 34. Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat
2. Kami tidak termasuk orang yang memberi makan orang miskin (Q.S. al-Mudatstsir ayat 44).
Penyebab masuk neraka Saqar kedua adalah tidak memiliki kepedulian terhadap penderitaan orang lain, seperti memberi makan orang miskin. Di sinilah letak keagungan ajaran Islam, bahwa sekalipun seseorang dinilai shalih secara individual, seperti rajin shalat, puasa, dan berbagai ibadah lainnya, namun tidak memiliki kepedulian sosial atau dalam istilah sekarang disebut kesalihan sosial, belum menjadi jaminan seseorang memperoleh sorga Tuhan.
Oleh karena itu, kesalehan individual harus sama dengan kesalehan sosial. Itulah yang dikatakan Allah swt, bahwa penyebab manusia mendapat murka Allah swt dan jauh dari kasih sayang-Nya, adalah ketidakpedulian terhadap orang miskin Q.S al-Ma’un [107]: 1-3). 1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Dan itu juga sebabnya, kenapa salah satu manusia yang dicap celaka adalah yang lalai tentang shalatnya (Q.S. al-Ma’un [107]: 4-6). 4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6. orang-orang yang berbuat riya (Riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat)
Maksud lalai di situ adalah lalai terhadap penghayatan akan makna shalat yang dilaksanakannya. Sebab, ibadah mahdhah apapun bentuknya yang dilakukan manusia seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, selalu memiliki makna vertikal yaitu hubungan dengan Allah swt, dan makna horizontal yaitu hubungan dengan sesama manusia. Misalnya, shalat dimulai dengan takbir, mengagungkan Allah swt sebagai bentuk hubungan vertikal, namun akhir shalat adalah salam; mendo’kan orang lain di sekitar kita.
Puasa juga seperti itu, walaupun ia bertujuan mendekatkan diri kepada Allah swt, namun dalam pelaksanaannya adalah menahan haus dan lapar yang kemudian berinplikasi kepada munculnya rasa empati dan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang miskin. Akhir puasa di tandai dengan pembayaran zakat yang merupakan bentuk nyata kepedulian sosial. Begitulah seterusnya, bahwa semua ibadah yang dikerjakan manusia akan selalau memiliki dua dimensi; dimensi ilâhiyah dan dimensi insâniyah.
3. Dahulu kami termasuk orang yang mengatakan perkataan yang jelek dan tercemar bersama orang yang membicarakannya.(Q.S. al-Mudatstsir ayat 45)
Penyebab ketiga yang menjadikan manusia penghuni neraka Saqar, adalah ikut dalam pembicaraan yang tercemar. Kata al-Khaudh secara harfiyah berarti rusak, tercemar atau buruk. Namun, dalam al-Qur’an terdapat tiga bentuk perkataan yang disebut al-khaudh (tercemar).
Pertama, mengatakan Allah swt punya anak (Q.S. az-Zukhruf [43]: 81-83). 81. Katakanlah, jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu). 82. Maha Suci Tuhan Yang empunya langit dan bumi, Tuhan Yang empunya 'Arsy, dari apa yang mereka sifatkan itu. 83. Maka biarlah mereka tenggelam (dalam kesesatan) dan bermain-main sampai mereka menemui hari yang dijanjikan kepada mereka.
Kedua, mengatakan bahwa tidak ada kitab suci yang diturunkan kepada para Nabi (Q.S. al-An’am [6]: 10. 10. Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokan mereka.
Dan ketiga, mempermainkan ayat-ayat al-Qur’an (Q.S. an-Nisa’[4]: 140. 140. Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kata tercemar atau kata kotor (al-khaudh) yang menyebabkan manusia menjadi penghuni neraka saqar adalah menyepelekan ajaran agama, meremehkan serta mempermainkan ayat-ayat Allah swt. Sekarang, banyak pemahaman dalam Islam yang dianggap “nyeleneh” seperti yang dilontarkan saudara-saudara kita dari kelompok-kelompok atau komunitas tertentu. Apakah hal itu termasuk al-khaudh yang akan membawa pelakunya ke dalam neraka Saqar? Wallâhu a’lam.
4. Kami dulu mendustakan hari pembalasan (Q.S. al-Mudatstsir ayat 46)
Penyebab keempat manusia menjadi penghuni saqar, adalah tidak meyakini hari akhirat dan adanya pembalasan. Tidak meyakini bukan saja berarti tidak percaya akan keberadaanya, seperti yang diyakini orang-orang kafir. Akan tetapi, seorang yang percaya akan keberadaannya, namun tidak mempersiapkan diri menghadapinya dengan melakukan amal-amal shalih, juga termasuk orang yang mendustakan hari pembalasan. Semoga bermanfaat
READ MORE - Opini Jum’at Oleh : Robi Kurniawan, MA Dosen&Muballigh Batam Penghuni Neraka Saqar 27. Tahukah kamu apakah (neraka) Saqar itu? 28. Saqar i

Kamis, 25 November 2010

Menjadi Guru Yang Ideal Menurut Alquran

Sehubungan dengan peringatan 25 November yang merupakan hari guru atau PGRI maka tulisan ini bermaksud menjelaskan perspektif islam tentang guru yang ideal.
Kata guru adalah salah satu kata yang sangat populer dan sering diucapakan manusia, walaupun dengan bahasa yang beragam. Karena, kebutuhan akan keberadaan guru adalah sangat penting bagi manuisa. Tidak akan ada peradaban di bumi ini, tanpa keberadaan sosok guru. Itulah sebabnya, sebelum nabi Adam diturunkan ke bumi dan membangun peradaban, terlebih dahulu dia belajar kepada Allah swt. sebagai “Guru” pertama. Seperti yangdisebutkan dalam surta al-Baqarah [2]: 31
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
Dalam setiap proses pembelajaran, selalu ada dua pihak yang terlibat secara langsung; yaitu guru dan murid. Oleh karena itulah, proses yang dilakukan keduanya disebut belajar dan mengajar atau sering disingkat dengan PBM. Jika salah satu dari keduanya tidak ada, maka proses belajar dan mengajar tidak akan terjadi. Selanjutnya, jika salah satu dari keduanya tidak memenuhi persyaratan yang dituntut dari keduanya, maka sekalipun prosesnya terjadi namun hasilnya tidak akan dicapai secara maksimal.
Dengan demikian, demi tercapainya hasil proses belajar dan mengajar dengan baik dan sempurna, maka perlu kedua pihak yang terlibat langsung memposisikan diri sebagaima mestinya. Dalam bahasa yang sederhana bisa dikatakan, bahwa demi tercapainya hasil terbaik dan maksimal dalam proses belajar dan mengajar maka dibutuhkan guru yang idel dan murid yang ideal.
terdapat empat surat di dalam al-Qur’an yang membicarakan tipe seorang guru yang ideal dalam mendidik. Ideal dalam kemampuan, sikap, metode dan sebagainya. Surat-surat tersebut adalah;
Pertama, surat al-‘Alaq [98]: 1-5 yang merupakan wahyu pertama diturunkan kepada Rasulullah. Dalam ayat ini Allah menyebutkan Dzat-Nya sebagai pengajar manusia.
Kedua, surat an-naml [27]: 15-44, di mana dalam surat ini Allah menceritakan sikap nabi Sulaiamn yang memilki ilmu yang luas terhadap bawahanya, yang sekaligus juga murid-muridnya.
Ketiga, surat ‘Abasa [86] 1-16, di mana dalam surat ini Allah menceritakan sikap nabi Muhammad saw. terhadap seorang muridnya yang bernama Abdullah Ummi Maktum. Ayat ini menyatakan teguran kepada nabi Muhammad agar bersikap proporsional sebagai seorang guru.


Adapun guru yang ideal menurut ayat 1-5 surat al-‘Alaq adalah;
Pertama, Seorang guru mestilah memiliki ilmu dan wawasan yang luas. Sebab, bagaimana mungkin kita akan mencapai hasil yang maksimal dalam mendidik dan menagajar, jika kualitas dan sumber daya gurunya sangat minim dan terbatas. Itulah sebabnya, Allah yang menyebutkan Dzat-Nya sebagai Pengajar manusia yang mengajarkan apa yang belum diketahuinya. Seperti dalam surat al-‘Alaq ayat 5
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Oleh karena itu, idealnya seorang guru adalah orang yang dituntut untuk selalu mampu menciptakan sesuatu yang baru. Baik dalam hal materi pembalajaran maupun metode dan caranya. Sehingga, pengajaran tidak bersifat statis dan selalu bergerak ke arah kemajuan. Tentu para guru dalam hal ini dituntut untuk selalu menambah wawasannya, yang bisa saja dilakukan melalui berbagai cara, seperti pendidikan formal, pelatihan, banyak membaca, banyak mendengar berdiskusi dan sebagainya. Memang begitulah pesan Allah kepada setiap manusia yang berada dalam dunia pendidikan, supaya mereka menjadi Insan Rababni. Seperti yang disebutkan dalam surat ‘Ali Imran [3]: 79
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
Kedua, Seorang guru mestilah mampu mendorong dan memberikan motivasi kepada semua muridnya untuk selalu aktif dan kreatif. Seorang guru idealnya adalah tidak memaksa muridnya untuk belajar, namun lebih kepada pemberian motivasi dan rangsangan. Itulah sebabnya, kata iqra’ (bacalah) diulang dua kali dalam surat al-‘Alaq ayat 1 dan 3.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3).”
Dan pada perintah membaca kedua, Allah menjanjikan kemulain-Nya yang tercurah bagi yang aktif membaca. Begitulah bentuk motivasi seorang guru kepada muridnya, agar mereka aktif dan kreatif.
Ketiga, seorang guru yang ideal tidak hanya mampu menyuruh dan mengajak muridnya untuk aktif membaca, namun juga mampu mengimbanginya dengan kemampuan menulis. Itulah yang disebutkan dalam surat al-‘Alaq ayat 4
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.”
Ilmu yang sudah dikuasai, jika tidak ditulis biasanya dengan mudah akan hilang dan lenyap dari ingatan. Ibarat hewan, jika jika masih dibiarkan lepas tanpa ikatan, tentu dia akan mudah pergi dan meninggalkan pemiliknya. Begitulah salah satu sifat ilmu, yang juga menuntut ikatan. Dan ikatan ilmu adalah ketika ia ditulis dalam lembaran kertas.
Selanjutnya, sikap guru yang ideal menurut surat an-Naml [27]: 15-44 adalah;
Pertama, Seorang guru harus menyadari bahwa dia adalah seorang yang memiliki ilmu, sehingga memiliki tanggung tanggung jawab moral terhadap ilmu yang dimilikinya untuk menyebarluaskan dan mengajarkannya kepada manusia. Hendalak setiap guru berkeingianan untuk menjadikan anak didiknya seperti dirinya atau melebihi dirinya. Itulah yang ditunjukan oleh nabi Sulaiman as. dalam ayat 16.
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata.”
Nabi Sulaiman menyadari sepenuhnya akan ilmu yang dimilikinya dan bahwa itu adalah karunia Tuhan kepadanya. Oleh Karena itu, dia memberitahukan kepada manusia pengetahuannya dengan maksud sekiranya manusia juga berkeinginan untuk belajar dan menimba ilmu darinya. Minimal dia mengatakan hal yang demikian agar tidak terkesan kalau dia menutupi ilmu yang diberikan kepadanya.
Begitulah tanggung jawab seorang alim terhadap ilmunya. Dia harus sadar akan pengetahuan yang dimilikinya dan tidak boleh menutupi ilmu tersebut dari orang lain yang ingin mengetahuinya. Serta memiliki tanggung jawab moral terhadap ilmu tersebut dalam bentuk mengajarkannya kepada orang lain.
Dalam pandangan ilmu filsafat manusia terbagi kepada empat macam. Pertama, orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Kedua, orang yang tidak tahu bahwa dia tahu. Ketiga, orang yang tahu bahwa dia tidak tahu. Dan keempat, orang yang tahu bahwa dia tahu. Dua kelompok pertama adalah manusia yang sangat buruk, sedangkan dua terakhir adalah manusia yang baik dan yang terbaik adalah kelompok terakhir.
Kedua, seorang guru meskipun dipahami orang banyak sebagai orang alim yang memiliki ilmu yang berbeda dengan orang awam. Namun, hendaklah setiap guru menyadari bahwa betapa banyak dan luas pengetahuannya, masih banyak yang belum diketahui dan mungkin saja pengetahuan itu ada pada orang lain yang kedudukannya lebih rendah daripadanya. Sehingga, sikap yang demikian akan mengantarkan seseorang memiliki sikap tawadhu’ dan menghargai orang lain, serta mau belajar kepada yang lain sekalipun kedudukannya lebih rendah darinya, termasuk muridnya sekalipun. Sikap itulah yang ditunjukan nabi Sulaiman as. dalam ayat 22-23.
“Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini (22). Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar (23).”
Pada ayat sebelumnya, nabi Sulaiaman as. telah mengatakan bahwa dia telah diajarkan ilmu yang banyak, diberikan kekuasaan yang sempurna bahkan mampu memahami bahasa makhluk lain selain mamnusia. Akan tetapi, salah seorang tentaranya; burung hud-hud dengan lantang mengatakan “…Aku mengetahui apa yang belum engkau ketahui…”. Hal itu membuktikan bahwa tidak semuanya yang dapat diketahui manusia, bahkan oleh seorang nabi yang diberi wahyu sekalipun karena ada hal-hal tertentu yang dia tidak mengetahuinya. Itulah yang ditegasklam Allah dalam surat al-Isra’ [17]: 85
: “…dan tidaklah kamu diberi ilmu kecuali sangat sedikit sekali.”
Ketiga, Seorang guru secara pasti memiliki pengetahuan melebihi muridnya, akan tetapi dia semestinya tetap memberikan kesempatan dan penghargaan kepada para muridnya untuk ikut aktif dalam mengaktualkan diri dan kemampuan mereka. Itulah hal yang ditunjukan oleh nabi Sulaiman as. sebagai guru yang memiliki ilmu yang luas, di dimana dia memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengangkat istana ratu Balqis dari Yaman ke Palestina, sekalipun dia sendiri mampu dan sangat mampu untuk melakukan itu. Begitulah isyarat yang terdapat dalam ayat 38-40
“Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri(38). Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya(39). Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia(40)”.
Begitulah cara guru dalam mengahdapi muridnya, yaitu memberikan kesemapatan dan penghargaan kepada siapa saja yang memiliki kemampun untuk malakukan sesuatu dan menunjukan kemampuannya. Sehingga, pembelajaran tidak menjadi dominasi guru, sementara murid hanya duduk dan diam mendengarkan uraiangurunya (“mancawan” bahasa kitanya). Dengan cara begitu, para murid merasa dihargai dan akan termotivasi untuk besaing dan lebih maju.
Surat ‘Abasa [80]: 1-16 juga menceritakan bentuk dan tipe guru yang ideal.
Surat yang turun untuk menegur Rasulullah saw ketika beliau bermuka masam terhadap seorang sahabat yang buta bernama Abdullah ibn Ummi Muktum. Dia adalah seorang sahabat yang cacat yaitu matanya buta, namun terkenal sebagai sahabat yang rajin belajar kepada Rasulullah dan banyak bertanya tentang wahyu dan berbagai ajaran Islam.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah sedang sibuk dan serius menghadapi dan mengajarkan Islam kepada beberapa tokoh Quraisy yang diharapakan Rasul saw keislaman mereka. Sebab, dalam perhitungan beliau jika tokoh-tokoh ini memeluk Islam diperkirakan akan mempercepat perkembangan Islam di Jazirah Arab.
Di saat Rasulullah saw sedang berbincang dan mengajarkan Islam kepada mereka, datanglah Abdullah ibn Ummi Maktum menyela pembicaraan Rasulullah saw. Dia meminta supaya diajarkan apa yang telah diajarkan Allah kepada Rasulnya. Hal ini dilakukan berkali-kali sehingga membuat Rasulullah saw merasa terusik dan jengkel. Hal itu kelihatan dari raut muka beliau yang masam - walaupun tidak sampai menghardiknya- serta mengabaikan Abdullah bin Ummi Maktum. Maka Allah swt menurunkan surat ‘Abasa [80]: 1-16.
Adapun sikap guru yang semestinya menurut ayat di atas adalah;
Pertama, Seorang guru tidak boleh memperlihatkan penampilan yang kurang responsif terhadap muridnya, apalagi bermuka kusut dan masam. Sebesar apapun persoalan di “luar sana” seorang guru tidak boleh membawanya ke dalam kelas apalagi melampiaskannya terhadap murid. Kalaupun seorang murid melakukan hal yang kurang berkenan, maka sedapat mungkin wajah atau air muka yang masam apalagi dilingkupi kemarahan dan kebencian harus dihindari. Sebab, proses belajar dan mengajar menuntut terciptanya hubungan batin dan emosional yang baik anatra guru dan murid. Jika ini tidak tercipta maka dipastikan ilmu tidak akan bisa diberikan dengan sempurna atau murid tidak bisa menyerapnya dengan baik. Inilah yang digambarkan dalam ayat 1-2 surat ‘Abasa.
“Dia bermuka masam. Karena telah datang kepadanya seorang yang buta
Kedua, Seorang guru harus memberikan penghargaan yang sama terhadap muridnya. Seorang guru tidak boleh membedakan perlakuan dan perhatian terhadap murid-muridnya. Hal ini tergambar dari ayat 5-6, bahwa saat itu Rasulullah saw sangat serius menghadapi pera pemuka Quraisy sementara Abdullah ibn Ummi Maktum adalah seorang sahabat yang buta- walaupun Rasulullah saw. tidak pernah membedakan manusia- sehingga beliau sedikit mengabaikannya.
“Adapun orang yang merasa tidak butuh (5) Maka engkau terhadapnya melayani (6).”
Dengan demikian, guru harus berlaku sama terhadap seluruh muridnya, sehingga tidak ada di antara muridnya yang merasa iri atau dengki kepada murid lain atau bahkan membenci gurunya karena dinilai kurang adil kepada sesama mereka. Bila ini terjadi, maka dikhawatirkan proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan bagus.
Ketiga, Seorang guru harus mengajarkan hal-hal yang berguna bagi muridnya, baik untuk dunia maupun akhirat. Seorang guru jangan mengajar sesuatu yang merugikan muridnya, apalagi mengajarkan sesuatu yang akan mencelakakannya. Sebab, guru adalah “idola” kedua bagi murid setelah orang tua mereka. Murid pasti meyakini bahwa yang diajarkan gurunya adalah sesutau yang mesti diikuti. Itulah yang digambarkan dalam ayat 3-4 surat ‘Abasa.
“Apakah yang menjadikanmu mengetahui- boleh jadi ia ingin membersihkan diri (3) Atau mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu (4).”
Keempat, Seorang guru tidak hanya dituntut mengajarkan sesuatu yang berguna, tetapi juga yang berupaya membawa mereka mengenal dan takut pada Tuhannya. Banyak ilmu yang bermanfaat, tetapi malah semakin menjauhkan seseorang dari Tuhannya. Oleh karena itu, tugas seorang guru adalah bagaimana memadukan ilmu yang diajarkan kepada muridnya dengan akidah yang mereka yakini sebagai kebenaran. Sehingga ilmu yang mereka pelajari tidak hanya bertujuan untuk pengisi otak tetapi juga sebagai makanan hati, jiwa, atau rohani. Yang pada akhirnya akan muncul generasi yang mampu memadukan antara ilmu dan amal shalih. Inilah yang dimaksudkan dalam ayat 8-9 surat ‘Abasa.
“Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera (8) Sedang ia takut”.
Itulah hikmahnya, kenapa Allah ketika memerintahkan membaca dalam wahyu pertama dikaitkan dengan kata “nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu”. Sehingga, proses belajar; membaca dan menulis dan berfikir tidak terlepas dari motivasi ibadah dan demi menemukan kebesaran Allah serta untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Semoga, kita dijadikan Allah swt. sebagai tipe guru yang ideal. Ideal di hadapan manusia juga ideal di hadapan-Nya. Wallahu A’lam
READ MORE - Menjadi Guru Yang Ideal Menurut Alquran

Senin, 22 November 2010

Artikulasi Kurban dalam Kehidupan

Jeritan dan tangisan saudara kita terdengar nyaring dan menyayat-nyayat, seakan-akan ingin membuka tirai tebal yang selama ini menutup hati kaum muslimin dan bangsa Indonesia. Jeritan saudara kita di berbagai daerah yang tertimpa bencana alam dan bencana sosial politik yang memilukan. Bencana tersebut menambah beban berat kaum Muslimin dan bangsa ini yang selama beberapa tahun terakhir dilanda krisis berkepanjangan. Krisis moneter, krisis ekonomi, krisis politik dan krisis moral yang merupakan pangkal awal penyebabnya. Belum lagi antrian panjang rakyat miskin yang rela berdesakan bahkan ada yang sampai pingsan mengantri sepotong daging qurban. Apa dan siapa yang disalahkan tidak jelas. Kondisi seperti ini masih terasakan sampai pada detik-detik hari raya Îd al-Adhha tahun 1431 H kali ini.
Îd al-Adhha juga disebut dengan nama hari raya Qurban. ‘Adhha secara harfiyah berarti menyembelih hewan tertentu. Sementara qurban berarti pendekatan yang sempurna kepada Allah. Makna sempurna dipahami dari bentuk kata qurban yang merupakan bentuk kata benda (mashdar) kata qaraba yang berarti dekat. Kata ini satu pola dengan kata Qur’an yang berarti bacaan yang paling sempurna, berasal dari kata qara’ a (membaca). Sehingga, ‘Id al-Adhha yang padanya ada ibadah haji dan qurban pada hakikatnya adalah sarana bagi setiap muslim untuk mencapai kedekatan yang paling sempurna kepada Allah.
Pada prinsipnya, semua ibadah yang dilakukan manusia, apapun bentuknya adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, belum dinamai Qurban (pendekatan yang sempurna). Pendekatan kepada Allah swt. barulah sampai ke tingkat yang paling sempurna (Qurban), jika sudah melaksanakan ritual tertentu pada hari raya al-Adhha yang salah satu bentuknya menyembelih hewan tertentu seperti kambing, sapi dan unta.
Oleh karena itulah, ‘id al-Adhha merupakan hari raya terbesar dalam ritual keagamaan umat Islam, walaupun dalam prakteknya, kita khususnya umat Islam di Indonesia menjadikan îd al-fithr sebagai hari raya terbesar. Di Indonesia, agaknya sudah menjadi sebuah budaya yang mungkin akan susah untuk dirobah, bahwa hari raya îd al-fithr dirayakan dengan sangat besar dan meriah, sementara îd al-adhha dirayakan dengan sangat sederhana, bahkan tanpa merasakannya sebagai hari raya. Keagungan îd al-adhha dibandingkan îd al-fithr terlihat dari beberapa hal.
Pertama, pada perintah bertakbir untuk kedua hari raya tersebut. Di mana, pada hari raya îd al-fithr bertakbir diperintahkan mulai dari terbenamnya matahari akhir ramadhan, sampai turunya khatib dari mimbar khutbah hari raya tanggal 1 syawal tersebut. Sedangkan pada hari raya îd al-Adhha, takbir diperintahkan mulai tergelincirnya matahari hari pada hari Arafah tanggal 9 Zulhijjah, sampai berakhirnya waktu ashar hari ketiga dari pada hari tasyrîq, yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Hal itu berarti masa berkumandangnya takbir mengagungkan nama Allah, lebih lama pada hari raya îd al-Adhha dibandingkan îd al-fithr.
Kedua, terletak pada subtansi dan tujuan kedua hari raya tersebut. Di mana, sebelum hari raya îd al-fithr umat Islam melaksanakan serangkaian ibadah baik siang maupun malam hari selama satu bulan penuh. Begitu juga, mereka dituntut meningggalkan larangan Allah swt ketika melaksanakan ibadah yang diperintahkan kepada mereka. Sehingga perjuangan mereka selama sebulan tersebut menjadikan umat Islam pada hari raya îd al-fithr bergembira dan bersorak dengan bertakbir, karena kemenangan mereka berperang melawan hawa nafsu. Setelah satu bulan berjuang melaksankan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, sehingga mereka mendapatkan prestasi menjadi orang yang bertaqwa (muttaqîn). Oleh karena itu, îd al-fithr diartikan sebagai simbol kemenangan manusia melawan hawa nafsu.
Berbeda halnya dengan îd al-Adhha, di mana umat Islam melaksanakan ibadah qurban padanya. Mereka bertakbir, mengagungkan nama Allah swt karena kemenangan umat Islam melawan keegoan diri. Sebab, korban adalah simbol pengorbanan keegoan manusia terhadap dirinya. Hal itu disimbolkan dengan peristiwa penyembelihan Isma’il oleh Ibrahim as. Di mana, Ibrahim as sudah menantikan kehadiran seorang anak selama puluhan tahun. Ketika anak yang dinantikan sudah diperoleh, dan disaat seorang ayah berada dipuncak kasih sayangnya kepada sang anak, Allah swt menginginkan anak itu diberikan untuk-Nya. Namun, Ibarahim as. dengan penuh ketaatan memberikan yang terbaik dari dirinya demi kepatuhan kepada Allah swt. Oleh karena itulah, Ibrahim as. dianugerahi prestasi sebagai muhsinîn. Seperti firman Allah swt dalam surat ash-Shafât [37]: 105
“sesungguhnya kamu Ibrahim telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dengan demikian, terdapat perbedaan prestasi yang diperoleh manusia dalam kedua hari raya îd al-fithr dan îd al-Adhha. Jika pada hari raya îd al-fithr seseorang menjadi muttaqîn melalu ibadah puasa, maka pada hari raya îd al-Adhha seseorang menjadi muhsinîn melalui pelaksanaan ibadah qurban. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Hajj [22]: 37
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Terkait dengan moral dan nilai kemanusiaan dan hari raya Adha, surat Al-Kautsar (QS. 108: 1-3) juga memberikan pesan tentang 3 hal penting dalam hidup ini
Artinya : 1) Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, 2) maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah, 3) Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).
Ayat di atas memberikan informasi pada kita , bahwa ada tiga kata kunci penting dalam hidup ini, yaitu nikmat yang banyak, shalat, dan berkorban. 1) Allah telah memberikan karunia dan nikmat yang teramat banyak, segala sisi dalam hidup ini penuh dengan nikmat. Jika ingin agar nikmat tersebut lestari maka lakukanlah 2) shalat, yaitu memperkuat hubungan vertikal agar nikmat tersebut memiliki nilai transenden dan hakiki, Selain itu juga lakukan 3) pengorbanan agar secara sosial nikmat tersebut mendapatkan pengakuan dan sumrambah pada yang lain. Mungkinkah orang mampu merasakan nikmat Tuhan jika ia hanya merasakannya sendiri? Tidak mungkin. Ia harus merasakan nikmat yang dikaruniakan kepadanya bersama dengan orang lain, karenanya berkorban merupakan keniscayaan agar nikmat itu dirasakan oleh orang lain dan memperoleh nilai hakikinya. Bukan nikmat semu tetapi nikmat yang menginternal dalam hidup kita selamanya.
Kurban merupakan kata kunci bagi terciptanya harmonitas masyarakat dan bangsa. Tanpa pengorbanan cita-cita luhur pembangunan hanyalah retorika belaka. Kepedihan yang menimpa sekian banyak umat Islam dan bangsa ini juga berawal dari tidak adanya pengorbanan yang sejati. Yang banyak saat ini adalah perbincangan, harapan, dan retorika politis tentang pengorbanan dan belum peksanaan korban dalam arti yang komprehensip yaitu berkorban ilahiyah-vertikal dan sosial-horisontal.
Pengorbanan sejati pasti didasari oleh 1) adanya niatan yang tulus karena Allah Swt. Dan bukan untuk ajang unjuk kekayaan dan prestise. Motivasi berkorban adalah untuk taqarrub, mendekatkan diri agar kita bisa lebih dekat dengan pencipta kita. 2) Berkorban juga harus didasari oleh pertimbangan akal-rasio dan ilmu yang memadai yaitu untuk kepentingan kemaslahatan, kemakmuran dan kedamaian masyarakat umum. Berkorban dengan menyembelih kambing, kerbau atau sapi adalah sebagian dari berkorban dalam arti yang luas. Berkorban juga dapat dilakukan dengan a) penyediaan fasilitas umum, b) penyediaan fasilitas pendidikan yang representatif untuk membangun SDM, c) pelestarian alam agar alam selalu bersahabat dengan kita tetap dan bertambah subur, indah, dan nyaman bagi kehidupan setiap makhluk. 3) Berkorban juga harus didasari oleh kesadaran akan pesan moral-etis yang terkandung di dalamnya sehingga ada upaya yang terus menerus untuk meningkatkan spiritualitas diri dan masyarakatnya.
Di antara pesan moral, ahlak yang dapat kita sebutkan adalah :
1. Berkorban berarti adanya kesediaan untuk memotong sebagian kekayaan kita yang berujud kambing, kerbau, sapi untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini berkorban juga kesediaan untuk memotong sebagaian kekayaan lain seperti ayam, padi, pakaian, tempat tinggal atau pekarangan dan uang untuk dimanfatkan oleh diri, keluarga dan masyarakat luas.
2. Berkorban berarti adanya kesediaan untuk memotong sebagaian tenaga yang kita miliki untuk kepentingan umum, untuk keluarga, untuk saudara-famili, tetangga, dan masyarakat serta bangsa. Orang yang telah terilhami makna kurban, ia akan senantiasa siap bergaul dengan baik dengan lingkungan sosial (juga fisik-material) di sela-sela kesibukannya.
3. Berkorban berarti adanya kesediaan untuk menyebarkan ilmu dan keterampilannya (dakwah dan ta’lim) untuk pemberdayaan masyarakat dengan mengajar anak-anak dan remaja serta mengajar setiap orang yang membutuhkan seperti mengajar tentang baca-tulis (al-Qur’an), ilmu-pengetahuan, pekerjaan (skill) dan kemasyarakatan. Berkorban dalam arti ini juga kesediaan untuk ikut berpartisipasi dalam mencari alternatif penyelesaian problem atau masalah keummatan dengan memeras otak dan fikiran untuk memperoleh hasil pemikiran yang benar-benar orisinil, maslahat, dan menyentuh kebutuhan umat.
4. Berkorban untuk berpartisipasi dalam proses kepemimpinan (imamah) dan memegang kepemimpinan dengan penuh tanggungungjawab (amanah). Seseorang berkenan menjadi pemimpin untuk kebaikan umat, jika dipilih dan ia berkenan pula untuk mundur tatkala diyakini kurang memberikan kemaslahatan bagi umat sekaligus ia mau memberi kesempatan pada generasi yang lebih potensial untuk menjadi pemimpin. Kesediaan untuk maju ke tampuk kepemimpinan, mundur dan memberi kesempatan orang lain maju karena tuntutan masyarakat yang sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh UU adalah bagian dari berkorban. Sebagai rakyat, berkorban adalah menjadi warga bangsa yang baik, partisipatif, kreatif dan mampu melakukan kontrol yang bermoral untuk pemimpin dan lingkungan sosialnya. Rakyat yang siap menciptakan kepemimpinan yang adil, jujur dan bijaksana adalah bagian dari pengorbanannya.
5. Berprilaku positif dalam bergaul (mu’asyarah bi al-ma’ruf) dengan keluarga (anak-anak dan istri), orang tua, mertua, serta melakukan proses edukasi yang terus menerus bagi mereka juga bagian dari makna berkorban. Bertutur kata dengan bahasa yang sopan tatkala bergaul atau melakukan kritik konstruktif (bermoral) merupakan bagian dari berkorban. Berpakaian yang sopan, indah, serasi, dan menutup aurat merupakan bagian dari berkorban dalam arti yang lebih aplikatif.
Demikian antara lain artikulasi korban dalam kehidupan riil sehari-hari. Pemahaman akan arti korban seperti ini belum terealisasikan secara konsisten di masyarakat Muslim. Alhamdulillah kaum muslimin sudah mulai banyak yang sadar akan pentingnya berkurban dengan menyembelih hewan kurban tetapi yang perlu ditingkatkan adalah berkurban dalam arti luas yang menyentuh seluruh aspek lehidupan manusia seperti di atas.
Saat ini jamaah haji kita sedang berada di tanah suci, mendekatkan diri pada Allah Swt. Meneladani prilaku nabi Ibrahim, Ibu Hajar, dan Ismail. Selain napak tilas [peribadatan nabi Ibrahim jamaah haji dan juga semua kaum Muslim mencontoh bagaimana menjadi Bapak yang bijak seperti Ibrahim, menjadi istri dan ibu yang penuh kasih sayang bagaikan Hajar, dan menjadi anak yang cerdas, sopan dan taat pada orang tua sebagaimana Ismail. Ketiganya merupakan model terbaik (dalam keluarga dan masyarakat) sesuai dengan perannya masing-masing dan ketiganya adalah makhluk terpuji yang rindu akan Tuhannya. Kita sebagai bangsa yang sedang mengenang Nabi Ibrahin, Ismail dan Ibu Hajar, di Indonesia juga dianjurkan untuk menjadi orang yang terbaik dan manfaat dengan mengemban amanat Ilahi sesuai dengan tugas dan peran kita masing-masing.
Bulan haji, sebagai mana dalam sejarahnya, menuntun kita untuk bekerja keras dengan tulus-ihlas dan selalu dekat kepada Allah Swt. Bulan ini kita disadarkan untuk selalu instropeksi diri, apakah kita selama ini sudah melakukan kerja positif–profesional (amal sholih), kerja keras, dan semangat tinggi ?. Mengapa hati kita belum terpatri oleh rasa rindu dan selalu mengaharap akan ridlo Allah Swt. Mengapa kita sering kurang jujur dan pemalas. Marilah kita rancang bangunan hidup kita ini agar selalu dalam garis Tuhan yang penuh semangat juang, berfikir cerdas, hati bersih, kerja keras, dekat dengan Allah Swt sekaligus dekat dengan makhluk-Nya, menjaga keharmonisan sosial dan keharmonisan dengan alam semesta. Menjaga alam agar Ia memberikan yang terbaik bagi kehidupan kita.
Ibadah hajji telah mendidik kita untuk menyatukan langkah dengan dasar ketauhidan, visi dan misi yang sama. Bersatu untuk mengemban tugas sebagai makhluk Allah di bumi. Bersatu sebagaimana saudara kita yang bersatu di baitullah dan di padang Arafah saat menunaikan haji. Hentikan perpecahan dan permusuhan, kita rapatkan kembali persatuan. Kita telah tahu akibat perpecahan dan permusuhan yang telah membawa kesengsaraan umat berabad-abad.
Ibadah haji telah mengantarkan pelaksananya untuk menerima sebutan Bapak dan Ibu haji. Sebutan tersebut merupakan fenomena sosiologis bagi bangsa kita sejak masa pra dan pasca kemerdekaan. Karena seorang Muslim telah haji ia menjadi contoh panutan sebagai manusia yang mengemban nilai kenabian (profetik) sekaligus membumikannya dalam kehidupan riil di mana Bapak dan Ibu haji hidup dan bergaul. Semoga pada bulan haji ini kita tersadarkan kembali untuk menuju kesempurnaan lahir dan batin secara bersamaan.
Semoga kita dapat memperbaiki kehidupan ini agar menjadi lebih baik dan lebih memiliki nilai guna yang tinggi bagi lingkungan serta senantiasa mendapatkan ridho Allah Swt. Wallahu ‘alam
READ MORE - Artikulasi Kurban dalam Kehidupan

Kamis, 04 November 2010

Mengambil hikmah dari gempa

Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. ( QS Al Zalzalah : 99:1-5)
Sudah hampir seminggu gunung berapi dan gempa menerpa negeri tercinta ini dan menurut info terupdate masih berlanjut (www.detiknews.com)sehingga meninggalkan duka dan kesedihan bagi para korban. Tatapan kesedihan itu tercermin jelas dengan kematian keluarga yang dicintai dan lenyapnya harta yang disayangi oleh sebahagian para korban yang masih hidup. Ratapan tangis pun memuncak ketika tiba perasaan kesal serta pikiran untuk memulihkan kehidupan yang sudah hancur.
Ketika kita dihadapkan dengan panorama bencana: mayat-mayat berserakan, rumah-rumah runtuh, orang-orang terluka dan para pengungsi ‘kleleran’, apa yang berjumpalitan di benak kita?. Apakah yang kita rasakan?.
Sakit.
Itulah yang terjadi berulang-ulang di tanah air kita dua tahun belakangan ini: sejak gempa di Nabire, Tsunami di Aceh dan Nias, --kini—gempa di Yogyakarta dan Gunung Merapi yang masih mengeluarkan asap panas. Ketika panorama itu diputar berulang-ulang, apakah yang kita rasakan?.
Lebih sakit.
Guncangan gempa, hempasan Tsunami dan gelegak lahar itu terus-menerus menggempur hati kita, meninggalkan luka yang masih menganga. Apakah kita mesti mengeluh, “mengapa yang terus datang adalah derita demi derita, gelap di atas gelap?”.
Gelap --yang seperti pakaian-- membalut tubuh bangsa kita. Gelap yang kita sendirilah penyebab pekat dan ketakberanjakannya. Hutan-hutan kita tebangi tanpa keseimbangan; tambang-tambang kita gali habis-habisan; korupsi jadi kebanggaan, belum lagi anggaran dipangkas demi kepentingan individual atau kelompok alih-alih studibanding ke luarnegeri, padahal hakikatnya wisata jasmani; moral bangsa hanyut dibawa banjir bandang. Tindak aniaya adalah kegelapan. Demikian pesan al-Qur’an.
Akan tetapi, gelap adalah juga tempat melatih kebeningan, mempertajam perenungan dan –dengan jujur—mengakui kesalahan-kesalahan. Malam menjelang subuh adalah saat terintim manusia dengan Tuhannya.
Letusan gunung berapi, gempa dan tsunami itu adalah bencana. Setiap bencana itu menyakitkan. Sehingga rasulullah SAW mengaskan dalam hadistnya ketika salah seorang sahabat beliau Ikramah datang ke rumahnya dan didapati lampu rumah nabi padam kemudian rasulullah mengucapkan istirja’ : Innaa lillahi wa innaa ilaihi raj’un ( kita adalah milik Allah dan akan kembali kepadaNya). Ikramah bertanya: “kenapa rasullullah mengucapkan istirja’ padahal hanya lampu yang padam? Nabi menjawab: segala sesuatu yang menyakitkan kita itu adalah musibah (bencana) meskipun lampu padam.
Alqur’an telah banyak memberikan kepada umat ini pelajaran-pelajaran berharga tentang bangsa dan umat sebelum kita yang ditimpakan berbagai bencana. Di antaranya: Pembangkangan dan kedurhakaan umat nabi Nuh, diselesaikan oleh Allah dengan mendatangkan badai Topan/ al-thaufân. (Q.S. al-Ankabut [29]: 14. Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Hud, diakhiri Allah dengan mendatangkan angin yang sangat dingin dan kencang (rihun sharsharun), sehingga menghancurkan tubuh-tubuh mereka seperti tunggul kayu yang lapuk (Q.S. al-Haqqah [69]: 6). Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Shalih, Allah balas dengan ledakan gunug api (al-rajfatu), sehingga menghancurkan tubuh-tubuh mereka (Q.S. al-A’raf [7]: 78). Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Luth, disudahi Allah dengan mendatangkan hujan batu (matharun min al-hijârat), sehingga merekapun binasa (Q.S. Hud [11]: 82). Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Musa, diakhiri Allah dengan mendatangkan petir (al-Shâ’iqati) lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 55. Pembangkangan dan kedurhakaan bangsa Saba’ setelah Sulaiman diakhiri Allah dengan mendatangkan banjir bandang (sailul ‘iram), sehingga negeri mereka menjadi kering, gersang dan tandus dan merekapun kelaparan.
Ternyata, semua bentuk azab ataupun peringatan yang pernah diturunkan Allah tidak mengambil satu bentuk dan satu subjek saja. Oleh karena itu, jika gempa dan tsunami telah didatangkan Allah sebagai bentuk azab ataupun peringatan, maka andaikata bencana akan tetap terjadi maka ia akan mengambil bentuk dan subjek lain. Sebab, tentara Allah bukan hanya gempa atau air. Masih banyak lagi tentara dan senjata Allah yang bisa dijadikan sarana menghukum atau menegur mahkluk-Nya.
Masih terlintas dari ingatan kita gempa yang terjadi di Sumatera Barat, Rabu (30/09/09), yang meluluh lantahkan ranah minang.
Sehari setelah kejadian gempa, beredar kabar -di antaranya lewat pesan singkat (SMS) dan situs jejaring sosial facebook- yang mengaitkan waktu terjadinya gempa dengan surat dan ayat yang ada di dalam al-Qur'an.
"KETAHUILAH…. Gempa di Padang terjadi pada pukul 17.16, coba lihat QS. 17.18.. Kemudian gempa susulan terjadi pada pukul 17.38, lihat QS. 17:58.. Gempa di Padang terjadi pada tanggal 30 bulan 9, lihat QS. 30:9.." demikian bunyi pesan singkat yang beredar. Siapa yang membuka ayat-ayat di atas akan menyadari bahwa musibah itu memang layak menimpa negeri ini”.
QS. Al Israa’(17) ayat 16: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
QS. Al Israa’(17) ayat 58: “Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuz).”
QS. Ar-Ruum (30) ayat 9: "Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku dzalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku dzalim kepada diri sendiri."
Tiga ayat di atas, yang dikaitkan dengan waktu kejadian gempa di Sumbar, berbicara perihal azab Allah berupa kebinasaan suatu penduduk negeri. Bahwa kebinasaan dan kehancurannya disebabkan oleh tingkah laku penduduknya dengan melakukan kedurhakaan kepada Allah. Bukan Allah berlaku dzalim terhadap mereka, tapi merekalah yang telah mendzalimi diri mereka sendiri.
Dan ketika Allah akan menurunkan adzab kebinasaan kepada suatu penduduk negeri maka diadakan di antara mereka para pemimpin yang suka hidup mewah dan kufur kepada Allah, sehingga mereka menyeru rakyatnya kepada kekufuran, maka ketika mereka melakukan hal itu tiba saatnya adzab turun.
Dan ketika Allah akan menurunkan adzab kebinasaan kepada suatu penduduk negeri maka diadakan di antara mereka para pemimpin yang suka hidup mewah dan kufur kepada Allah, sehingga mereka menyeru rakyatnya kepada kekufuran, maka ketika mereka melakukan hal itu tiba saatnya adzab turun.
Kekufuran para pemimpin ini sudah terlalu lama, yaitu dengan menolak hukum Allah (syariat Islam), menggantinya dengan produk hukum manusia. Contohnya demokrasi. Syariat dikesampingkan, tradisi dan aturan hidup yang menyelisihi Islam dibudidayakan. Akhirnya yang diharamkan oleh Islam dihalalkan, begitu juga sebaliknya. Para mujahid dihabisi, sementara penjahat dilindungi.
Tentang ada atau tidaknya kaitan antara ayat-ayat di atas dengan bencana tidak ada satu dalil sharih yang menunjukkannya. Namun, semestinya bencana menjadi pelajaran bagi kita. Introspeksi dan muhasabah terhadap kesalahan dan kedurhakaan kepada Allah harus segera dilakukan, supaya musibah tidak terulang. (voa-islam) Dengan menjadi ûlûl al-albâb (orang-orang yang berpikir jernih)
LANTAS, bagaimana kita mesti mengambil hikmah dari gempa?.
Kalau kita melihatnya hanyalah sekedar peristiwa alam, ilmu pengetahuan memberikan jawaban. Akal yang bekerja disini –mengutip Dr. Taha Abdurrahman, filosof Maroko-- disebut akal mulki ; akal yang menghasilkan pengetahuan.
Akal macam ini memberi kita pengetahuan bagaimana gempa bumi terjadi; bagaimana membuat sistem peringatan dini sebelum ia terjadi; bagaimana mengkonstruk bangunan tahan gempa; bagaimana menyiapkan masyarakat untuk tepat bertindak menjelang, ketika dan setelah gempa terjadi; bagaimana menyiapkan capacity building sistem penangananbencana yang kokoh-efekif ; dan seterusnya. Pemerintah dengan segala perangkat dan fasilitas yang dimilikinya paling bertanggung jawab menyediakan semua ini.
Negara-negara sekuler dan lembaga-lembaga internasional biasanya melihat bencana dari perspektif ini. Dalam konteks bencana alam, reaksi mereka bisa dirunut: ikut belasungkawa, memberi bantuan kemanusiaan (barang atau uang), memperingatkan negara korban agar membangun early warning system dan membantu negara bersangkutan untuk rekonstruksi pasca bencana. Selepas itu, kondisinya kembali ke status quo: aktivitas mereguk habis-habisan kenikmatan dunia kembali dibuka; struktur dunia yang tidak adil tetap lestari dan dunia kembali berputar dengan segala perangkat dan nilainya yang berlaku de facto.
Namun kalau kita melihat gempa dari perspektif nilai(akal malakuti), persoalannya menjadi lain. Akal macam ini mengantarkan seseorang pada keimanan. Bahwa segala peristiwa di dunia ini adalah ayat (tanda yang mengandung nilai) Allah SWT untuk mengajar manusia yang mau menggunakan kecerdasan otak dan hatinya (ulul albab).
Gempa –dalam perspektif ini—bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan alam terhadap keserakahan dan kezaliman manusia; sebagai warning system proteksi Allah SWT terhadap manusia --bahwa dengan kekuasaan-Nya manusia bisa diserang kehancuran kapan saja, oleh banjir, angin topan, gunung meletus dan lain-lain--; sebagai media untuk menguji kesabaran dan kekokohan mental sebuah komunitas untuk meraih masa depan yang lebih baik. Semakin dalam perenungan dengan akal malakuti, semakin banyak makna dan kearifan yang bisa digali.
Orang beriman melihat musibah sebagai ujian. Ia akan keluar menjadi sosok yang lebih kuat setelah musibah berlalu. Kalau ia harus kembali menghadap Penciptanya sekalipun, semboyannya adalah innalillah wa inna ilahi raji’un, segalanya berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya. Musibah yang menjadi ujian itu memberikan kesempatan kepada orang beriman untuk introspeksi; jangan-jangan ada yang salah dengan dirinya. Bisa jadi ia kurang bersyukur, kurang serius mengabdi kepada Allah, banyak melabrak larangan-larangan-Nya dan seterusnya.
Perenungan macam ini mau tidak mau akan mengantarkan sang empunya untuk kembali kepada-Nya, bertaubat, meneguhkan keimanan dan beramal saleh. Ini adalah perlajaran paling berharga yang bisa dipetik oleh orang beriman dari bencana yang dihadapinya. Sikap mental dan perilakunya pasca bencana pasti lebih baik dari sebelumnya. Karena bisa jadi gempa adalah medium revolusi spiritual baginya untuk menapaki tangga demi tangga menuju puncak nilai keluhuran manusia. Bisakah kita, bangsa Indonesia, belajar serius dengan mata nurani dari rentetan bencana yang menghantam negeri kita tahun-tahun belakangan ini?.Bukankah setelah subuh, gelap pasti berlalu digantikan cahaya mentari; membuka hari baru yang cerah dan menjanjikan?. Bisakah kita merengkuhnya?. Memang segala kejadian di muka bumi ini hak mutlak ketetapan Allah. Dia semata yang mengetahuinya. Kapan dan di mana kejadian tersebut sudah Dia ketahui dan rencanakan dengan detail. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
READ MORE - Mengambil hikmah dari gempa

Kamis, 21 Oktober 2010

Standar Baik dan Buruk

Dalam surat al-Ma’idah [5]: 100 Allah swt berfirman:
“Katakanlah (hai Muhammad): "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.”
Berkaitan dengan tersebut dalam tafsir Ibnu Kastir disebutkan bahwa sesuatu yang sedikit dan halal serta bisa memberi manfaat lebih baik dari pada yang banyak, haram tetapi memberi mudarat. Ketika Tsa’labah bin Hatib Al-anshari meminta rasulullah untuk mendo’akan dia agar diberikan harta yang banyak dan kekuasaan di mana-mana, rasulullah saw menjawab:” sedikit yang kamu miliki dan menjadikan kamu bersyukur lebih baik dari pada sesuatu yang banyak tetapi membuatmu tidak sanggup bersyukur. Sedikit dan kamu merasa cukup lebih baik dari pada banyak tapi melalaikanmu”.
Ayat di atas, jika dicermati akan memunculkan pertanyaan dalam fikiran setiap pembacanya. Mengapa Allah swt mengatakan bahwa tidak sama antara yang buruk dengan yang baik. Bukankah tanpa dikatakan Tuhan pun manusia dengan akalnya mampu mengetahui bahwa yang buruk dan baik itu tidak pernah sama?
Jika kita perhatikan al-Qur’an lebih lanjut, akan ditemukan banyak ayat Allah yang memiliki redaksi yang hampir sama dengan ayat di atas. Misalnya surat al-An’am [6]: 50:
“…Katakanlah (hai Muhammad): "Apakah (tidaklah) sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?".
Begitu juga surat Fathir [35]: 19:
“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat”.
Dan juga ayat 22, “Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati….”
Selanjutnya surat az-Zumar [39]: 9:
“Katakanlah (hai Muhammad): "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
Dan juga dalam surat al-Hasyr [59]: 20, “Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah(surga); penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung”, dan selanjutnya.
Jika saja boleh berandai, bila kita yang menerima ayat itu dari Allah swt dengan redaksi seperti yang diungkapkan dalam ayat tersebut, tentulah kita akan menjawab secara spontan kepada Allah, “Ya Tuhan, kami juga tahu bahwa yang buruk dan yang baik itu tidak sama, akal kami juga mengetahui keduanya berbeda”.
Allah swt Yang Maha Bijaksana, tentulah tidak menurunkan suatu firman-Nya, kecuali padanya terdapat hikmah, pelajaran yang maha besar. Sebab, tidak satupun yang berasal dari Tuhan mengandung kesia-siaan. Akan tetapi, tentu hikmah tersebut ditujukan untuk petunjuk dan kebaikan manusia itu sendiri.
Minimal ada dua hakmah dibalik ungkapan Tuhan dengan redaksi seperti yang tercantum dalam ayatnya surat al-Ma’idah [5]: 100 tersebut. Pertama, Allah swt ingin menegaskan kepada manusia bahwa sekalipun manusia mampu dengan akalnya mengetahui yang baik dan buruk dan membedakan keduanya, akan tetapi Allah swt ingin agar untuk mengukur baik dan buruk sesuatu bukanlah akal semata. Sebab, akal manusia tidak konsisten dalam menentukan ukuran buruk dan baiknya sesuatu. Baik dan buruk menurut akal manusia bisa berubah sesuai perubahan waktu, perbedaan tempat, dan sesuai kebiasaan.
Menurut cerita orang yang sudah hidup 40 tahun yang lalu, di negeri Minangkabau ataupun di beberapa negeri yang lain contohnya sangat buruk dipandang ketika perempuan memakai celana panjang sekalipun longgar. Perempuan yang memakainya akan menjadi buah bibir masyarakat, dan dipergunjingkan di semua tempat karena buruknya hal tersebut. Namun, hari ini kita melihat pakaian perempuan sudah melebihi itu; calana pendek, sempit dan menampakan bagian-bagian aurat yang semestinya ditutupi, akan tetapi hal seprti itu sudah menjadi pemandangan yang biasa dan bahkan sudah berobah menjadi “tren” kehidupan wanita. Kita tidak lagi merasa risih dan terganggu dengan pemandangan seperti itu, bahkan seperti sudah menjadi sesuatu yang baik dan benar. Bahkan untuk menghadiri acara zikir atau istighasah bersama bagi laki-laki diharuskan memakai sarung, peci, kopiah ataupun sorban dan tidak dibolehkan memakai celana panjang dan baju batik. Meskipun secara syara’ (agama) tidak ada aturan seperti itu, hal yang penting sopan dan menutup aurat, namun dalam tradisi menjadi aib bagi si pelakunya. Begitulah jika ukuran baik dan buruk diserahkan kepada akal, akan berbeda pandangannya seiring terjadinya perubahan waktu. Sesuatu yang dulu menurut akal manusia buruk, ketika zamannya sudah berbeda bisa saja menjadi baik.
Begitu juga, ukuran baik dan buruk menurut akal bisa berobah sesuai perbedaan tempat. Di daerah pedesaan, di mana masyarakatnya masih memegang teguh nilai adat dan agama, teramat buruk jika dilihat sepasang manusia yang bukan muhrim berjalan berduaan. Semua orang akan memandang dengan pandangan “miring” dan akan menjadi perbincangkan masyarakatnya. Akan tetapi, di daerah perkotaan apalagi di kota-kota besar, laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim berjalan berduaan di tempat yang ramai, berpegangan tangan, bahkan lebih dari itu sekalipun masyarat tidak merasakan sesuatu yang salah, bahkan sudah menjadi pemandangan yang biasa atau bahkan dianggap sesuatu yang wajar dan benar. Begitulah penilaian akal terhadap baik dan buruk, yang jika tempat berbeda ukurannya juga tidak sama.
Selanjutnya, baik dan buruk menurut akal bisa berbeda sesuai kebiasaan. Misalnya, semua orang sepakat mengatakan sampah sebagai sesuatu yang buruk dan busuk serta menjijikan. Namun, bagi pekerja yang setiap hari memungut sampah (bukan bermaksud merendahakn profesi pemungut sampah), sampah tidak lagi dipandang dan dirasakan sebagai sesuatu yang buruk dan busuk serta menjijikan, karena keseharianya menghadapi sampah. Sehingga, kebiasaanya dengan aroma dan kotornya sampah, membuat dia tidak lagi merasa jijik terhadapnya. Kebiasaan termasuk pembentuk karakter seseorang. Jika sesuatu yang seharusnya tidak layak dilakukan tetapi karena terbiasa melakukannya terjatuhlah ia dalam karekteristik yang jelek menurut publik bahkan dianggap perusak agama. Menghalalkan berbagai cara untuk melibatkan orang lain demi kepentingan pribadi atau organisasi tanpa mempedulikan perasaan orang lain apalagi mempromosikan diri atas nama agama, ulama dan muballigh termasuk kebiasaan yang tidak sah dalam norma-norma umum.
Begitulah keterbatasan akal manusia menentukan ukuran baik dan buruknya sesuatu. Oleh karena itu, Allah swt ingin mengajak manusia untuk mengembalikan ukuran baik dan buruknya sesuatu, kepada al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya. Sebab, apa yang sudah ditetapkan al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya tidak akan pernah berobah sampai kapanpun, dan di manapun. Jika al-Qur’an mengatakan bahwa berjudi itu haram, sampai kiamat pun hukumnya akan tetap haram. Jika al-Qur’an mengatakan berzina itu haram, merampok dan korupsi serta berbasa-basi mengataskan segala sesuatu dengan nama agama di manapun, kapanpun hukumnya tetap haram sekalipun sudah dilakukan oleh semua orang dan sudah dianggap kebiasaan orang banyak. Agaknya itulah rahasianya kenapa di akhir ayat tersebut Allah menegaskan “…sekalipun banyaknya yang buruk itu mencengangkanmu…”. Sesuatu yang haram akan tetap haram sekalipun telah dilakukan semua orang. Sebab, banyaknya orang melakukan sesuatu tidak menjadi jaminan bahwa sesuatu itu adalah baik.
Hikmah yang kedua dari ungkapan Allah dalam ayat tersebut adalah, Allah ingin mengajak manusia untuk membiasakan diri melakukan kebaikan dan menajauhi keburukan. Sebab, kebaikan tidak berarti sebagai kebaikan tanpa adanya pembiasaan diri melakukannya. Tentunya semua orang Islam mengetahui membaca al-Qur’an, shalat tahajjud, bersedekah dan sebagainya sebagai kabaikan yang dijanjikan balasan yang besar di sisi Allah. Akan tetapi, kenapa umat Islam malas melakukannya atau sangat sedikit yang melakukan hal-hal yang seperti disebutkan? Jawabannya, karena mereka tidak membiasakan diri melakukannya.
Barangkali itulah rahasianya kenapa Rasulullah saw menyuruh umatnya dalam sebuah hadits, “Suruhlah anak-anakmu shalat ketika berumur tujuh tahun, jika berumur sepuluh tahun mereka tidak juga shalat maka pukullah mereka(beri sanksi)”. Anak yang masih berumur tujuh tahun atau sembilan tahun, tentu belum diberati beban hukum secara syari’at (belum mukallaf). Shalat ataupun tidak, bagi mereka sama saja karena tidak ada beban dosa. Namun, yang ditujukan dalam hadits tersebut adalah upaya penanaman kebiasaan shalat atau beribadah bagi seorang anak semenjak usia dini. Sebab, seseorang bila sudah biasa melaksanakan shalat semenjak kecil, sampai dewasa hal itu tidak akan bisa dia tinggalakan betapapun dia dipaksa untuk meninggalkannya. Sebaliknya orang yang tidak pernah shalat, akan sangat susah untuk melaksanakannya pada masa dewasanya sekalipun diiringi pemaksaan atau diancam sanksi dan hukuman.
Adalah suatu hal yang pasti bagi yang biasa olah raga setiap harinya jika tidak berolah raga satu hari saja, badannya akan terasa sakit dikarenakan mininggalkan kebiasaaanya. Sebaliknya, bagi yang tidak pernah berolah raga, sekali melakukannya badannyapun akan terasa sakit karena melakukan sesuatu yang bukan kebiasaannya. Begitu pentingnya pembiasaan diri sehinga dalam sebuah ungkapan bijak disebutkan, bahwa manusia akan mati dibimbing oleh kebiasaannya. Bisa karena terbiasa, susah karena dimanja. Wallahu a’lam
READ MORE - Standar Baik dan Buruk

Sabtu, 09 Oktober 2010

Profil Umat Pilihan

Setiap makhluk diberikan Allah fitrah atau naluri untuk hidup berkelompok dan berorientasi secara komunal. Kelompok-kelompok tersebut dibangun biasanya berdasarkan unsur kesamaan yang mereka miliki. Kelompok makhluk Tuhan inilah yang disebut dengan nama ummat, dan manusia adalah salah satu bentuk kelompok tersebut sekaligus unsur pokoknya. Akan tetapi, dari sekian banyak bentuk ummat, dalam al-Qur’an ( kaum ‘Aad, Tsamud, Bani Israil dan lain-lain) terdapat istilah khairu ummah yang berarti umat terbaik; sebuah penamaan yang diperuntukan bagi umat Islam. Kata Khairu Ummah tersebut terdapat dalam surat Ali ‘Imran [3]: 110
Artinya: “Adalah kamu sebaik-baik umat (khaira ummatin) yang diutus untuk manusia menyuruh berbuat baik (ma’ruf) dan mencegah dari perbuatan munkar dan beriman kokoh kepada Allah…”
Ummat seperti yang telah disebutkan, ia diartikan sebagai suatu kelompok yang dihimpun oleh suatu kesamaan. Kesamaan itu bisa agama, waktu, tempat, jenis dan sebagainya. Oleh karena itulah, burung yang diikat kesamaan jenis sebagai binatang yang memiliki sayap dan terbang, dalam al-Qur’an disebut ummat. Seperti yang terdapat dalam surat al-An’am [6]: 38
Artinya: “Dan tidak satupun binatang melata di bumi dan tidak pula burung yang terbang mengembangkan kedua sayapnya kecuali mereka adalah umat-umat seperti kamu…”
Umat Muhammad saw. adalah umat terbaik dari semua aspek yang mengikat kesamaan tersebuat. Misalnya dari sisi agama, betapa tidak karena Allah swt telah menegaskan dalam surat al-Maidah [5]: 6:
“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku sempurnakan atas kamu nikmat-Ku dan telah Ku ridhai Islam sebagai agamamu”.
Agama Islam yang dibawa nabi Muhammad saw. adalah agama yang paling terakhir dan paling sempurna. Sebab, tidak ada lagi nabi yang akan diutus Allah untuk merobah ajaran agama ini. Segala sesuatunya telah sempurna dan tidak akan megalami perobahan sampai akhir zaman. Hal ini tentu berbeda dengan agama dan ajaran nabi untuk umat-umat lalu, yang hanya berlaku untuk waktu tertentu dan umat tertentu. Inilah bukti bahwa umat Islam sebagai umat terbaik dari sisi agama.
Dari segi waktu atau masa hidup, umat Islam juga merupakan umat terbaik. Sebab, dalam surat al-Hadid [57]: 9, Allah swt berfirman:
“ Dialah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang nyata supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dan sesungguhnya Allah terhadap kamu maha pengampun lagi penyayang”.
Hal itu menunjukan bahwa umat Muhammad hidup dalam masa dan kedaan, yang jauh lebih baik dari umat lalu. Sebab, umat sebelumnya hidup dalam zaman kegelapan, baik akidah maupun peradaban. Saat ini umat Islam telah mencapai apa yang zaman dulu mustahil bagi manusia, seperti naik pesawat, mobil dan sebagainya.
Umat Islam juga umat terbaik dari sisi wilayah atau tempat tinggal. Betapa tidak, bahwa di manapun negara Islam atau negara yang berpenduduk muslim merupakan negara yang kaya raya. Seperti Indonesia yang merupakan negara paling subur dan disebut sebagai “sorga Allah” di bumi. Negara-negara Arab, walaupun tidak subur tetapi kaya dengan sumber-sumber minyak yang menjadi urat nadi kehidupan dunia. Begitulah Allah jadikan umat Islam sebagai umat terbaik dari segi tempat tinggal.
Dari segi jenis sudah dapat dipastikan bahwa jenis manusia adalah umat terbaik bila dibandingkan jenis lain, “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik penciptaan” (Q.S. at-Tin [95]: 4.
Namun demikian, jika kita kembali kepada surat Ali Imran [3]: 110 tentang pembicaraan Allah terhadap umat Islam sebagai umat terbaik, akan ditemukan sebab yang menjadikan kondisi dan sebutan itu tetap melekat pada diri mereka. Umat Muhammad saw. akan tetap menjadi umat terbaik disebabkan tiga hal; yaitu,
1. Menyuruh kepada yang baik (Ma’rûf)
Ma’rûf adalah perbuatan yang baik, tidak hanya baik menurut aturan syari’at yang digariskan Allah swt, tetapi juga yang dianggap baik menurut pandangan manusia kebanyakan, selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama. Norma yang sudah berlaku ditengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama disebut ma’rûf, dan umat Muhammad saw. berkewajiban menegakannya.
Namun demikian, menegakan yang ma’rûf tidaklah pekerjaan gampang. Karena pelaksaannya bisa sempurna kalau umat Islam menjadi penguasa dan pemegang sekaligus pengambil kebijakan. Itulah agaknya kenapa kata pemimpin yang mesti dipatuhi, Allah sebutkan dalam surat an-Nasa’[4]:59 dengan Uli al-Amr, berasal dari kata Amar yang berarti menyuruh. Hal itu menunjukan bahwa pelaksanaan Amar Ma’rûf bisa sempurna kalau dilakukan oleh penguasa atau pemerintah. Dengan demikian, umat Muhammad saw. menjadi umat terbaik kalau mereka yang menjadi penguasa, pengambil kebijakan dan menjalankan kebijakan tersebut. Dan tentu para penguasa atau pemerintah yang diharapkan yang bersih dari penyakit kronis zaman seperti korupsi, kolusi dan nepotisme buta. Profil pemimpin muslim yang didambagakan, siapapun dia dan dari manapun asal aktifitas perpolitikannya, tentulah harus populis dan pro rakyat. Karakter penguasa muslim yang sejati sebagai profil umat pilihan di tengah-tengah umat yang lain adalah tidak banyak meminta, tapi banyak memberi seperti pohon pisang ketika tumbuh tidak meminta dipupuk, racun hama dan perawatan laiannya. Ia cukup diletakan di dalam sebuah lobang, lalu dibiarkan tanpa pupuk dan racun hama, ia akan tetap tumbuh dan berbuah. Bandingkan, jika kita menanam tanaman lain, seperti cabe, tomat, bawang dan sebagainya yang sangat memberatkan sang pemilik, karena mesti dipupuk, diberi racun hama, kemudian perhatian yang maksimal. Janganlah hendaknya terlalu banyak menuntut, mengharap apalagi menyusahkan orang lain. Sebab, jika seseorang banyak menunut dan meminta, maka orang lain akan menyimpan banyak harapan kepadanya. Jika dia kemudian hari memberi, orang lain tidak terlalu hormat dan bangga, karena memang sudah semestinya dia memberi karena telah banyak menuntut selama ini. Akan tetapi, jika dia kemudian hari tidak bisa memberi dan memenuhi harapan tempat ia meminta, biasanya orang lain akan kecewa kepadanya.
Sebaliknya, jika seseorang tidak banyak menuntut dan menyusahkan, namun kemudian banyak memberi, maka orang akan menaruh rasa segan,bangga, hormat dan simpati kepadanya. Lihatlah pohon pisang, yang sekiranya dia mati dan tidak menghasilkan buah, sang pemilik biasanya tidak teralu kecewa dan berkecil hati. Berbeda halnya, jika tanaman cabe atau tomat yang telah memakan biaya besar, namun tidak menghasilkan buah, maka pemilik kebun akan kecewa dan menggerutu kepadanya. The last but not least profil penguasa muslim hendaklah tidak sibuk berpesta pora dengan jargon-jargon politik sarat dengan basa-basi dan baliho-baliho dimark up dengan segala senyum yang fiktif dan kortesif.
2. Mencegah dari perbuatan munkar
Munkar berarti perbuatan yang tidak dikenal sebagai kebaikan, baik oleh agama maupun oleh masyarakat, selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama. Oleh karena itu, adat istiadat yang berlaku di tengah masyarakat tidak boleh dilanggar, karena hal itu berarti munkar sekalipun tidak melanggar agama. Berzinah, berjudi, merampok, korupsi, penyelewengan infak masjid, arogansi jabatan yang dimiliki, otoriter karena menggangap atau dianggap dirinya berkuasa, mementingkan keputusan kelompok sendiri, menjelekkan reputasi orang lain, merasa diri sok pintar, pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat yang tidak komunikatif, pungli atas dalih kesejahteraan rakyat, penyelwengan pajak dan banyak yang lainnya adalah termasuk perbuatan munkar yang harus dicegah dan dianggap sebagai teroris agama yang sebenarnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia merobahnya dengan tangannya (kekuasaannya), jika tidak mampu robahlah dengan lidahnya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah iman yang paling lemah”. Muslim pilihan adalah sosok individu yang mampu sadar dari kemunkaran yang mengerogoti imannya dan juga bisa menyadarkan saudara-saudaranya yang lain.
3. Beriman kokoh kepada Allah
Iman yang kokoh tidak diperoleh dengan cara yang gampang. sebab, syaithan telah berjanji dan bersumpah dihadapan Tuhan akan menggelincirkan iman manusia bahkan akan mencabutnya dari dalam hati manusia, sehingga mereka menjadi pengikutnya. Untuk memiliki iman yang kokoh manusia harus memiliki beberapa hal, yaitu;
a. Ilmu yang luas
Hal ini dikerenakan kebodohan merupakan gerbang utama syaithan menggoyahkan dan memalingkan manusia dari kebenaran. Seperti yang disebutkan Allah swt dalam surat an-Nisa’[4]: 120:
“Syaithan menjanjikan mereka janji-janji kosong dan membuat angan-angan mereka panjang, padahal janji syaithan itu hanyalah tipu daya saja”.
Adalah sudah menjadi sebuah kepastian, bahwa kebodohan menjadikan seseorang tidak punya pendirian, karena dengan mudah orang lain merobah dirinya termasuk juga keyakinannya.
b. Kematangan materi
Untuk tidak menyebut kaya, karena kekayaan juga bersifat relatif dalam pandangan manusia. Tetapi, bahwa syarat seorang bisa memiliki iman yang kokoh adalah memiliki kecukupan harta, sehingga dia tidak memiliki ketergantungan kepada pihak lain. Sebab, kemiskinan juga gerbang utama syaithan menggelincirkan bahkan mencabut iman manusia seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 268:
“Syaithan menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji, dan Allah menjanjikan kamu ampunan dan karunia dari sisi-Nya dan Allah Maha Luas Karunia-Nya lagi Maha Mengetahui”.
Betapa banyak hari ini kita saksikan, sebagian manusia yang rela meninggalkan keyakinannya hanya karena “sesuap nasi” atau “sebungkus supermi”. Benar sekali apa yang pernah dikatakan Rasullah saw kâda al faqru an yakûna kufran (Kefakiran dekat kepada kekafiran). Tentulah kekayaan yang diperdapati dengan cara halal dan diredhai Allah swt seperti terungkap dalam Al baqarah:2:188:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”
c. Sehat fisik, mental maupun rohani
Iman yang kuat bisa diperoleh dalam badan yang sehat, karena penyakit juga merupakan gerbang masuknya godaan syaithan. Itulah yang terjadi pada diri salah seorang nabi Allah, Ayyub as, “Dan ingatlah hamba Kami Ayyub ketika dia memanggil Tuhannya sesungguhnya saya digoda syaitahn dengan penyakit dan derita saya” (Q.S. Shad [38]: 41). Betapa seringkali manusia mengumpat dan mencela, ketika mereka ditimpa penyakit. Bahkan ada sebagian manusia yang “menggerutu” kepada Allah bahkan berpaling dari agamanya.
Oleh karena itu, umat Muhammad saw. akan tetap sebagai uamt terbaik, jika memiliki iman yang kokoh melalui ilmu yang luas, kemapanan materi dan kesehatan jasamani dan rohani, mampu membawa kebaikan secara universal dan sanggup mencegah kebatilan baik individual maupun komunal. Bila ini tidak dimiliki maka umat terbaik hanyalah sebuah impian yang tidak akan pernah terwujud. Wallahu ‘alam
READ MORE - Profil Umat Pilihan

Kamis, 23 September 2010

Shalat Sebagai Formatur Akhlak Yang Sempurna

Beberapa bulan yang lalu, masih terlintas dalam ingatan kita munculnya imbauan NU atau Nadhatul Ulama agar jenazah koruptor tak perlu dishalati ulama ditanggapi banyak pihak. Banyak yang menentang. Tapi ada juga yang mengaku memahami. Hal itu diungkapkan Malik Madany, Sekjen Katib Am Syuriah Nahdlatul Ulama (NU). "Para koruptor itu tidak perlu dishalatkan para ulama, karena ulama itu para pewaris Nabi. Jadi cukuplah semacam Banser dan Garda Bangsa saja yang menshalatkannya," kata Malik Madani dalam peluncuran buku 'Koruptor itu Kafir' di Jakarta, Rabu (18/8 http://klikp21.com/politiknews/10812-jenazah-koruptor-jangan-dishalatkan). Dia mengutip sebuah hadist Nabi tentang seorang sahabat yang gugur di medan perang. Saat itu, kata dia, Nabi Muhammad hanya menyuruh orang lain menshalatkan jenazah sahabat yang gugur tersebut. Mendengar itu, penasaranlah para sahabat lain. Mereka kemudian bertanya kepada Nabi apa alasannya. "Nabi Muhammad menjawab, itu karena sang jenazah telah menggelapkan harta rampasan perang. Setelah dicek ditemukan manik-manik seharga tak lebih dua dirham," terang Malik. Atas dasar itu, lanjut Malik, NU menganggap jenazah para koruptor tidak perlu dishalatkan para ulama. Jenazah koruptor, cukup dishalatkan oleh orang awam saja. "Kewajiban tetap dishalati, tapi bukan oleh pemimpin," pungkasnya.
Sementara MUI atau Majelis Ulama Indonesia termasuk yang tidak setuju. Ketua Bidang Fatwa MUI Maruf Amin menyatakan, koruptor juga tetap merupakan orang Islam. Jika tidak dishalatkan, maka dosalah mereka yang tidak mau menshalatkan. Tulisan ini bermaksud mengajak pembaca untuk memahami esensi shalat sebagai formatur ahklak yang baik.
Setiap muslim hendaklah menyadari bahwa pelaksaan ibadah-ibadah mahdhah yang diperintahkan Allah; seperti shalat zakat, puasa, haji dan lain-lain, bukanlah hanya sekedar serangkain kewajiban yang jika dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan mendapat dosa. Akan tetapi, lebih jauh lagi bahwa semua ibadah yang diperinthkan Allah tersebut, mengandung ajaran akhlak yang sangat sempurna, jika saja setiap orang yang mengerjakannya mau dan mampu menghayati setiap rangkaiannya. Solat merupakan syariat Allah yang diturunkan kepada umat manusia. Ia digelar sebagai tiang agama. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad s.a.w. : ( maksudnya ) Pangkal semua urusan adalah Islam, tiangnya ialah solat dan puncak tertingginya ialah jihad ( Riwayat Tarmizi )
Solat adalah ibadah yang amat penting dalam Islam, ia diletakkan sebagai Rukun Islam yang kedua, sebagaimana sabda Nabi Muhammad s.a.w. : ( maksudnya ) Islam itu dibina atas lima perkara, persaksian bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad Rasullullah, menunaikan solat….. ( Riwayat Bukhari dan Muslim ).
Ia merupakan amalan pertama yang akan dihisab di akhirat : ( maksudnya ) Amalan yang mula-mula dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat ialah solat, Jika solatnya baik, baiklah keseluruhannya. Tetapi jika solatnya buruk, buruk semua umatnya. ( Riwayat Tarmizi dan Abu Daud )
Solat merupakan ibadah yang sempurna dan mempunyai berbagai hikmah, baik dari sudut kerohanian, emosi dan fisikal. Antara yang disebut oleh Allah di dalam Al-quran ialah solat sebagai pembentuk akhlak yang baik. Solat merupakan ibadah didikan Allah s.w.t. dalam membentuk akhlak seseorang muslim. Setiap orang Islam yang menghayati ibadah solat akan mempunyai keperibadian yang tinggi. Kerana didikan sempurna melalui solat oleh Allah s.w.t..

Tugasan yang saya lakukan ini adalah bertujuan mengenalpasti beberapa kaedah Allah s.w.t. mendidik akhlak manusia melalui solat bermula daripada syarat sahnya sehinggalah sesudah solat. Kerana sememangnya Nabi Muhammad s.a.w. itu telah diutuskan untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Sabda Nabi Muhammad s.a.w. ( maksudnya ) :
Sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak ( Riwayat Ahmad )
Shalat, seperti yang dikatakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya bahwa ia adalah tiang agama. Agaknya, jika setiap muslim yang mengerjakan shalat, mampu menghayati setiap gerakan dan bacaan shalatnya tentulah agama Allah ini akan terlihat begitu sempurna dan kokoh oleh umatnya di hadapan semua manusia. Dengan menghayati dan mengamalkan shalat dengan sempurna, tentulah setiap umat Islam akan menjadi pribadi-pribadi yang sempurna dan memiliki akhlak sempurna serta menjadi patron bagi umat lain.
Dalam beberapa ayat-Nya, Allah menyebutkan betapa shalat sesungguhnya adalah suatu ibadah yang bisa membentuk manusia agar memilki akhlak yang sempurna. Misalnya dalam surat al-Ankabut [29]: 45
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat di atas, Allah menegaskan bahwa shalat adalah suatu ibadah yang bisa mencegah manusia dari perbuatan keji (fakhsâ’) dan munkar. Fakhsâ’ adalah suatu perbuatan yang buruk dan mendatangkan keburukan, baik bagi pelaku maupun orang lain dan lingkungan. Salah satu di antaranya adalah zina yang Allah sebutkan sebagai perbuatan fakhsâ’ (lihat: Q.S. al-Isra’ [17]: 32). Sementara munkar adalah perbuatan yang tidak dikenal sebagai suatu kebaikan. Lawanya adalah ma’ruf (sesuatu yang dikenal sebagai kebaikan). Munkar bukan saja perbuatan yang melanggar aturan Allah, akan tetapi juga aturan yang buat dan dianggap baik di tengah suatu masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Oleh karena itu, seorang yang benar-benar melakukan shalat dengan penuh penghayatan terhadap apa yang dilakukannya, pastilah dia tidak akan pernah melakukan suatu pelanggaran, baik terhadap aturan Allah maupun aturan masyarakat. Pastilah seorang yang benar-benar melaksanakan shalat, tidak akan pernah melakukan perbuatan yang membuat orang lain risih, tersinggung atau terusik. Bagaimana mungkin, seorang yang benar-benar melaksanakan shalat berani melanggar aturan Allah, sebab bukankah di awal shalatnya dia telah mengakui Kemahabesaran Allah melalui ucapan takbir? Begitu juga, bagaimana mungkin seorang yang benar-benar melaksanakan shalat akan melakukan sesuatu yang akan mengganggu dan mengusik ketenangan orang lain, sebab bukankah di akhir shalatnya dia menebarkan kedamaian, keselamatan dan ketenangan bagi orang di sekitarnya melalui salam?
Seorang yang benar-benar shalat akan menjadi manusia yang memilki akhlak sempurna dengan shalatnya, karena didasarkan kepada tujuan pelaksanaan shalat itu sendiri. Dalam surat Thaha [20]: 14 Allah swt berfirman
Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
Begitulah tujuan shalat yang disebutkan Allah, yaitu agar manusia selalu ingat kepada-Nya. Jika seseorang selalu mengingat dan merasakan kehadiran Allah bersamanya, bagaimana mungkin akan berani melakukan suatu pelanggaran atau perbuatan dosa? Bukankah seseorang berani berbuat dosa dan melanggar suatu aturan, karana saat itu dia tidak menyadari kehadiran dan kebersamaan Allah dengannya?
Selanjutnya, jika manusia selalu mengingat dan merasakan kehadiran Allah bersamanya, maka Allah pun memberikan jaminan bahwa Dia akan selalu meningat dan menyertai hamba-Nya tersebut, dan tentu saja akan memberikan pertolongan kepadanya. Begitulah jaminan Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 154
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.”
Jika seseorang selalu mengingat dan merasakan kehadiran Allah bersamanya, Allah pun akan selalu menyertai hamba-Nya. Selanjutnya syaithan pun tidak akan pernah berani menggangu dan menggodanya. Bukankah perbuatan keji dan munkar itu bersumber dari godaan syaitan? Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat an-Nur [24]: 21
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dengan demikian, jika seseorang benar-benar melaksanakan shalat, maka dia akan selalu merasakan kehadiran Allah bersamanya. Jika dia selalu merasakan kehadiran Allah, maka Allah pun akan selalu menyertainya dan memberikan pertolongan-Nya. Hal itulah yang membuat manusia terhindar dari segala perbuatan dosa, baik terhadap Allah maupun makhluk lain. Begitulah shalat membentuk manusia agar memiliki akhlak yang sempurna.
Ayat lain yang menegaskan bahwa shalat sebagai pembentuk manusia yang berakhlak mulia, adalah surat al-Ma’arij [70]: 19-23
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19). Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (20). Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir(21). Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat (22). Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya (23).”
Jika seseorang benar-benar melaksanakan shalat dan menghayati setiap apa yang dibaca dan dilakukannya, pastilah dia akan terhindar dari sikap-sikap buruk yang disebutkan Allah di atas. Bagaimana mungkin seseorang yang benar-benar shalat akan keluh kesah jika ditimpa kesulitan, karena bukankah di awal shalatnya dia telah menyerahkan segalanya kepada Allah melalui do’a iftitah? (“Sesungguhnya shakatku, ibadahku, hidupku, matiku, semua telah aku serahkan kepada Allah”). Bagaimana mungkin seseorang akan kikir dan merasa angkuh, sombong, serta tidak butuh orang lain ketika mendapatkan ni’mat, sebab bukankah ketika shalat dia ruku’ dan sujud yang merupakan pernyataan akan kehinaan dan kelemahanya sebagai makhluk? Atau bukankah dia selalu menutup shalatnya dengan mendo’akan orang lain yang ada di sekitarnya agar memperoleh keselamatan dan kedamaian melalui ucapan salam sebagai bukti kepeduliannya kepada sesama?
Begitulah shalat yang jika benar-benar dihayati oleh setiap umat Islam, tentulah Islam dan umatnya akan menjadi panutan bagi seluruh makhluk. Betapa hari ini kita saksikan umat Islam belum bisa memberikan contoh akhlak yang sempurna kepada manusia lain, bahkan cendrung menjadi perbandingan negatif bagi peradaban yang dibangun manusia, salah satu jawabannya adalah bahwa setiap ibadah yang dilaksanakan umat Islam baru sebatas ritual yang bersifat rutinitas dan simbolik. Sehingga, ibadah yang serat dengan nilai-nilai luhur dan akhlakul karimah belum lagi mampu membentuk jiwa dan kepribadian mereka.
READ MORE - Shalat Sebagai Formatur Akhlak Yang Sempurna

Rabu, 22 September 2010

Madu, Mangkuk Indah, dan Sehelai Rambut

Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa suatu ketika Rasulullah saw bersama sahabat-sahabat beliau; Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib dan Fathimah. Layaknya tamu, Ali bin Abi Thalib dan isterinya Fathimah menyambut kedatangan mereka, kemudian disuruh masuk dan dipersilahkan duduk. Beberapa saat kemudian, Fathimah ke dapur mencari hidangan untuk Rasulullah saw; ayahnya dan sahabat-sahabatnya. Adapun hidangan yang dibawa Fathimah adalah madu yang diletakan di sebuah mangkuk yang indah.
Ketika madu yang berada dalam mangkuk tersebut berada di tengah mereka, Rasulullah saw melihat sehelai rambut di dekatnya. Kemudian Rasulullah saw mengambil ketiganya; madu dengan mangkuk dan sehelai rambut tersebut. Maka Rasulullah saw berkata kepada semua sahabatnya, “Coba kamu membuat perumpamaan dari yang tiga ini; madu, mangkuk dan sehelai rambut!”. Masing-masing mereka kemudian membuat perumpamaan.
Giliran pertama dipersilahkan kepada Abu Bakar as-Shiddiq, dia berkata “Iman itu lebih manis dari madu, orang yang beriman lebih cantik dari mangkuk yang indah ini, namun mempertahankan iman atau mencari orang yang mampu mempertahankan imannya sampai dia meninggalkan dunia ini, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Rasulullah saw berdecak kagum dengan perumpamaan Abu Bakar.
Selanjutnya Umar bin Khattab dipersilahkan, dan dia berkata “Kekuasaan itu lebih manis dari madu, orang yang berkuasa/penguasa/ pemimpin lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun berkuasa secara adil atau mencari orang yang mampu berlaku adil terhadap kekuasaannya, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut.” Rasulullah saw memuji perumpamaan Umar bin Khattab.
Kesempatan selanjutnya diberikan kepada Utsman bin Affan, dia berkata “Ilmu itu lebih manis dari madu, orang berilmu lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mencari orang berilmu yang mampu mengamalkan ilmunya dengan sempurna, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Bagus, sambut Rasullah saw.
Kemudian kesempatan diberikan kepada Ali bin Abi Thalib, dia berkata "Tamu itu lebih manis dari madu, orang yang menerima tamu lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mencari orang yang mampu menyambut tamunya dengan hangat dan mesra dari mulai kedatangan mereka sampai saat mereka meninggalkan rumah tanpa kurang sedikitpun, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut". Rasulullah saw tersenyum sambil mengagumi perumpamaan Ali bin Abi Thalib.
Fathimah juga diberi kesempatan untuk membuat perumpamaan, dia berkata “Wanita itu lebih manis dari madu, wanita yang shalihah lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mancari wanita yang tidak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya saja, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Rasulullah saw pun memuji perumpamaan Fathimah.
Sekarang kesempatan Rasulullah saw membuat perumpamaan, beliau berkata “Amal itu lebih manis dari madu, orang yang beramal lebih cantik dari mangkuk yang indah ini, namun mencari orang beramal yang ikhlas dalam mengerjakan amalnya itu, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”. Allah swt kemudian melalui Rasulullah saw juga membuat perumpamaan, "Sorga-Ku lebih manis dari madu, keindahan sorga-Ku lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun jalan menuju sorga-Ku susahnya sama dengan meniti sehelai rambut”.
Semua perumpamaan di atas pada hakikatnya, bukan berarti sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, namun lebih menunjukan arti susahnya berbuat yang demikian itu. Yaitu, susahnya mempertahankan keimanan, berlaku adil terhadap amanah berupa kekuasaan, mengamalkan ilmu dengan sempurna, memuliakan tamu secara sempurna, wanita yang benar-benar bersih dan terjaga, beramal dengan ikhlas serta mendapatkan sorga Allah. Kalaupun itu ditemukan maka amat sedikit yang mampu melakukannya.
Diposkan oleh luthfi di 21:35
Label: ceramah dan khutbah
0 komentar:

Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
READ MORE - Madu, Mangkuk Indah, dan Sehelai Rambut

Selasa, 21 September 2010

Halal Bil Halal, Bukan Haram Bil Haram

Sudah merupakan tradisi tahunan yang dilakukan kaum muslimin dan muslimat di Indonesia umumnya setelah merayakan lebaran (idul fitri) mengatualisasikan halal bil halal di tempat kediaman masing-masing. Hal ini dilakukan sepulang mudik dari kampung halaman sebagai bentuk silaturrahim, karena tidak sempat bertatap muka secara langsung ketika idul fitri berlangsung. Meminjam istilah Quraisy Shihab term halal bil halal berarti hallun bi hallun yang bermaksud membuka sesuatu yang menyesakkan atau melepaskan buhul-buhul yang menyempitkan dada. Artikulasi halal bil halal di sini lebih menargetkan pembukaan kran maaf dan lapang dada. Tentulah kran ini akan terbuka lebar dengan cara bersilaturrahmi yang sebenarnya tidak hanya terjebak dalam formalitas tahunan dan basa basi mingguan bahkan bulanan. Selesai acara halal bil halal digaungkan dengan penuh seremonial, apalagi sampai mengundang ustadz atau penceramah kondang sehingga ukhuwah (persaudaraan) yang ditanamkan kembali layu ditelan kesibukan dan dimakan oleh kecuekan, ketidak pedulian terhadap sesama. Tulisan ini bermaksud mengajak pembaca untuk menelusuri halal bil halal yang diinginkan Allah swt dan didambakan rasulNya.
READ MORE - Halal Bil Halal, Bukan Haram Bil Haram

Kamis, 02 September 2010

Nuansa Puasa Dan Ekonomi Islam

Ekonomi diartikan sebagai segala bentuk kegiatan, prilaku, aktifitas manusia yang berhubungan dengan kegiatan mencari uang dan membelanjakannya. Oleh karena itu, ketika kita membicarkan ekonomi Islam, maka keterkaitannya dengan ibadah puasa sangat besar. Di antara keterkaitannya adalah sebagai berikut;
Pertama, Tujuan puasa adalah agar manusia memperoleh kedudukan sebagai orang yang bertaqwa. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 183. Sementara, landasan mencari uang juga taqwa, seperti disebutkan dalam surat ath-Thalaq [65}; 2-3
“….Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar (2). Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya…(3).”
Dengan demikian, orang yang puasanya benar, maka usahanya dalam mencari uang dan membelanjakannya juga benar. Sebaliknya, yang tidak benar dalam mencari uang, dipastikan bahwa puasanya juga tidak benar. Agaknya, itulah hikmahnya kenapa Hajar isteri Ibarhim as. berlari mencari air kehidupan untuknya dan anaknya dengan memulainya dari Shafa (bersih/suci) serta mengakhirinya di Marwa (tempat kepuasan). Sehingga, yang mencari dan mendapatkan harta dengan cara yang bersih, suci dan baik, dia akan mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan.
Kedua, Puasa melahirkan kepedulian dan sikap berbagi. Hal itu terlihat dari bentuk ritual ibadah puasa menahan haus dan lapar yang berarti ikut bersimpati, berempati serta merasakan kesusahan orang lain. Akhirnya, puasa ditutup dengan membayarkan zakat fitrah kepad fakir miskin, sebagai wujud kepedulian sosial.
Sementara itu, ekonomi Islam juga berdasarkan asas saling membantu dan berbagi dengan sesama. Begitulah yang disebutkan Allah swt. dalam surat az- Zukhruf [43]:32
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Begitu juga yang disebutkan dalam surat al-Hasyar [59]: 7
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”.
Dalam syari’at Islam dikenal dua bentuk shadaqah wajib. Pertama disebut zakat mal (zakat harta), seperti zakat hasil pertanian, binatang ternak, harta perniagaan, emas dan perak dan sebagainya. Kedua, disebut zakat fitrah yaitu sedekah harta yang dikeluarkan untuk diberikan kepada orang tertentu dengan tujuan mensucikan jiwa, menambal kekurangan ibadah puasa dan sekaligus manifestasi dari ibadah puasa itu sendiri. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw
“Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensucian orang yang puasa dari hal-hal yang sia-sia dan dari perkataan dosa, maka siapa yang membayarkannya sebelum shalat ‘îd maka itulah zakat yang diterima Allah, namun siapa yang membayarkannya setelah shaalt ‘îd maka ia sama dengan sedekah biasa.”(H.R. Abu Daud)
Dengan demikian, zakat fitrah sama dengan sujud sahwi dalam shalat yang berfungsi menyempurnakan kekurangan dan kesalahan kecil yang dilakukan dalam berpuasa. Sehingga, bagi yang tidak berpuasa agaknya kewiban zakat fitrah tidaklah ada padanya. Karena ibarat kain, zakat fitrah berfungsi sebagai penambal bagi sobekan yang terdapat pada kain tersebut. Bagaimana jika kain yang akan ditambal itu tidak ada, yang ada hanyalah penambalnya saja? Tentu hal ini suatu kesia-siaan belaka.
Zakat fitrah dinamakan demikian, karena bertujuan mensucikan jiwa manusia dari kotoran berupa dosa. Sebab, tujuan ibadah puasa adalah menjadikan manusia kembali ke asal kejadiaanya; yaitu suci seperti yang diterangkan Allah dalam surat Shad [38]: 71-72. Namun, kesucian itu mulai ternoda ketika manusia melakukan suatu dosa. Sementara dosa yang mengotori rohani manusia dan yang membuat manusia jauh dari asalnya; Tuhan, salah satu cara menghapus dan mengembalikannya kepada kesuciannya adalah melalui ibadah, di antaranya puasa. Seperti sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim “Siapa yang berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan perhitungan yang mantap Allah akan mengampuni semua dosanya yang telah berlalu” .
Akan tetapi, sebagai manusia tentulah pelaksanaan ibadah tidak luput dari salah dan kekurangan, yang bisa merusak kesempurnaanya. Kekurangan dan kesalahan dalam pelaksanaan ibadah Ramadhan itulah yang ditambal dengan zakat fitrah, sehingga manusia benar-benar bisa kembali ke asal kejadiannya yaitu suci dari dosa dan kesalahan.
Zakat fitrah diwajibkan bagi setiap muslim yang mardeka, dan memiliki kecukupan harta atau belanja, untuk dirinya dan keluarganya, serta orang-orang yang menjadi tanggungannya untuk hari raya dan malamnya. Oleh karena itu, bagi yang tidak shalat atau puasa maka tentu tidak ada kewajiban zakat fitrah padanya karena prinsipnya dia bukanlah seorang muslim, sekalipun dia masih tetap mengaku muslim. Sebab, muslim itu sendiri berarti tunduk,patuh dan taat. Sedangkan jika dia tidak shalat dan tidak puasa bagaimana mungkin akan disebut sebagai orang yang tunduk, patuh atau taat.
Begitu juga, seorang budak tidaklah wajib membayar zakat fitrah, karena zakat hanya wajib bagi yang memiliki harta. Sedangkan budak adalah bagian dari harta itu sendiri. Dan terakhir, zakat fitrah tidak wajib yang tidak memiliki kelebihan harta untuknya, dan keluaraga, serta orang yang menjadi tanggungannya untuk selama hari raya dan malamnya. Jika terdapat kelebihan, maka wajib membayar zakat fitrah sesuai kelebihan itu. Namun, jika kelebihannya banyak maka zakat fitrah dibayar sesuai ukuran dan ketentuan yang berlaku.
Adapun waktu wajib zakat fitrah, adalah mulai terbenam matahari malam ‘îd al-fihtri sampai sebelum dilaksanakannya shalat ’îd. Dengan demikian, kewajiban membayar zakat fitrah adalah bagi yang mendapatkan pertemuan dua masa; yaitu akhir Ramadhan dan awal satu Syawal. Oleh karena itu, tidaklah wajib zakat fitrah bagi;
1. Anak yang lahir setelah terbenam matahari akhir Ramadhan, karena dia hanya mendapatkan satu masa yaitu awal Syawal, dan tidak mendapatkan Ramadhan.
2. Suami yang menikahi isterinya setelah terbenam matahari akhir Ramadhan.
3. Seorang budak yang mardeka setelah terbenam matahari akhir Ramadhan.
4. Orang yang kaya mendadak setelah terbenam matahari akhir Ramadhan
5. Orang yang masuk Islam setelah terbenam matahai akhir Ramadhan.
Sementara itu zakat fitrah wajib bagi;
1. Orang yang meninggal setelah terbenam matahari akhir Ramadhan, karena dia telah hidup dan bertemu dua masa yaitu Ramadhan dan awal Syawal. Berbeda halnya, jika meninggalnya sebelum terbenam matahari, maka tidaklah wajib zakat fitrah.
2. Seorang tuan yang memerdekakan budaknya setelah terbenam matahari akhir Ramadhan.
3. Seorang suami yang mentalak isterinya setelah terbenam matahari akhir Ramadhan
4. Seorang yang hilang kepemilikan atau kekayaannya (miskin mendadak) setelah terbenam matahari akhir Ramadhan.
Namun demikian, pembayaran zakat fitrah boleh dilakukan semenjak awal Ramadhan. Dan yang lebih afdhal menurut jumhur ulama menjelang shalat ‘îd. Namun, kalangan Hanafiyah berpendapat pembayaran zakat fitrah sebaiknya dilakukan dua hari atau tiga hari sebelum Ramadhan berakhir, agar orang fakir dan miskin yang menerimanya, bisa membelanjakannya sesuai keperluan untuk menyambut hari raya. Dan hukumnya menjadi haram, jika dibayarkan setelah selesai shalt ‘îd, tetapi kewajiban membayar tidak gugur karena terlambat.
Dalam pembayaran zakat fitarh masih ada ketentuan lain yang di atur menurut syari’at, di antaranya;
1. Tidak wajib bagi suami membayarkan zakat fitrah, bagi istrinya yang durhaka. Sebab, zakat fitrah bagian dari kewajiban suami terhadap isteri, sementara isteri yang durhaka tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.
2. Tidak wajib bagi suami yang miskin membayarkan fitrah isterinya yang kaya, dan kewajiban isterinya pun menjadi gugur, karena dia adalah tanggungan suaminya.
3. Tidak wajib bagi ayah membayarkan zakat fitrah anaknya yang belum dewasa tetapi kaya. Kewajiban berlaku bagi si anak itu sendiri dengan hartanya.
4. Tidak wajib bagi ayah membayarkan zakat fitrah bagi anak yang lahir dari perzinaan, tetapi kewajiban adalah bagi ibunya. Sebab, anak zina dia hanya memiliki ayah secara biologis, tetapi tidak memiliki ayah secara syar’i.
5. Wajib bagi tuan membayarkan zakat pembantunya.
6. Wajib dibayarkan zakat fitrah oleh sebuah keluarga, untuk anggota keluarganya yang hilang sampai dipastikan meninggalnya. Sebelum ada kepastian tentang kematiannya selama itu pula wajib dibayarkan zakat fitrahnya
Pentingnya Sebuah Kebersamaan

Manusia, seperti yang dijelaskan Allah swt dalam surat an-Nisa’ [4]: 28 adalah makhluk yang lemah. Bahkan, isyarat tersebut dengan jelas juga Allah sebutkan dalam salah satu ayat-Nya dari wahyu pertama yang diturunkan, surat al-‘Alaq [96]: 2, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari ‘Alaq. ‘Alaq secara harfiyah artinya sesuatu yang menggantung. Hal itu mengisyaratkan bahwa semenjak awal penciptaannya, manusia adalah makhluk yang memiliki ketergantungan kepada pihak lain disebabkan kelemahan manusia itu sendiri. Oleh karena itulah, manusia dalam kehidupannya memiliki kecendrungan untuk hidup secara bersama dan berkelompok.
Dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi saw, banyak ditemukan perintah untuk membangun kebersamaan itu. Seperti dalam surat Ali ‘Imran [3]: 103
Begitu juga dalam hadits Rasulullah saw, misalnya “Bersama itu adalah rahmat, dan berpecah itu “Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali agama Allah secara bersama dan janganlah kamu semua bercerai berai…”
adalah laknat”. Bahkan, kebersamaan itu bukan hanya perlu dalam kehidupan bermasyarakat, namun juga diperlukan dalam beribadah. Oleh karena itu, Rasulullah saw bersabda “Shalat berjama’ah lebih baik dari shalat sendiri dengan perbedaan 27 derajat”. Oleh karena itu, dalam setiap shalat kita selalu membaca;
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta tolong.”
Ungkapan “kami” pada kata na’budu wa nasta’în pada ayat tersebut tidak boleh dirobah dengan kata “saya” (a’budu wa asta’în), ketika shalat dilakukan sendiri. Ungkapan “kami” selalu dibaca, baik ketika shalatnya berjama’ah maupun shalat sendiri. Hal itu memberikan sebuah isyarat betapa pentingnya sebuah kebersamaan.
Di antara keuntungan bersama dalam ibadah dan mohon pertolongan adalah, bahwa ibadah yang dilakukan secara bersama akan dapat menutupi kekurangan ibadah yang lain yang kurang sempurna. Ibarat membeli buah, jika yang dibeli satu buah, tentulah sang pembeli akan memeriksanya secermat mungkin, sehingga jika ditemukan sedikit saja cacat mungkin transaksi akan dibatalkan atau diganti yang lain. Akan tetapi, jika sang pembeli membelinya satu karung atau satu truk, tentu saja dia tidak akan menelitinya satu persatu, karena kalaupun nanti ditemukan ada satu, dua, atau lebih yang cacat, maka akan tertutupi oleh yang bagus dengan jumlahnya yang lebih banyak . Begitu juga ibadah yang dilakukan secara bersama, Allah swt akan menerimanya secara kolektif, dan kekurangan dari satu atau dua orang bisa disempurnakan dengan kesempurnaan ibadah yang lainnya. Bukan bermaksud mengatakan Allah kurang teliti dalam hal ini, tetapi begitulah keuntungan berjama’ah dalam ibadah.
Begitu juga pertolongan yang diminta secara bersama, akan lebih didengarkan dan dikabulkan oleh tempat meminta daripada meminta pertolongan secara sendiri-sendiri. Sama halnya dengan ketika seseorang pergi ke kantor DPR sendiri, lalu berteriak mengajukan keinginannya. Tentulah keingian tersebut tidak akan didengarkan orang atau mungkin sekali dia akan ditangkap, karena dianggap mengganggu kenyamanan atau dikira sebagai orang gila. Namun, jika keinginan itu disampaikan secara bersama atau dalam bentuk demonstrasi, tentulah akan didengarkan dan kabulkan. Begitu juga halnya, dengan permohonan kepada Allah swt, bukan berarti Allah takut kepada banyaknya jumlah manusia, akan tetapi begitulah keuntungannya sebuah kebersamaan.


Namun demikian, dari ayat di atas kita juga harus memahami bahwa permohonan diajukan setelah terlebih dahulu melakukan perintah tempat mengajukan permohonan (ibadah). Artinya, bahwa tuntutan dikemukan setelah terlebih dahulu memenuhi kewajiban yang sudah ditentukan. Oleh karena itu, idealnya dalam kehidupan ini, adalah mendahulukan pelaksanaan kewajiban dari pada menuntut hak, dan jangan sebaliknya. Sebab, jika kewajiban sudah dipenuhi secara sempurna, maka hak dengan sendirinya akan diterima
Ketiga, Puasa menghasilkan kejujuran. Sebab, ketika seseorang melaksanakan ibadah puasa, sekalipun dia tidak dilihat oleh orang lain, namun dia tetap tidak makan dan minum. Sebab, dia tahu bahwa Allah melihat segala perbuatannya. Begitulah puasa menjadikan seseorang berprilaku jujur. Sementara ekonomi Islam juga dibangun atas dasar kejujuran, seperti disebutkan dalam surat ar-Rahman [55]: 7-9
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) (7). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu (8). Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (9).”

Keempat, Puasa mendidik keinginan dan membuang sikap tamak, rakus. Bukankah seorang bersedia meninggalkan makan dan minum serta berhubungan dengan isterinya sekalipun semua itu halal dan miliknya sendiri. Sebab, dia tahu hal itu belum saatnya.
Sedangkan untuk sesuatu yang sudah hala dan miliknya sendiri, masih bisa dia menahan diri tidak menyentuhnya, apalagi terhadap harta dan sesuatu yang bukan miliknya. Begitulah puasa menjadikan seseorang mampu menahan dan mengendalikan keinginannya.
Sementara, ekonomi Islam juga didasarkan jauh dari sikap rakus, tamak apalagi menghalalkan segala cara. Lihat firman Allah dalam surat at-Taktsur [102]: 1-2
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu (1). Sampai kamu masuk ke dalam kubur (2).”
Kelima, Puasa menyadarkan manusia akan kehidupan akhirat, sehingga tidak terlalu berambisi dengan harta dan menjadikannya tujuan hidup. Ekonomi Islam juga tidak menjadikan harta sebagai tujuan dan terlalu mencintainya. Dalam surat al-Humazah [104]: 1-2, Allah swt berfirman;
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (1). yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya (2)”.
Keenam, Puasa adalah ibadah yang bertujuan menanamkan nilai-nilai kebersamaan, mulai dari menahan, berbuka dan seterusnya, dan juga nilai penghormatan pada yang lain. Tidak ada perbedaan imsak (menahan) antara orang kaya dan miskin. Begitu juga, tidak ada perbedaan waktu berbuka antara yang kaya dan miskin. Semua yang berpuasa menahan dan berbuka dalam waktu yang sama, terlepas dari apa status dan kedudukan mereka. Begitu juga, sekalipun berbuka karena rukhsah, naman makan dan minum harus jauh dari orang yang sedang berpuasa.
Ekonomi Islam juga dibangun atas dasar saling menghormati. Oleh Karena itu, haram menawar barang yang sedang ditawar orang lain. Begitulah hubungan antra ibadah puasa dan ekonomi Islam.
READ MORE - Nuansa Puasa Dan Ekonomi Islam