marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Kamis, 04 November 2010

Mengambil hikmah dari gempa

Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. ( QS Al Zalzalah : 99:1-5)
Sudah hampir seminggu gunung berapi dan gempa menerpa negeri tercinta ini dan menurut info terupdate masih berlanjut (www.detiknews.com)sehingga meninggalkan duka dan kesedihan bagi para korban. Tatapan kesedihan itu tercermin jelas dengan kematian keluarga yang dicintai dan lenyapnya harta yang disayangi oleh sebahagian para korban yang masih hidup. Ratapan tangis pun memuncak ketika tiba perasaan kesal serta pikiran untuk memulihkan kehidupan yang sudah hancur.
Ketika kita dihadapkan dengan panorama bencana: mayat-mayat berserakan, rumah-rumah runtuh, orang-orang terluka dan para pengungsi ‘kleleran’, apa yang berjumpalitan di benak kita?. Apakah yang kita rasakan?.
Sakit.
Itulah yang terjadi berulang-ulang di tanah air kita dua tahun belakangan ini: sejak gempa di Nabire, Tsunami di Aceh dan Nias, --kini—gempa di Yogyakarta dan Gunung Merapi yang masih mengeluarkan asap panas. Ketika panorama itu diputar berulang-ulang, apakah yang kita rasakan?.
Lebih sakit.
Guncangan gempa, hempasan Tsunami dan gelegak lahar itu terus-menerus menggempur hati kita, meninggalkan luka yang masih menganga. Apakah kita mesti mengeluh, “mengapa yang terus datang adalah derita demi derita, gelap di atas gelap?”.
Gelap --yang seperti pakaian-- membalut tubuh bangsa kita. Gelap yang kita sendirilah penyebab pekat dan ketakberanjakannya. Hutan-hutan kita tebangi tanpa keseimbangan; tambang-tambang kita gali habis-habisan; korupsi jadi kebanggaan, belum lagi anggaran dipangkas demi kepentingan individual atau kelompok alih-alih studibanding ke luarnegeri, padahal hakikatnya wisata jasmani; moral bangsa hanyut dibawa banjir bandang. Tindak aniaya adalah kegelapan. Demikian pesan al-Qur’an.
Akan tetapi, gelap adalah juga tempat melatih kebeningan, mempertajam perenungan dan –dengan jujur—mengakui kesalahan-kesalahan. Malam menjelang subuh adalah saat terintim manusia dengan Tuhannya.
Letusan gunung berapi, gempa dan tsunami itu adalah bencana. Setiap bencana itu menyakitkan. Sehingga rasulullah SAW mengaskan dalam hadistnya ketika salah seorang sahabat beliau Ikramah datang ke rumahnya dan didapati lampu rumah nabi padam kemudian rasulullah mengucapkan istirja’ : Innaa lillahi wa innaa ilaihi raj’un ( kita adalah milik Allah dan akan kembali kepadaNya). Ikramah bertanya: “kenapa rasullullah mengucapkan istirja’ padahal hanya lampu yang padam? Nabi menjawab: segala sesuatu yang menyakitkan kita itu adalah musibah (bencana) meskipun lampu padam.
Alqur’an telah banyak memberikan kepada umat ini pelajaran-pelajaran berharga tentang bangsa dan umat sebelum kita yang ditimpakan berbagai bencana. Di antaranya: Pembangkangan dan kedurhakaan umat nabi Nuh, diselesaikan oleh Allah dengan mendatangkan badai Topan/ al-thaufân. (Q.S. al-Ankabut [29]: 14. Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Hud, diakhiri Allah dengan mendatangkan angin yang sangat dingin dan kencang (rihun sharsharun), sehingga menghancurkan tubuh-tubuh mereka seperti tunggul kayu yang lapuk (Q.S. al-Haqqah [69]: 6). Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Shalih, Allah balas dengan ledakan gunug api (al-rajfatu), sehingga menghancurkan tubuh-tubuh mereka (Q.S. al-A’raf [7]: 78). Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Luth, disudahi Allah dengan mendatangkan hujan batu (matharun min al-hijârat), sehingga merekapun binasa (Q.S. Hud [11]: 82). Kedurhakaan dan pembangkangan umat nabi Musa, diakhiri Allah dengan mendatangkan petir (al-Shâ’iqati) lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 55. Pembangkangan dan kedurhakaan bangsa Saba’ setelah Sulaiman diakhiri Allah dengan mendatangkan banjir bandang (sailul ‘iram), sehingga negeri mereka menjadi kering, gersang dan tandus dan merekapun kelaparan.
Ternyata, semua bentuk azab ataupun peringatan yang pernah diturunkan Allah tidak mengambil satu bentuk dan satu subjek saja. Oleh karena itu, jika gempa dan tsunami telah didatangkan Allah sebagai bentuk azab ataupun peringatan, maka andaikata bencana akan tetap terjadi maka ia akan mengambil bentuk dan subjek lain. Sebab, tentara Allah bukan hanya gempa atau air. Masih banyak lagi tentara dan senjata Allah yang bisa dijadikan sarana menghukum atau menegur mahkluk-Nya.
Masih terlintas dari ingatan kita gempa yang terjadi di Sumatera Barat, Rabu (30/09/09), yang meluluh lantahkan ranah minang.
Sehari setelah kejadian gempa, beredar kabar -di antaranya lewat pesan singkat (SMS) dan situs jejaring sosial facebook- yang mengaitkan waktu terjadinya gempa dengan surat dan ayat yang ada di dalam al-Qur'an.
"KETAHUILAH…. Gempa di Padang terjadi pada pukul 17.16, coba lihat QS. 17.18.. Kemudian gempa susulan terjadi pada pukul 17.38, lihat QS. 17:58.. Gempa di Padang terjadi pada tanggal 30 bulan 9, lihat QS. 30:9.." demikian bunyi pesan singkat yang beredar. Siapa yang membuka ayat-ayat di atas akan menyadari bahwa musibah itu memang layak menimpa negeri ini”.
QS. Al Israa’(17) ayat 16: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
QS. Al Israa’(17) ayat 58: “Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuz).”
QS. Ar-Ruum (30) ayat 9: "Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku dzalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku dzalim kepada diri sendiri."
Tiga ayat di atas, yang dikaitkan dengan waktu kejadian gempa di Sumbar, berbicara perihal azab Allah berupa kebinasaan suatu penduduk negeri. Bahwa kebinasaan dan kehancurannya disebabkan oleh tingkah laku penduduknya dengan melakukan kedurhakaan kepada Allah. Bukan Allah berlaku dzalim terhadap mereka, tapi merekalah yang telah mendzalimi diri mereka sendiri.
Dan ketika Allah akan menurunkan adzab kebinasaan kepada suatu penduduk negeri maka diadakan di antara mereka para pemimpin yang suka hidup mewah dan kufur kepada Allah, sehingga mereka menyeru rakyatnya kepada kekufuran, maka ketika mereka melakukan hal itu tiba saatnya adzab turun.
Dan ketika Allah akan menurunkan adzab kebinasaan kepada suatu penduduk negeri maka diadakan di antara mereka para pemimpin yang suka hidup mewah dan kufur kepada Allah, sehingga mereka menyeru rakyatnya kepada kekufuran, maka ketika mereka melakukan hal itu tiba saatnya adzab turun.
Kekufuran para pemimpin ini sudah terlalu lama, yaitu dengan menolak hukum Allah (syariat Islam), menggantinya dengan produk hukum manusia. Contohnya demokrasi. Syariat dikesampingkan, tradisi dan aturan hidup yang menyelisihi Islam dibudidayakan. Akhirnya yang diharamkan oleh Islam dihalalkan, begitu juga sebaliknya. Para mujahid dihabisi, sementara penjahat dilindungi.
Tentang ada atau tidaknya kaitan antara ayat-ayat di atas dengan bencana tidak ada satu dalil sharih yang menunjukkannya. Namun, semestinya bencana menjadi pelajaran bagi kita. Introspeksi dan muhasabah terhadap kesalahan dan kedurhakaan kepada Allah harus segera dilakukan, supaya musibah tidak terulang. (voa-islam) Dengan menjadi ûlûl al-albâb (orang-orang yang berpikir jernih)
LANTAS, bagaimana kita mesti mengambil hikmah dari gempa?.
Kalau kita melihatnya hanyalah sekedar peristiwa alam, ilmu pengetahuan memberikan jawaban. Akal yang bekerja disini –mengutip Dr. Taha Abdurrahman, filosof Maroko-- disebut akal mulki ; akal yang menghasilkan pengetahuan.
Akal macam ini memberi kita pengetahuan bagaimana gempa bumi terjadi; bagaimana membuat sistem peringatan dini sebelum ia terjadi; bagaimana mengkonstruk bangunan tahan gempa; bagaimana menyiapkan masyarakat untuk tepat bertindak menjelang, ketika dan setelah gempa terjadi; bagaimana menyiapkan capacity building sistem penangananbencana yang kokoh-efekif ; dan seterusnya. Pemerintah dengan segala perangkat dan fasilitas yang dimilikinya paling bertanggung jawab menyediakan semua ini.
Negara-negara sekuler dan lembaga-lembaga internasional biasanya melihat bencana dari perspektif ini. Dalam konteks bencana alam, reaksi mereka bisa dirunut: ikut belasungkawa, memberi bantuan kemanusiaan (barang atau uang), memperingatkan negara korban agar membangun early warning system dan membantu negara bersangkutan untuk rekonstruksi pasca bencana. Selepas itu, kondisinya kembali ke status quo: aktivitas mereguk habis-habisan kenikmatan dunia kembali dibuka; struktur dunia yang tidak adil tetap lestari dan dunia kembali berputar dengan segala perangkat dan nilainya yang berlaku de facto.
Namun kalau kita melihat gempa dari perspektif nilai(akal malakuti), persoalannya menjadi lain. Akal macam ini mengantarkan seseorang pada keimanan. Bahwa segala peristiwa di dunia ini adalah ayat (tanda yang mengandung nilai) Allah SWT untuk mengajar manusia yang mau menggunakan kecerdasan otak dan hatinya (ulul albab).
Gempa –dalam perspektif ini—bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan alam terhadap keserakahan dan kezaliman manusia; sebagai warning system proteksi Allah SWT terhadap manusia --bahwa dengan kekuasaan-Nya manusia bisa diserang kehancuran kapan saja, oleh banjir, angin topan, gunung meletus dan lain-lain--; sebagai media untuk menguji kesabaran dan kekokohan mental sebuah komunitas untuk meraih masa depan yang lebih baik. Semakin dalam perenungan dengan akal malakuti, semakin banyak makna dan kearifan yang bisa digali.
Orang beriman melihat musibah sebagai ujian. Ia akan keluar menjadi sosok yang lebih kuat setelah musibah berlalu. Kalau ia harus kembali menghadap Penciptanya sekalipun, semboyannya adalah innalillah wa inna ilahi raji’un, segalanya berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya. Musibah yang menjadi ujian itu memberikan kesempatan kepada orang beriman untuk introspeksi; jangan-jangan ada yang salah dengan dirinya. Bisa jadi ia kurang bersyukur, kurang serius mengabdi kepada Allah, banyak melabrak larangan-larangan-Nya dan seterusnya.
Perenungan macam ini mau tidak mau akan mengantarkan sang empunya untuk kembali kepada-Nya, bertaubat, meneguhkan keimanan dan beramal saleh. Ini adalah perlajaran paling berharga yang bisa dipetik oleh orang beriman dari bencana yang dihadapinya. Sikap mental dan perilakunya pasca bencana pasti lebih baik dari sebelumnya. Karena bisa jadi gempa adalah medium revolusi spiritual baginya untuk menapaki tangga demi tangga menuju puncak nilai keluhuran manusia. Bisakah kita, bangsa Indonesia, belajar serius dengan mata nurani dari rentetan bencana yang menghantam negeri kita tahun-tahun belakangan ini?.Bukankah setelah subuh, gelap pasti berlalu digantikan cahaya mentari; membuka hari baru yang cerah dan menjanjikan?. Bisakah kita merengkuhnya?. Memang segala kejadian di muka bumi ini hak mutlak ketetapan Allah. Dia semata yang mengetahuinya. Kapan dan di mana kejadian tersebut sudah Dia ketahui dan rencanakan dengan detail. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: