Îd al-Adhha juga disebut dengan nama hari raya Qurban. ‘Adhha secara harfiyah berarti menyembelih hewan tertentu. Sementara qurban berarti pendekatan yang sempurna kepada Allah. Makna sempurna dipahami dari bentuk kata qurban yang merupakan bentuk kata benda (mashdar) kata qaraba yang berarti dekat. Kata ini satu pola dengan kata Qur’an yang berarti bacaan yang paling sempurna, berasal dari kata qara’ a (membaca). Sehingga, ‘Id al-Adhha yang padanya ada ibadah haji dan qurban pada hakikatnya adalah sarana bagi setiap muslim untuk mencapai kedekatan yang paling sempurna kepada Allah.
Pada prinsipnya, semua ibadah yang dilakukan manusia, apapun bentuknya adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, belum dinamai Qurban (pendekatan yang sempurna). Pendekatan kepada Allah swt. barulah sampai ke tingkat yang paling sempurna (Qurban), jika sudah melaksanakan ritual tertentu pada hari raya al-Adhha yang salah satu bentuknya menyembelih hewan tertentu seperti kambing, sapi dan unta.
Oleh karena itulah, ‘id al-Adhha merupakan hari raya terbesar dalam ritual keagamaan umat Islam, walaupun dalam prakteknya, kita khususnya umat Islam di Indonesia menjadikan îd al-fithr sebagai hari raya terbesar. Di Indonesia, agaknya sudah menjadi sebuah budaya yang mungkin akan susah untuk dirobah, bahwa hari raya îd al-fithr dirayakan dengan sangat besar dan meriah, sementara îd al-adhha dirayakan dengan sangat sederhana, bahkan tanpa merasakannya sebagai hari raya. Keagungan îd al-adhha dibandingkan îd al-fithr terlihat dari beberapa hal.
Pertama, pada perintah bertakbir untuk kedua hari raya tersebut. Di mana, pada hari raya îd al-fithr bertakbir diperintahkan mulai dari terbenamnya matahari akhir ramadhan, sampai turunya khatib dari mimbar khutbah hari raya tanggal 1 syawal tersebut. Sedangkan pada hari raya îd al-Adhha, takbir diperintahkan mulai tergelincirnya matahari hari pada hari Arafah tanggal 9 Zulhijjah, sampai berakhirnya waktu ashar hari ketiga dari pada hari tasyrîq, yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Hal itu berarti masa berkumandangnya takbir mengagungkan nama Allah, lebih lama pada hari raya îd al-Adhha dibandingkan îd al-fithr.
Kedua, terletak pada subtansi dan tujuan kedua hari raya tersebut. Di mana, sebelum hari raya îd al-fithr umat Islam melaksanakan serangkaian ibadah baik siang maupun malam hari selama satu bulan penuh. Begitu juga, mereka dituntut meningggalkan larangan Allah swt ketika melaksanakan ibadah yang diperintahkan kepada mereka. Sehingga perjuangan mereka selama sebulan tersebut menjadikan umat Islam pada hari raya îd al-fithr bergembira dan bersorak dengan bertakbir, karena kemenangan mereka berperang melawan hawa nafsu. Setelah satu bulan berjuang melaksankan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, sehingga mereka mendapatkan prestasi menjadi orang yang bertaqwa (muttaqîn). Oleh karena itu, îd al-fithr diartikan sebagai simbol kemenangan manusia melawan hawa nafsu.
Berbeda halnya dengan îd al-Adhha, di mana umat Islam melaksanakan ibadah qurban padanya. Mereka bertakbir, mengagungkan nama Allah swt karena kemenangan umat Islam melawan keegoan diri. Sebab, korban adalah simbol pengorbanan keegoan manusia terhadap dirinya. Hal itu disimbolkan dengan peristiwa penyembelihan Isma’il oleh Ibrahim as. Di mana, Ibrahim as sudah menantikan kehadiran seorang anak selama puluhan tahun. Ketika anak yang dinantikan sudah diperoleh, dan disaat seorang ayah berada dipuncak kasih sayangnya kepada sang anak, Allah swt menginginkan anak itu diberikan untuk-Nya. Namun, Ibarahim as. dengan penuh ketaatan memberikan yang terbaik dari dirinya demi kepatuhan kepada Allah swt. Oleh karena itulah, Ibrahim as. dianugerahi prestasi sebagai muhsinîn. Seperti firman Allah swt dalam surat ash-Shafât [37]: 105
“sesungguhnya kamu Ibrahim telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dengan demikian, terdapat perbedaan prestasi yang diperoleh manusia dalam kedua hari raya îd al-fithr dan îd al-Adhha. Jika pada hari raya îd al-fithr seseorang menjadi muttaqîn melalu ibadah puasa, maka pada hari raya îd al-Adhha seseorang menjadi muhsinîn melalui pelaksanaan ibadah qurban. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Hajj [22]: 37
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik (muhsinîn).”
Terkait dengan moral dan nilai kemanusiaan dan hari raya Adha, surat Al-Kautsar (QS. 108: 1-3) juga memberikan pesan tentang 3 hal penting dalam hidup ini
Artinya : 1) Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, 2) maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah, 3) Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).
Ayat di atas memberikan informasi pada kita , bahwa ada tiga kata kunci penting dalam hidup ini, yaitu nikmat yang banyak, shalat, dan berkorban. 1) Allah telah memberikan karunia dan nikmat yang teramat banyak, segala sisi dalam hidup ini penuh dengan nikmat. Jika ingin agar nikmat tersebut lestari maka lakukanlah 2) shalat, yaitu memperkuat hubungan vertikal agar nikmat tersebut memiliki nilai transenden dan hakiki, Selain itu juga lakukan 3) pengorbanan agar secara sosial nikmat tersebut mendapatkan pengakuan dan sumrambah pada yang lain. Mungkinkah orang mampu merasakan nikmat Tuhan jika ia hanya merasakannya sendiri? Tidak mungkin. Ia harus merasakan nikmat yang dikaruniakan kepadanya bersama dengan orang lain, karenanya berkorban merupakan keniscayaan agar nikmat itu dirasakan oleh orang lain dan memperoleh nilai hakikinya. Bukan nikmat semu tetapi nikmat yang menginternal dalam hidup kita selamanya.
Kurban merupakan kata kunci bagi terciptanya harmonitas masyarakat dan bangsa. Tanpa pengorbanan cita-cita luhur pembangunan hanyalah retorika belaka. Kepedihan yang menimpa sekian banyak umat Islam dan bangsa ini juga berawal dari tidak adanya pengorbanan yang sejati. Yang banyak saat ini adalah perbincangan, harapan, dan retorika politis tentang pengorbanan dan belum peksanaan korban dalam arti yang komprehensip yaitu berkorban ilahiyah-vertikal dan sosial-horisontal.
Pengorbanan sejati pasti didasari oleh 1) adanya niatan yang tulus karena Allah Swt. Dan bukan untuk ajang unjuk kekayaan dan prestise. Motivasi berkorban adalah untuk taqarrub, mendekatkan diri agar kita bisa lebih dekat dengan pencipta kita. 2) Berkorban juga harus didasari oleh pertimbangan akal-rasio dan ilmu yang memadai yaitu untuk kepentingan kemaslahatan, kemakmuran dan kedamaian masyarakat umum. Berkorban dengan menyembelih kambing, kerbau atau sapi adalah sebagian dari berkorban dalam arti yang luas. Berkorban juga dapat dilakukan dengan a) penyediaan fasilitas umum, b) penyediaan fasilitas pendidikan yang representatif untuk membangun SDM, c) pelestarian alam agar alam selalu bersahabat dengan kita tetap dan bertambah subur, indah, dan nyaman bagi kehidupan setiap makhluk. 3) Berkorban juga harus didasari oleh kesadaran akan pesan moral-etis yang terkandung di dalamnya sehingga ada upaya yang terus menerus untuk meningkatkan spiritualitas diri dan masyarakatnya.
Di antara pesan moral, ahlak yang dapat kita sebutkan adalah :
1. Berkorban berarti adanya kesediaan untuk memotong sebagian kekayaan kita yang berujud kambing, kerbau, sapi untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini berkorban juga kesediaan untuk memotong sebagaian kekayaan lain seperti ayam, padi, pakaian, tempat tinggal atau pekarangan dan uang untuk dimanfatkan oleh diri, keluarga dan masyarakat luas.
2. Berkorban berarti adanya kesediaan untuk memotong sebagaian tenaga yang kita miliki untuk kepentingan umum, untuk keluarga, untuk saudara-famili, tetangga, dan masyarakat serta bangsa. Orang yang telah terilhami makna kurban, ia akan senantiasa siap bergaul dengan baik dengan lingkungan sosial (juga fisik-material) di sela-sela kesibukannya.
3. Berkorban berarti adanya kesediaan untuk menyebarkan ilmu dan keterampilannya (dakwah dan ta’lim) untuk pemberdayaan masyarakat dengan mengajar anak-anak dan remaja serta mengajar setiap orang yang membutuhkan seperti mengajar tentang baca-tulis (al-Qur’an), ilmu-pengetahuan, pekerjaan (skill) dan kemasyarakatan. Berkorban dalam arti ini juga kesediaan untuk ikut berpartisipasi dalam mencari alternatif penyelesaian problem atau masalah keummatan dengan memeras otak dan fikiran untuk memperoleh hasil pemikiran yang benar-benar orisinil, maslahat, dan menyentuh kebutuhan umat.
4. Berkorban untuk berpartisipasi dalam proses kepemimpinan (imamah) dan memegang kepemimpinan dengan penuh tanggungungjawab (amanah). Seseorang berkenan menjadi pemimpin untuk kebaikan umat, jika dipilih dan ia berkenan pula untuk mundur tatkala diyakini kurang memberikan kemaslahatan bagi umat sekaligus ia mau memberi kesempatan pada generasi yang lebih potensial untuk menjadi pemimpin. Kesediaan untuk maju ke tampuk kepemimpinan, mundur dan memberi kesempatan orang lain maju karena tuntutan masyarakat yang sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh UU adalah bagian dari berkorban. Sebagai rakyat, berkorban adalah menjadi warga bangsa yang baik, partisipatif, kreatif dan mampu melakukan kontrol yang bermoral untuk pemimpin dan lingkungan sosialnya. Rakyat yang siap menciptakan kepemimpinan yang adil, jujur dan bijaksana adalah bagian dari pengorbanannya.
5. Berprilaku positif dalam bergaul (mu’asyarah bi al-ma’ruf) dengan keluarga (anak-anak dan istri), orang tua, mertua, serta melakukan proses edukasi yang terus menerus bagi mereka juga bagian dari makna berkorban. Bertutur kata dengan bahasa yang sopan tatkala bergaul atau melakukan kritik konstruktif (bermoral) merupakan bagian dari berkorban. Berpakaian yang sopan, indah, serasi, dan menutup aurat merupakan bagian dari berkorban dalam arti yang lebih aplikatif.
Demikian antara lain artikulasi korban dalam kehidupan riil sehari-hari. Pemahaman akan arti korban seperti ini belum terealisasikan secara konsisten di masyarakat Muslim. Alhamdulillah kaum muslimin sudah mulai banyak yang sadar akan pentingnya berkurban dengan menyembelih hewan kurban tetapi yang perlu ditingkatkan adalah berkurban dalam arti luas yang menyentuh seluruh aspek lehidupan manusia seperti di atas.
Saat ini jamaah haji kita sedang berada di tanah suci, mendekatkan diri pada Allah Swt. Meneladani prilaku nabi Ibrahim, Ibu Hajar, dan Ismail. Selain napak tilas [peribadatan nabi Ibrahim jamaah haji dan juga semua kaum Muslim mencontoh bagaimana menjadi Bapak yang bijak seperti Ibrahim, menjadi istri dan ibu yang penuh kasih sayang bagaikan Hajar, dan menjadi anak yang cerdas, sopan dan taat pada orang tua sebagaimana Ismail. Ketiganya merupakan model terbaik (dalam keluarga dan masyarakat) sesuai dengan perannya masing-masing dan ketiganya adalah makhluk terpuji yang rindu akan Tuhannya. Kita sebagai bangsa yang sedang mengenang Nabi Ibrahin, Ismail dan Ibu Hajar, di Indonesia juga dianjurkan untuk menjadi orang yang terbaik dan manfaat dengan mengemban amanat Ilahi sesuai dengan tugas dan peran kita masing-masing.
Bulan haji, sebagai mana dalam sejarahnya, menuntun kita untuk bekerja keras dengan tulus-ihlas dan selalu dekat kepada Allah Swt. Bulan ini kita disadarkan untuk selalu instropeksi diri, apakah kita selama ini sudah melakukan kerja positif–profesional (amal sholih), kerja keras, dan semangat tinggi ?. Mengapa hati kita belum terpatri oleh rasa rindu dan selalu mengaharap akan ridlo Allah Swt. Mengapa kita sering kurang jujur dan pemalas. Marilah kita rancang bangunan hidup kita ini agar selalu dalam garis Tuhan yang penuh semangat juang, berfikir cerdas, hati bersih, kerja keras, dekat dengan Allah Swt sekaligus dekat dengan makhluk-Nya, menjaga keharmonisan sosial dan keharmonisan dengan alam semesta. Menjaga alam agar Ia memberikan yang terbaik bagi kehidupan kita.
Ibadah hajji telah mendidik kita untuk menyatukan langkah dengan dasar ketauhidan, visi dan misi yang sama. Bersatu untuk mengemban tugas sebagai makhluk Allah di bumi. Bersatu sebagaimana saudara kita yang bersatu di baitullah dan di padang Arafah saat menunaikan haji. Hentikan perpecahan dan permusuhan, kita rapatkan kembali persatuan. Kita telah tahu akibat perpecahan dan permusuhan yang telah membawa kesengsaraan umat berabad-abad.
Ibadah haji telah mengantarkan pelaksananya untuk menerima sebutan Bapak dan Ibu haji. Sebutan tersebut merupakan fenomena sosiologis bagi bangsa kita sejak masa pra dan pasca kemerdekaan. Karena seorang Muslim telah haji ia menjadi contoh panutan sebagai manusia yang mengemban nilai kenabian (profetik) sekaligus membumikannya dalam kehidupan riil di mana Bapak dan Ibu haji hidup dan bergaul. Semoga pada bulan haji ini kita tersadarkan kembali untuk menuju kesempurnaan lahir dan batin secara bersamaan.
Semoga kita dapat memperbaiki kehidupan ini agar menjadi lebih baik dan lebih memiliki nilai guna yang tinggi bagi lingkungan serta senantiasa mendapatkan ridho Allah Swt. Wallahu ‘alam Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar