Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Menurut kelompok pro poligami adalah ayat yang dengan jelas menganjurkan poligami. Bahkan di suatu moment tabligh, penulis sempat ditanya oleh salah seorang audiens yang menganggap kelompok yang menolak poligami ini menurutnya sedang melakukan upaya untuk merevisi al-qur’an. penulis yakin salah satu statement ini merupakan pandangan mayoritas masyarakat kita yang memandang sepintas terhadap kelompok yang kontra poligami. Sebuah problem klasik yang harus dipahami secara komprehensif. Ayat-ayat al-qur’an tidak diragukan lagi kebenarannya. Tetapi ketika kontennya sudah diinterpertasi menurt hawa nafsu dan keinginan sepihak maka akan muncullah tuduhan-tudahan mendistorsi al-qur’an yang modus operandinya kepentingan golongan. Penulis tidak akan membahas ayat di atas secara ketauhidan atau tektual marilah kita coba menulusurinya secara sosial dan keberpihakan yang komprehensif terlepas dari term pro dan kontra.
Menyajikan Fakta, mengangkat suara perempuan
Menyajikan fakta bahwa perkawinan poligami lebih banyak memberikan efek negatif penulis kira sudah merupakan hal yang perlu diketahui oleh masyarakat luas. Selama ini suara-suara perempuan yang merana dan mengalami ketidakadilan bahkan kekerasan dalam perkawinan poligami seolah terkubur oleh suara-suara yang lebih powerfull dan seolah legitimat karena disuarakan para tokoh agama. Menolak polgami seolah kemudian menolak menjadi muslimah yang baik.
Berbagai realitas sudah banyak terjadi dan seharusnya mendapat tempat yang utama sehingga masyarakat dapat lebih melihat persoalan poligami secara objektif. Banyak hal dikorbankan ketika perkawinan poligami terjadi, berdasarkan temuan penulis saat melakukan wawancara dengan para perempuan yang mengalami perkawinan poligami ternyata poligami menjadi pintu pembuka terjadinya berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Realitas telah menunjukkan bahwa hak perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang aman dalam keluarga untuk menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah sesuai dengan tujuan perkawinan tidak akan tercapai dlam perkawinan poligami. Tidak hanya perempuan karena dibelakang perempuan ada banyak anak-anak yang berduka mendapatkan keluarga yang tidak sempurna. Di mana kasih sayang tidak dapat sepenuhnya mereka dapatkan, pengabaian ekonomi, hak pendidikan dan lain sebagainya. Dalam perkawinan terdapat larangan bagi suami untuk tidak menyia-nyiakan istri, bahkan dalam aturan lain termasuk juga larangan untuk tidak menyia-nyiakan mantan istri. Pelarangan ini secara jelas dipertegas dalam al-Qur’an. Perilaku menyia-nyiakan istri ini sangat mungkin dialami perempuan, baik dalam perkawinan monogami, lebih lagi dalam perkawinan poligami. Mengingat kecenderungan manusia—khususnya yang berpoligami—untuk berbuat demikian sangat besar, maka secara tegas pula perilaku poligami diingatkan bahwa kemungkinan berbuat tidak adil yang berujung pada penyia-nyiaan istri dalam perkawinan poligami sangat besar .
Istri dalam hal ini tidak hanya mengalami pengingkaran komitmen perkawinan, tetapi juga tekanan psikologis, kekurangan ekonomi, kekerasan seksual hingga kekerasaan fisik. Hal itu ternyata tidak hanya dialami istri pertama, istri kedua, ketiga juga mengalami derita yang sama. Hal ini mematahkan pandangan yang berkembang dalam masyarakat bahwa “istri muda lebih disayang daripada istri pertama”. Temuan lain menunjukkan bahwa istri kedua dan seterusnya lebih banyak yang diabaikan dan mengalami kekerasan berlapis. Sebagian besar suami kembali pada istri pertama, karena masyarakat biasanya lebih mengakui sebagai istri yang sah, selain karena pernikahan yang mereka lalui sah secara negara.
Ini menambah rangkaian kekerasan yang dialami perempuan. Proses pernikahan yang dilalui dengan istri muda pada umumnya dilakukan di bawah tangan (sirri), hal ini yang menyebabkan para istri mengalami beragam bentuk kekerasan. Istri yang mengalami kekerasan dalam hal ini tidak bisa melakukan tuntutan apalagi melalui proses hukum, selain itu mereka tidak bisa mendapatkan hak waris dari suaminya.
Fakta-fakta inilah yang seharusnya bias dilihat secara jernih oleh semua masyarakat, sehingga tidak ada klaim yang negatif terhadap kelompok yang selama ini memperjuangkan penghapusan perkawinan poligami. Bukankah tujuan perkawinan adalah tercipatanya ketentraman dan ketenangan? Bukannya menciptakan permusuhan dan ketidakadilan yang sangat memungkinkan terjadi dalam perkawinan poligami.
Poligami, sebuah Refleksi
Gambaran diatas menunjukkan bahwa praktik perkawinan poligami banyak mengabaikan hak-hak perempuan. Rangkaian kekerasan sudah banyak terjadi sejak pernikahan dilakukan. Perjodohan yang dilakukan orang tua tanpa pertimbangan pihak perempuan sebenarnya merupakan pintu awal terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan. Perempuan sama sekali tidak mempunyai suara untuk menentukan masa depannya sendiri. Motivasi ekonomi, peningkatan status sosial menjadi salah satu alasan orang tua merelakan anak-anaknya dinikahi laki-laki beristri yang mempunyai status tinggi dalam masyarakat rasanya harus dipertimbangkan oleh para orang tua karena sesungguhnya dengan demikian mereka telah mengabaikan hak anak untuk menentukan masa depannya sendiri.
Selain itu implikasi yang ditimbulkan akibat perkawinan poligami yaitu terjadinya kekerasan terhadap para istri, tidak terlepas istri pertama, ke dua, ketiga dan ke empat. Perempuan dalam perkawinan poligami umumnya mengalami bentuk kekerasan yang berlapis-lapis. Istri dalam hal ini tidak hanya mengalami pengingkaran komitmen perkawinan, tetapi juga tekanan psikologis, kekurangan ekonomi, kekerasan seksual hingga kekerasaan fisik. Hal ini tidak hanya dialami istri pertama, namun istri kedua, istri ketiga ternyata mengalami hal yang hampir sama, ini mematahkan pandangan yang berkembang dalam masyarakat bahwa “istri muda lebih disayang daripada istri pertama”. Selain itu pada biasanya istri kedua dan seterusnya lebih banyak yang diabaikan dan mengalami kekerasan berlapis. Sebagian besar suami kembali pada istri pertama, karena masyarakat biasanya lebih mengakuinya sebagai istri yang sah, selain karena pernikahan yang mereka lalui memang sah secara negara.
Ini menambah rangkaian kekerasan yang dialami perempuan. Pernikahan yang dilalui dengan istri muda pada umumnya dilakukan di bawah tangan (sirri), ini yang menyebabkan para istri yang mengalami bentuk kekerasan tidak dapat melakukan tuntutan, apalagi melalui proses hukum. Selain itu mereka tidak mendapatkan hak waris dari suaminya.
Azas monogami terbuka dalam UU perkawinan No.1 tahun 1974 menunjukkan bahwa poligami tetap boleh dilakukan oleh laki-laki. Pengaturan poligami ini tidak hanya menunjukkan bahwa dalam institusi perkawinan, posisi tawar perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, tetapi memperlihatkan pula bahwa negara memihak pada laki-laki dengan melegitimasi dominasi seksualitas mereka. Hal ini semakin diperkuat oleh syarat-syarat yang harus dipenuhi jika suami hendak melakukan poligami, yaitu jika istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri. Jika istri sakit berat atau mendapat cacat badan, atau jika istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Syarat di atas sebenarnya menunjukkan bahwa seorang istri dituntut untuk melakukan pelayanan seksualitas secara sempurna terhadap suaminya. Istri ditempatkan pada fungsi melayani, sebagaimana nampak dalam persyaratan yang berkaitan dengan keadaan cacat badan atau menderita suatu penyakit berat. Maka jika fungsi-fungsi tersebut terganggu perempuan tidak layak lagi menjadi istri. Ini berarti bahwa seksualitas perempuan hanya direduksi sebatas bisa memberikan pelayanan dan memenuhi kebutuhan seksualitas lawan jenisnya. Dengan demikian nampak bahwa hukum ikut mengeliminasi atau melecehkan eksistensi seksualitas perempuan.
Nampak bahwa seksualitas berada dalam kungkungan kekuasaan. Dalam konteks ini negara ikut berkontribusi dalam memasung hak seksualitasnya perempuan. Konstruksi sosial dan sistem kekuasaan yang patriarkhis seolah mereduksi seksualitas hanya pada satu kekuasaan laki-laki, ini yang oleh Foucault dilihat ada hubungan negatif antara seks dan kekuasaan. Kekuasaan dalam hal ini selalu berusaha membendung seksualitas yang dipandang sebagai bahaya status quo kekuasaan itu. Pemasungan ini kemudian dilegalkan dalam bentuk penetapan Undang-Undang. Pembolehan praktik perkawinan poligami dalam Undang-Undang merupakan salah satu bentuk objektifikasi seksualitas perempuan dari laki-laki.
Persoalan poligami dalam masyarakat tidak dapat dilihat secara parsial, karena merupakan sebuah tatanan yang dibangun atas kolaborasi antara norma agama (khususnya Islam), sosial, hukum dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam masyarakat. Kesemuanya itu didukung oleh peraturan negara yang tidak sensitif gender. Temuan di lapangan menunjukkan sebagian besar landasan suami melakukan poligami sama sekali tidak terkait dengan aturan yang ada dalam undang-undang. Ini jelas menunjukkan laki-laki melakukan poligami hanya untuk memenuhi nafsu seksualitasnya semata. Bahkan juga ditemukan perempuan hanya dijadikan sebagai alat untuk memperkuat jaring-jaring kekuasaan laki-laki. Jadi jelas yang menjadi alasan banyaknya perkawinan poligami bukan karena persoalan jumlah demografi perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki, melainkan lebih pada persoalan sosial dan budaya yang mendapat legitimasi agama.
Rendahnya akses perempuan pada ekonomi keluarga, menyebabkan rendahnya bargaining position dengan suami. Relasi yang timpang ini akhirnya membuat perempuan lebih banyak menerima keadaan yang dialaminya. Keputusan untuk melepaskan perkawinan yang dijalani tidak menjadi pilihan yang diambil oleh para perempuan, karena bila ini diambil jaminan ekonomi dan kekhawatiran akan pendidikan anak akan terabaikan. Hal ini sejalan dengan pandangan feminist Marxis yang mengatakan bahwa institusi keluarga selama ini hanya sebagai unit ekonomi, bukan sebagai unit emosional (Tong, 1989). Menurut kaum feminis Sosialis dan Marxis seperti ditulis Eisenstein (1983) dalam Ollenburger dan Moore (1996), ketergantungan ekonomi perempuan terhadap laki-laki merupakan bagian dari sistem yang mempertahankan perkawinan, keluarga dan sistem peribuan (mothering).
Di sisi lain jika melihat konsep mu’asyarah bi al-ma’ruf (intercourse yang baik) sebagaimana dikemukakan Husein Muhammad (2001) bahwa dalam perkawinan mengandung arti kebaikan bagi semua pihak, baik istri maupun suami. Nampak dalam perkawinan poligami adanya ketidakseimbangan dalam sisi kebaikan dan keuntungan, laki-laki lebih banyak diuntungkan dengan memiliki banyak istri yang akan melayani baik secara seksual maupun kebutuhan ekonomi. Sementara istri harus berjuang keras sendiri memenuhi kehidupan ekonomi dan membiayai kebutuhan sendiri. Selain itu, kebutuhan mendapatkan cinta dan kasih sayang (mawadah wa rahmah) dalam keluarga yang tidak seimbang memperkuat temuan Little di Negara Afrika Barat, maraknya poligami dalam masyarakat Afrika tidak hanya karena motivasi ekonomi atau menambah kekayaan melalui penggarapan tanah. Namun dalam beberapa kasus peranan ekonomi istri memungkinkan suami untuk hidup lebih santai. Kesempatan untuk berburu, kegiatan waktu senggang yang paling disenangi laki-laki dan bekerja kurang keras menjadi lebih besar daripada laki-laki yang beristeri satu orang (Boserup, 1984).
Berdasarkan gambaran tersebut nampak bahwa implikasi yang ditimbulkan sebenarnya lebih banyak memunculkan kemadharatan dari pada sisi maslahat dari praktik perkawinan poligami. Dalam perkawinan poligami banyak terjadi pengabaian hak-hak kemanusiaan yang semestinya didapatkan oleh seorang istri dan anak dalam keluarga. Implikasi lain yang kemudian muncul adalah adanya permusuhan di antara keluarga para istri yang terjadi dalam perkawinan poligami. Kekerasan yang berlapis-lapis, baik ekonomi, fisik, psikis, kekerasan seksual, dan sebagainya yang dialami para istri juga anak-anaknya menjadi satu bukti bahwa semestinya ada peninjauan kembali pada praktik perkawinan poligami.
Sebenarnya bila mengacu pada kaidah fiqh yang mengatakan “Darul mafasid muqaddamun min jalbil mashalih” (menolak kemafsadatan lebih didahulukan dari meraih kemaslahatan) atau “apabila sama antara kemafsadatan dan kemaslahatan maka harus ditangguhkan dan jangan dilaksanakan”. Menolak kemafsadatan lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan, yang sedikit. Berdasarkan kaidah tersebut nampak bahwa apabila perkawinan poligami lebih banyak memberikan mafsadat daripada maslahatnya, sudah saatnya model perkawinan seperti ini ditangguhkan dan jangan dilaksanakan. Artinya perkawinan dengan menggunakan azas monogami yang dilandasi cinta dan kasih sayang untuk mencapai mawadah wa rahmah merupakan konsep perkawinan yang semestinya menjadi satu model yang ditetapkan. Wallahu ‘alam. Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar