marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Minggu, 27 September 2009

Halal bihalal merupakan tradisi khas masyarakat

Indonesia. Sebuah tradisi yang meniscayakan

beberapa tahapan, yaitu menahan amarah, memberi

maaf, dan berbuat baik terhadap orang yang

bersalah.


Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh

petunjuk dan bimbingan agama. Ada tiga cara

yang diperkenalkan ulama untuk memperoleh pesan

-pesan kitab suci itu. Petama, melalui

penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan

murid-murid mereka. Hal ini dinamai tafsir bir

-riwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan

dengan menggunakan nalar yang didukung oleh

kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir

bid-diriyah. Ketiga, melalui kesan yang

diperoleh dari penggunaan kosa kata ayat atau

bilangannya, dinamai tafsir bir-riwayah.

Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal

bihalal melalui al-Quran dengan menitikberatkan

pandangan pada cara yang ketiga. Untuk maksud

tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada

beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam

konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal

bihalal, dan Minal ‘Aidin wal-Faizin.

Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai

sesuatu yang bukan haram; sedangkan haram

merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan

ancaman siksa.

Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu

wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat

yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk

yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk

dtinggalkan). Nabi saw. bersabda, “Abghadu al-

halal ila Allah, ath-thalaq” (Halal yang paling

dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-

istri).

Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks

hukum, hal itu tidak akan menyebabkan lahirnya

hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin

dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian

Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya

kata halal pada konteks halal bihalal tidak

dipahami dalam bihalal pengertian hukum.

Dalam al-Quran, kata halal terulang sebanyak

enam kali. Dua di antaranya pada konteks

kecaman, yaitu:

Katakanlah, ”Terangkanlah kepadaku tentang

rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu

jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya)

halal. Apakah Allah telah memberikan izin

kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja

terhadap Allah?” (QS Yunus [10]: 59)

Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang

disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini

halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan

kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-

orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap

Allah tidaklah beruntung. (itu adalah)

kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi

mereka siksa yang pedih (QS AL-Nahl [16]: 116-

117).

Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini?

Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka

yang mencampurbaurkan antara yang halal dan

haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah

dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih,

lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya

adalah haram.

Empat halal lainnya yang tersebut dalam al-Quran

mempunyai dua ciri yang sama, yaitu dikemukakan

dalam konteks perintah makan (kulu) dan Kata

halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).

Perhatikan keempat ayat berikut:
1. Kuluu mimma fil ardhi halalan thayyiban

(Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang

terdapat di bumi) (QS. Al-Baqarah [2]: 168);

2. Wakuluu mimma razaqakumullah halalan

thayyiban…(Dan makanlah makanan yang halal lagi

baik, dari apa yang Allah telah rezekikan

kepadamu) (QS. Al-Ma’idah [5]: 88);

3. Fakuluu mimma ghanimtum halalan

thayyibaan (Maka makanlah dari sebagian rampasan

perang yang telah kamu ambil itu) (QS. Al-Anfaal

[8]: 69);

4. Fakuluu mimma razaqakumullahu halalan

thayyiban (Maka makanlah halal lagi baik dari

rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (QS.

An-Nahl [16]: 114).

Kata makan dalam al-Quran sering diartikan

“melakukan aktivitas apapun.” Ini agaknya

disebabkan karena makan merupakan sumber utama

perolehan kalori yang dapat menghasilkan

aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam

ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan

aktivitass, sedangkan aktivitasnya tidak sekedar

halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Nah,

jika dikembalikan pada empat jenis halal yang

diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh

tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban.

Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah

(Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali,

yang dapat dirinci sebagai berikut:

- Masing-masing sekali untuk at-tawabin

(orang yang bertobat), ash-shabirin (orang-orang

sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada

dalam satu barisan/kesatuan);

- Masing-masing dua kali terhadap al-

mutawakkilin (orang yang berserah diri kepada

Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yag

menyucikan diri);

- Masing-masing tiga kali terhadap al-

muttaaqin (orang-orang yang bertaqwa) dan al-

muqsithin ( orang yang berlaku adil), dan lima

kali terhdap al-muhsinin.


Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu

paling tidak mengisyaratkan bahwa sikap yang

paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin

(orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka

yang pernah melakukan kesalahn). Hal ini sesuai

sekali dengan perintah al-Quran untuk melakukan

perbuatan halal yang baik, tidak sekedar

perbuatan halal (boleh, tetapi tidak

menghasilkan kebaikan).

Dalam al-Quran surat Ali-‘Imran ayat 134

diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya

keserasian hubungan;

Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat

keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan

orang-orang yang menahan amarahnya, dan

memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan

berbuat baik terhadap mereka). Sesungguhnya

Allah menyukai mereka yang berbuat baik

(terhadap orang yang bersalah).

Di sini terbaca bahwa tahap pertama adalah

menahan amarah, tahap kedua memberi maaf, dan

tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap

orang yang bersalah.

Demikian sedikit dan banyak kesan yang dapat

diperoleh dari ayat-ayat al-Quran berkaitan

dengan halal-bihalal/maaf memaafkan.


Tidak ada komentar: