Halal bihalal merupakan tradisi khas masyarakat
Indonesia. Sebuah tradisi yang meniscayakan
beberapa tahapan, yaitu menahan amarah, memberi
maaf, dan berbuat baik terhadap orang yang
bersalah.
Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh
petunjuk dan bimbingan agama. Ada tiga cara
yang diperkenalkan ulama untuk memperoleh pesan
-pesan kitab suci itu. Petama, melalui
penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan
murid-murid mereka. Hal ini dinamai tafsir bir
-riwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan
dengan menggunakan nalar yang didukung oleh
kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir
bid-diriyah. Ketiga, melalui kesan yang
diperoleh dari penggunaan kosa kata ayat atau
bilangannya, dinamai tafsir bir-riwayah.
Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal
bihalal melalui al-Quran dengan menitikberatkan
pandangan pada cara yang ketiga. Untuk maksud
tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada
beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam
konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal
bihalal, dan Minal ‘Aidin wal-Faizin.
Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai
sesuatu yang bukan haram; sedangkan haram
merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan
ancaman siksa.
Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu
wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat
yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk
yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk
dtinggalkan). Nabi saw. bersabda, “Abghadu al-
halal ila Allah, ath-thalaq” (Halal yang paling
dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-
istri).
Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks
hukum, hal itu tidak akan menyebabkan lahirnya
hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin
dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian
Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya
kata halal pada konteks halal bihalal tidak
dipahami dalam bihalal pengertian hukum.
Dalam al-Quran, kata halal terulang sebanyak
enam kali. Dua di antaranya pada konteks
kecaman, yaitu:
Katakanlah, ”Terangkanlah kepadaku tentang
rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya)
halal. Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah?” (QS Yunus [10]: 59)
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini
halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-
orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah tidaklah beruntung. (itu adalah)
kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi
mereka siksa yang pedih (QS AL-Nahl [16]: 116-
117).
Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini?
Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka
yang mencampurbaurkan antara yang halal dan
haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah
dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih,
lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya
adalah haram.
Empat halal lainnya yang tersebut dalam al-Quran
mempunyai dua ciri yang sama, yaitu dikemukakan
dalam konteks perintah makan (kulu) dan Kata
halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan keempat ayat berikut:
1. Kuluu mimma fil ardhi halalan thayyiban
(Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi) (QS. Al-Baqarah [2]: 168);
2. Wakuluu mimma razaqakumullah halalan
thayyiban…(Dan makanlah makanan yang halal lagi
baik, dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu) (QS. Al-Ma’idah [5]: 88);
3. Fakuluu mimma ghanimtum halalan
thayyibaan (Maka makanlah dari sebagian rampasan
perang yang telah kamu ambil itu) (QS. Al-Anfaal
[8]: 69);
4. Fakuluu mimma razaqakumullahu halalan
thayyiban (Maka makanlah halal lagi baik dari
rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (QS.
An-Nahl [16]: 114).
Kata makan dalam al-Quran sering diartikan
“melakukan aktivitas apapun.” Ini agaknya
disebabkan karena makan merupakan sumber utama
perolehan kalori yang dapat menghasilkan
aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam
ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan
aktivitass, sedangkan aktivitasnya tidak sekedar
halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Nah,
jika dikembalikan pada empat jenis halal yang
diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh
tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban.
Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah
(Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali,
yang dapat dirinci sebagai berikut:
- Masing-masing sekali untuk at-tawabin
(orang yang bertobat), ash-shabirin (orang-orang
sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada
dalam satu barisan/kesatuan);
- Masing-masing dua kali terhadap al-
mutawakkilin (orang yang berserah diri kepada
Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yag
menyucikan diri);
- Masing-masing tiga kali terhadap al-
muttaaqin (orang-orang yang bertaqwa) dan al-
muqsithin ( orang yang berlaku adil), dan lima
kali terhdap al-muhsinin.
Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu
paling tidak mengisyaratkan bahwa sikap yang
paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin
(orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka
yang pernah melakukan kesalahn). Hal ini sesuai
sekali dengan perintah al-Quran untuk melakukan
perbuatan halal yang baik, tidak sekedar
perbuatan halal (boleh, tetapi tidak
menghasilkan kebaikan).
Dalam al-Quran surat Ali-‘Imran ayat 134
diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya
keserasian hubungan;
Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat
keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya, dan
memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan
berbuat baik terhadap mereka). Sesungguhnya
Allah menyukai mereka yang berbuat baik
(terhadap orang yang bersalah).
Di sini terbaca bahwa tahap pertama adalah
menahan amarah, tahap kedua memberi maaf, dan
tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap
orang yang bersalah.
Demikian sedikit dan banyak kesan yang dapat
diperoleh dari ayat-ayat al-Quran berkaitan
dengan halal-bihalal/maaf memaafkan.
Tweet
Indonesia. Sebuah tradisi yang meniscayakan
beberapa tahapan, yaitu menahan amarah, memberi
maaf, dan berbuat baik terhadap orang yang
bersalah.
Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh
petunjuk dan bimbingan agama. Ada tiga cara
yang diperkenalkan ulama untuk memperoleh pesan
-pesan kitab suci itu. Petama, melalui
penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan
murid-murid mereka. Hal ini dinamai tafsir bir
-riwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan
dengan menggunakan nalar yang didukung oleh
kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir
bid-diriyah. Ketiga, melalui kesan yang
diperoleh dari penggunaan kosa kata ayat atau
bilangannya, dinamai tafsir bir-riwayah.
Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal
bihalal melalui al-Quran dengan menitikberatkan
pandangan pada cara yang ketiga. Untuk maksud
tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada
beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam
konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal
bihalal, dan Minal ‘Aidin wal-Faizin.
Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai
sesuatu yang bukan haram; sedangkan haram
merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan
ancaman siksa.
Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu
wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat
yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk
yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk
dtinggalkan). Nabi saw. bersabda, “Abghadu al-
halal ila Allah, ath-thalaq” (Halal yang paling
dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-
istri).
Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks
hukum, hal itu tidak akan menyebabkan lahirnya
hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin
dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian
Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya
kata halal pada konteks halal bihalal tidak
dipahami dalam bihalal pengertian hukum.
Dalam al-Quran, kata halal terulang sebanyak
enam kali. Dua di antaranya pada konteks
kecaman, yaitu:
Katakanlah, ”Terangkanlah kepadaku tentang
rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya)
halal. Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah?” (QS Yunus [10]: 59)
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini
halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-
orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah tidaklah beruntung. (itu adalah)
kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi
mereka siksa yang pedih (QS AL-Nahl [16]: 116-
117).
Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini?
Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka
yang mencampurbaurkan antara yang halal dan
haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah
dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih,
lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya
adalah haram.
Empat halal lainnya yang tersebut dalam al-Quran
mempunyai dua ciri yang sama, yaitu dikemukakan
dalam konteks perintah makan (kulu) dan Kata
halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan keempat ayat berikut:
1. Kuluu mimma fil ardhi halalan thayyiban
(Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi) (QS. Al-Baqarah [2]: 168);
2. Wakuluu mimma razaqakumullah halalan
thayyiban…(Dan makanlah makanan yang halal lagi
baik, dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu) (QS. Al-Ma’idah [5]: 88);
3. Fakuluu mimma ghanimtum halalan
thayyibaan (Maka makanlah dari sebagian rampasan
perang yang telah kamu ambil itu) (QS. Al-Anfaal
[8]: 69);
4. Fakuluu mimma razaqakumullahu halalan
thayyiban (Maka makanlah halal lagi baik dari
rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (QS.
An-Nahl [16]: 114).
Kata makan dalam al-Quran sering diartikan
“melakukan aktivitas apapun.” Ini agaknya
disebabkan karena makan merupakan sumber utama
perolehan kalori yang dapat menghasilkan
aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam
ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan
aktivitass, sedangkan aktivitasnya tidak sekedar
halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Nah,
jika dikembalikan pada empat jenis halal yang
diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh
tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban.
Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah
(Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali,
yang dapat dirinci sebagai berikut:
- Masing-masing sekali untuk at-tawabin
(orang yang bertobat), ash-shabirin (orang-orang
sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada
dalam satu barisan/kesatuan);
- Masing-masing dua kali terhadap al-
mutawakkilin (orang yang berserah diri kepada
Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yag
menyucikan diri);
- Masing-masing tiga kali terhadap al-
muttaaqin (orang-orang yang bertaqwa) dan al-
muqsithin ( orang yang berlaku adil), dan lima
kali terhdap al-muhsinin.
Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu
paling tidak mengisyaratkan bahwa sikap yang
paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin
(orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka
yang pernah melakukan kesalahn). Hal ini sesuai
sekali dengan perintah al-Quran untuk melakukan
perbuatan halal yang baik, tidak sekedar
perbuatan halal (boleh, tetapi tidak
menghasilkan kebaikan).
Dalam al-Quran surat Ali-‘Imran ayat 134
diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya
keserasian hubungan;
Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat
keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya, dan
memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan
berbuat baik terhadap mereka). Sesungguhnya
Allah menyukai mereka yang berbuat baik
(terhadap orang yang bersalah).
Di sini terbaca bahwa tahap pertama adalah
menahan amarah, tahap kedua memberi maaf, dan
tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap
orang yang bersalah.
Demikian sedikit dan banyak kesan yang dapat
diperoleh dari ayat-ayat al-Quran berkaitan
dengan halal-bihalal/maaf memaafkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar