Islam sudah menetapkan kepada umatnya suatu pola kehidupan yang bersifat kelompok. Islam telah mendidik umatnya untuk hidup secara bersama dalam membangun kekuatan. Untuk mewujudkan kekuatan bersama tersebut, maka Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki struktur kekuasaan dan kepemimpinan. Dan struktur kepempinan ini bisa tangguh bila di dalamnya terdapat aparatur yang baik dan benar. Seorang pemimpin sehebat apapun dia, tidaklah akan bisa menjalankan roda pemerintahanya dengan baik, jika tidak didukung oleh aparatur yang tangguh. Di sinilah pentingnya menetapkan standar rekrutmen pegawai agar menghasilkan aparatur pemerintahan yang baik dan benar serta tangguh.
Allah swt. melalui wahyu-Nya telah mengajarkan manusia tata cara memilih pegawai yang baik untuk mendapatkan aparatur yang baik dan tangguh. Kriteria pegawai yang ideal itu menurut al-Qur’an seperti dikisahkan dalam surat al-Qashasah [28]: 26
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Ayat di atas bercerita tentang kisah nabi Musa as. yang lari dari Mesir menghindari kekuatan lalim Fir’aun dan tentaranya, hingga dia sampai ke suatu negeri yang bernama Madyan. Di negri itu, dia mendapatkan penduduknya sedang kesusahan mendapatkan air. Di sana terdapat sebuah sumber mata air, akan tetapi, tertutup oleh sebuah batu besar. Nabi Musa as. kemudian membantu penduduknya untuk mengangkat batu itu.
Setelah batu terangkat, semua penduduk negeri itu berdesakan mengambil air untuk minum mereka dan ternak mereka. Ketika itulah, nabi Musa as. melihat dua orang gadis yang ikut berdesakan mengambil air bersama kerumunan laki-laki yang kuat.
Nabi Musa as. kemudian merasa kasihan, lalu membantu kedua wanita itu mengambil air. Sehingga, atas bantuan Musa as. kedua wanita itu bisa mendapatkan air dengan mudah, tanpa harus berdesakan dan mengalami kesusuhan.
Kedua wanita itu kemudian menceritakan perihal Musa kepada ayahnya, nabi Syu’iab. Nabi Syu’aib kemudian memerintahkan puterinya itu untuk memanggil Musa dan menemuinya. Dalam perjalananan ke rumah nabi Syu’aib, nabi Musa berjalan di belakang wanita itu. Tiba-tiba angin menghembus kain salah seorang gadis itu, hingga betisnya kelihatan oleh Musa. Musa as. mengucapkan kalimat istighfâr, kemudian meminta perempuan itu untuk berjalan di belakangnya, seraya memberikan petunjuk kepadanya tentang arah jalan yang mesti diikuti. Begitulah selanjutnya, hingga Musa as. dan kedua puteri Syu’aib sampai di rumah dan menemui ayah mereka.
Sesampainya di rumah, salah satu puteri nabi Syu’aib berkata kepada ayahnya agar menjadikan Musa pegawai mereka. Alasan yang dikemukakan puteri nabi Syu’aib ada dua; kuat dan jujur. Mereka melihat bahwa nabi Musa adalah orang yang sangat kuat. Kemudian mereka juga melihat Musa sebagai orang yang bisa dipercaya karena kejujuranya. Dua alasan inilah yang menjadi kriteria Syu’aib untuk menjadikan Musa sebagai pegawainya, dan bahkan kemudian menjadi menantunya.
Oleh karean itu, jika sebuah instansi, perusahaan, lembaga tertantu dan sebagainya, ingin menerima dan mengangkat seorang pegawai, maka dua hal inilah yang mesti menjadi tolak ukurnya. Seorang calon pegawai mestilah seorang yang cakap, ahli, propesional, disiplin, tangguh dan memiliki kemampuan dalam bidang tersebut. Janganlah menerima pegawai yang tidak memiliki keahlian di dalam bidang yang hendak di tempatkan. Karena, hal itu bukannya akan membawa kebaikan, namun akan mendatangkan bencana dan kehancuran.
Akan tetapi, modal kecakapan, kehalian, profesional, disiplin serta ketangguhan tidaklah cukup. Seorang calon pegawai yang akan diterima haruslah orang yang memiliki kejujuran. Pegawai yang pintar dan ahli belum tentu akan mendatangkan kebaikan, jika tidak memiliki kejujuran. Bahkan, kehancuran dan kebinasaan seringkali disebabakan oleh aparatur yang ahli dan pintar, namun tidak memiliki kejujuran.
Bangsa Indonesia, agaknya memiliki aparatur negara yang cukup hebat, pintar, ahli dan tangguh. Rata-rata aparatur negara di Indonesia adalah lulusan sarjana, mulai dari Diploma, Strata 1, 2, bahkan ada yang doktor dan profesor. Akan tetapi, kenapa negara kita masih terpuruk dan memprihatinkan? Alasanya, adalah karena aparatur negara kekurangan dalam sisi kejujuran. Inilah salah satu hal yang membawa kehancuran Indonesia.
Oleh karean itulah, kata al-qawiy (kuat), langsung diiringi dengan kata al-amin (jujur), tanap dipisah oleh satu pemisah semisal huruf waw (dan). Hal itu berarti, bahwa antara kecakapan dan kejujuran adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan dalam kriteria memilih dan menerima calon pegawai. Keduanya haruslah menyatu dalam diri seorang calon aparatur negara. Semoga ini bisa menjadi pedoman kita dalam merekrut calon pegawai yang akan mengurus negara ini. Amin Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar