marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Kamis, 22 April 2010

Kartini dan Feminisme
Berbicara mengenai sejarah berarti berupaya untuk membuka kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kancah kehidupan umat manusia dan berusaha menghadirkan kembali informasi-informasi masa lampau sehingga terasa segar di masa sekarang. Sejarah membantu kita untuk mendapatkan informasi kehidupan yang telah lampau. sejarah selalu kontemporer”, sepatutnya kita renungkan. Sejarah tak akan diungkap kalau tidak ada kepentingan. Sifat sejarah yang paling utama adalah einmalig (unik, sekali terjadi) dan penting (Benedetto Croce).
Ratu Balqis, penguasa wanita yang memilik super power di negeri saba’, Sajaratud- Durr -putri keturunan Salahuddin, pernah mencicipi sebagai penguasa pada dinasti Mamalik, dan para Sulthanah yang pernah berkuasa di Kerajaan Aceh, baik Sulthanah Khadijah, Sulthanah Maryam maupun Sulthanah Fatimah mereka adalah bagian dari sejarah yang telah mengharumkan kaum hawa dan mengangkat image perempuan sebagai makhluk yang sempurna terlepas dari pro dan kontra para ulama terhadap kepemimpinan perempuan berdasarkan derivasi Al-Qur’an:An-Nissa (Q.S. 4/34) artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)”. Sungguh, ayat ini menjadi acuan bagi kasus sa''ad bin Abi Rabi dengan istrinya, Habibah binti Zaid. Habibah telah nusyuz dan Sa''ad memberikan response yang kasar. Dia memukul tubuh istrinya. Kemudian Habibah melaporkan kepada Rasulullah (Saw) dan memohon dengan tujuan agar suaminya dihukumi dengan qishash. Sebelum mereka melakukan qishash, datang ayat. Kemudian, konteks dari surat tersebut adalah untuk masalah keluarga atau masalah domestik bukan untuk dibuka dipublik. Ayat tersebut berkenaan dengan masalah rumah tangga telah disimpulkan secara umum. Sehingga hak wanita untuk isu yang lain telah dihilangkan. Kemudian dikuatkan oleh hadis Nabi:Tidaklah beruntung suatu kaum jika menyerahkan suatu kepemimpinan kepada perempuan. Berdasarkan laporan dari Bukhari dan Ahmad Ibnu Hambali, hal ini dikenal dengan sumber dari hadist adalah Abi Bakrah. Ibn Atsir berkata bahwa hadist ini adalah lemah, karena sanadnya telah cacat. Jika hadist ini sahih sebagaimana pendapat Ibnu Hajar Al-Astqalani, Hadist ini harus diinterpretasikan secara kontekstual. Berdasarkan sejarah, hadist datang kepada Buwaran dari Kisra Persia yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja. Secara faktanya, hal ini dipercaya bahwa dia tidak kredibel dan begitu lemahnya. Orang-orang begitu khawatir tentang kemampuan dia yang
mengakibatkan pengaruh pada politik. Kemudian, hadist ini merupakan hal yang kasuistik. Demikianlah, menolak hak wanita dalam ranah politik sebagai pemimpin berdasarkan perspektif islam tidak didefinisikan secara terinci.
Tulisan ini tidaklah terlalu membicarakan sebuah perdebatan panjang tentang layak atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin atau kepala daerah serta menghotspotkan istilah emansipasi wanita. Biarlah publik dan waktu yang menyaksikan skenario keberhasilan pemimpin-pemimpin wanita dalam sejarah dunia. Karena pada hakikatnya makhluk Tuhan itu sama dan Allah tidak membedakan hambaNya melainkan ketakwaan. Meskipun secara priodik sejarah kaum hawa sudah terlupakan yang telah sukses menggerakkan roda zaman. Penulis bermaksud mengajak pembaca sejenak mengamati sebuah kehidupan anak zaman yang telah berlalu, track recordnya masih dikenang dan keberaniannya yang terpuji di seantreo Indonesia, bahkan dianggap layak menjadi seorang pemimpin dialah Raden Ayu Kartini sebutannya.
Tanggal 21 april 1879 terlahirlah seorang perempuan yang ayu, simple, berotak berlian dan dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi dari Jepara Jawa Tengah. Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara dengan sikap kesederhanaan di tengah kemewahan yang dimilikinya menjadikan dia sebgai sosok perempuan sekaligus seorang ibu yang luar biasa. Meskipun 21 april tidak termasuk hari libur nasional, namun Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini dan bahkan banyak masyarakat Indonesia, khususnya para ibu-ibu memperingati hari lahir kartini dengan mengisi berbagai acara dan aktifitas kepedulian.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Pemikiran-pemikiran cemerlangnya mampu meloncati pagar sosial budaya, geografis serta tembok besar penjara rasa keterkungkungan karena kebodohan dan kemiskinan. Pemikiran-pemikiran berliannya tsb kemudian menjadi salah satu sumber informasi bagi perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Dari jepitan dinding-dinding penjara yang tidak tampak oleh mata telanjang itu lahirlah pemikiran-pemikiran yang menembus ruang dan waktu. Oleh karena itu Bangsa Indonesia patut bersyukur ke hadirat Allah SWT karena telah menurunkan seorang perempuan ke bumi pertiwi tercinta yang membawa missi pencerahan bagi kita bangsa Indonesia. Jadi perjuangannya tidak khusus bagi kaum wanita. Terlepas dari kontroversi penulisan sejarah dan sudut pandang para penulisnya, marilah kita samakan nilai sebagai pijakan dulu, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yg dapat menghargai jasa para pahlawannya. Jangan sampai kita berubah menjadi pengikut paradigma yang disampaikan wapres Republik BBM (TV Show), yaitu “bangsa yg besar adalah bangsa yang dapat menertawakan dirinya sendiri”. Sebuah hiburan yang sesungguhnya menyakitkan. Secara kontemporer mungkin paradigma ini ada benarnya juga. Bagaimana tidak tertawa, puluhan tahun kita diperintah oleh sebuah kekuasaan yang awalnya dibentuk dari fotokopi sebuah surat. Ini baru fotokopinya, belum aslinya. Kalau ada yang mempermasalahkan otentiksitas surat-surat Kartini maka wajar-wajar saja, lantaran aslinya tidak ditemukan. Tetapi jauh lebih baik menghargai daripada menertawakan. Banyak hal yang dapat dipelajari dari riwayat RA Kartini.

Pertama adalah semangat untuk keluar dari masalah-masalah diskriminasi, kebodohan dan masalah derivatifnya.
Dari kondisi ini Kartini bagaikan seorang begawan yang dengan kesaktian dan kebijakannya mengeluarkan wejangan-wejangan. Kartini adalah figur pemberontakan intelektual, sosial budaya dan karakter bangsa. Pemberontakannya bukan dengan senjata, tetapi dengan mengedapankan pembentukan kecerdasan dan akhlak mulia. Mari kita bayangkan apa yang kurang pada kondisi kita saat ini. Kita kekurangan orang bijak. Andaikan, setidaknya ada satu orang saja yang mampu berpikir dan berperasaan dan kemudian
mengekspresikannya kedalam tindakan seperti RA Kartini di setiap Kabupaten/Kota di Indonesia, tentu kondisi krisis dan peralihan yang kita alami tidak berlarut-larut hingga kini. Apalagi yang kurang dari Bangsa Indonesia saat ini? Para cerdik pandai negeri ini belum mampu menjadi pelopor pengembangan modal intelektual dan penerapannya yang dilandasi kepedulian sosial.

Kedua adalah belajar strategi. Jauh-jauh Kartini telah menunjukkan langkah yang strategis. Yaitu memilih strategi surat menyurat. Karena dengan surat menyurat yang kemudian dipublikasikan oleh teman-teman korespondensinya yang Bangsa Belanda, relatif tidak terkena sensor penjajah. Kartini mengiklankan keinginannya untuk berkoresponden yang kemudian ditangkap antara lain oleh Stella Zeehandelaar, dan Ny. Abendanon. Kartini ternyata mampu melihat jalan lain. Dia tidak putus asa atas penolakan redaktur koran pada saat itu atas tulisan-tulisannya. Dengan cara ini pula maka terdapat arsip surat-suratnya yang kemudian menjadi bahan-bahan penulisan tentang Kartini.

Ketiga adalah gemar membaca. Dari surat-surat Kartini kepada para korespondennya dapat dilihat bahwa Kartini adalah seorang yang gemar membaca. Tentu saja yang dibaca bukan buku yang berbahasa Jawa atau Indonesia. Melainkan buku yang berbahasa Belanda. Artinya menguasai bahasa asing dengan kata yang lebih tegas adalah wajib. Membaca adalah pintu kemajuan. Adalah Prof. Soedjatmoko (aim) yang mengatakan bahwa bangsa maju adalah bangsa pembaca . Budaya membaca dan menulis lebih baik daripada budaya menonton. Karena dalam membaca dan menulis terdapat internalisasi nilai yang sedang menjadi perhatiannya. Internaslisasi itulah proses belajar. Dan belajar itulah proses untuk keluar dari kemiskinan”.
Kalau saja bangsa kita ini mewarisi sifat gemar membaca dari Kartini mungkin kita sudah melesatcukupjauh dari kondisi sekarang.
Keempat adalah Ibu yang pendidik. Ibu adalah pendidik yang pertama. Konsep ini sesuai dengan konsep-konsep Psikologi perkembangan anak. Untuk memperkuat topik keempat ini, dibawah ini cuplikan dari surat Kartini kepada Prof. G.K. Anton dan Nyonya tahun 1902
“Perempuanlah, kaum ibu, yang pertama-tama meletakkan bibit kebaikan dan kejahatan dalam hati sanubari manusia yang biasanya tetap terkenang sepanjang hidupnya. Bukan tanpa alasan orang berkata baik laki-laki maupun perempuan telah menelannya bersama-sama air susu ibu”.

Cuplikan kedua adalah surat kepada Menteri Jajahan AWF Idenburg:
“Pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan pada kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan pembentukan akhlak, karena kecerdasan otak dengan sendirinya perasaan akan menjadi beradab. Begitu banyak contoh yang tak terhitung membuktikan bahwa kecerdasan pikiran yang tinggi masih belum merupakan jaminan yang mutlak untuk keluhuran budi. Sebagai ibu dialah pendidik pertama umat manusia. Di pangkuannya anak pertama-tama belajar merasa, berpikir, berbicara (Dri Arbaningsih, 2005 hal 154-155).
Dari kutipan-kutipan di atas tampak bahwa Kartini mengembangkan konsep ibu cerdas bukan hanya cerdas intelektual tetapi juga emosional dan spiritual. Jauh-jauh konsep pengembangan intelektual, emosionil, dan spiritual yang telah digagasnya mendahului konsep yang dikembangkan Daniel Goleman terkenal dengan Emotional Intelligence and Social Intelligencennya , dan Ary Ginanjar dengan ESQnya, bahkan AA Gym denga MQnya. Kecerdasan dan keintelektualannya tidak dijual apalagi digadaikan untuk intensitas memperkaya diri yang tentu berbeda dengan kebanyakan kaum hawa sekarang berkompetisi merebut sebuah posisi politik atau kepala daerah tertentu yang ditawarkan kepadanya karena ketenaran, popularitas dan kedekatan nepotisme yang dimilikinya sehingga suatu yang tidak layak menjadi layak, suatu yang tabu menjadi halal. Raden Ayu Kartini bukanlah seperti Julia Perez, Ayu Azhari, dan para artis wanita lainnya yang menginternalisai dirinya untuk suatu jabatan demi ambisi pribadi atau sekelompok berorientasi meraup kekayaan. Kartini adalah sosok seorang perempuan mempunyai naluri feminisme, keibuan yang tulus dan ikhlas untuk mencerdaskan anak bangsa ketimbang sibuk membahas gender affair dan emansipasi. Bukankah tepat jika beliau kita anggap ternyata dia benar-benar seorang ibu bangsa yang mempunyai cita-cita memajukan anak- anak bangsa agar terujud bangsa yang bermoral dan mempunyai identitas yang mulia.

Tidak ada komentar: