“kemerdekaan yang sebenarnya adalah keterbebasan seseorang dari hawa nafsu yang berlebihan dan terhindar dari kezaliman segelintir orang”
Sudah merupakan hal yang Fenomenal setiap datangnya bulan Agustus, bangsa Indonesia menyambutnya dengan penuh suka cita. Sebab, bulan tersebut adalah saat di mana bangsa Indonesia mendeklarasikan dan sekaligus memperingati hari kemerdekaanya. Di mana-mana, berbagai macam acara dan keramaian dilaksanakan oleh masyarakat Indoneisa. Pemandangan yang seperti ini, sepertinya sudah menjadi rutinitas bangsa ini. Karena memang pesta dan perayaan, merupakan salah satu wujud syukur kita kepada Allah. Dan kemerdekaan adalah salah satu dari ni’mat Allah swt yang diberikan-Nya kepada manusia yang mesti disyukuri. Seperti disebutkan Allah swt dalam surat al-Ma’idah [5]: 20
“Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya, wahai kaumku, ingatlah ni’mat Allah atas kamu Dia telah menjadikan banyak nabi untukmu dan telah menjadikan kamu bangsa yang mardeka.”
Begitu juga, hal yang sama Allah sebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 49, surat al-A’raf [7] : 141, dan surat Ibrahim [14]: 6. Namun demikian, pesta dan perayaan bukanlah satu-satunya bentuk syukur. Apalagi dengan menghabiskan budget yang berlebihan dan menghamburkan uang untuk merayakan kemerdekaan tersebut. Padahal di sisi lain masyarakat masih menderita kelaparan dan kekurangan di berbagai hal.
Minimal ada tiga bentuk syukur yang mesti dijalankan manusia yang beriman terhadap ni’mat Allah swt.
Pertama, syukur dengan hati yaitu menyadari dan meyakini bahwa ni’mat yang diterima tersebut, semuanya berasal dari Allah swt. Tidak satupun yang diperolehnya kecuali atas kemurahan-Nya. Orang yang bersyukur dengan hati, akan senantiasa merasa senang, ridha, dan puas dengan segala pemberian Allah swt kepadanya, sekalipun kecil menurut pandangan dan ukuran manusia. Bahkan, orang yang bersyukur dengan hati akan tetap memuji Tuhan, sekalipun ditimpa musibah atau sesuatu yang tidak diinginkan. Sebab, dia meyakini bahwa Allah swt bisa saja memberikan musibah yang jauh lebih besar dari yang sedang dia hadapi.
Seseorang yang selalu bersyukur dengan hati akan memandang semua pemberian Allah itu besar, dan melihat musibah yang dia terima itu sangat kecil. Bukankah dalam surat al-Baqarah [2]: 155, Allah swt mengatakan bahwa betapa besarnya cobaan, ujian, atau bencana tetap saja kecil bila dibandingkan kenikmatan yang telah diperoleh atau dengan bencana yang bisa didatangkan-Nya. Dan bukankah manusia ketika ditimpa suatu musibah seringkali mengatakan kalimat “untung begitu, coba kalau begini”, atau “untung masih begini coba kalau begitu” dan seterusnya.
Bangsa Indonesia secara sadar telah mengatakan dalam pembukaan UUD 1945, bahwa kemerdekaan yang diraih adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Itulah bentuk syukur bangsa kita dengan hati. Mudah-mudahan kita tidak seperti Qarun yang diberi ni’mat begitu banyak oleh Allah swt, namun mengingkari bahwa ni’mat itu berasal dari Allah, bahkan dengan lantang dia berkata “Semua ini saya peroleh berkat kepandaian dan ilmu saya…”( Baca. QS. Al-Qashash [28]: 76-82). Sehinggga dengan kekafirannya itu, Allah swt membenamkannya dan kekayaan serta pembantu-pembantunya ke dalam tanah.
Kedua, bersyukur dengan lidah dalam bentuk ucapan alhamdulillâh. Kita memuji Allah swt atas segala ni’mat yang telah deberikan-Nya. Sesuai dengan perintah-Nya dalam surat adh-Dhuha [93]: 11
“Maka terhadap ni’mat Tuhanmu sebutlah.”
Ketiga, syukur dengan perbuatan dan tidakan, seperti yang diperintahkan Allah swt kepada Nabi Daud as dan keluarganya “Berbuatlah (yang terbaik dengan ni’mat itu) wahai keluarga Daud sebagai bentuk syukur (QS. Saba’[34]: 13). Nabi Daud telah mencontohkan bagaimana dia berbuat yang terbaik dengan ni’mat yang telah diberikan Allah swt, yaitu dengan kekuatan yang dimilikinya dia mampu menyelamatkan bangsanya dari ketertindasan. Dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya, dia menciptkan kemakmuran rakyatnya sehingga pada masa Daud dan Sulaiman as. bani Israel mencapai puncak kejayaan yang belum pernah dicapai bangsa lain pada masa itu.
Apapun bentuk ni’mat yang diberikan Allah swt. pasti punya maksud dan tujuan yang dibebankan kepada manusia untuk melakasanakannya. Misalnya, Allah swt menciptakan laut untuk manusia dengan tujuan manusia memanfaatkannya secara maksimal untuk kepentingan dan kemashlahatan semua manusia. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat an-Nahl [16]: 14
“Dan Dia telah menundukkan laut supaya kamu memakan apa yang ada di dalamnya berupa daging yang segar dan kamu mengeluarkan perhiasan darinya untuk kamu pakai dan engkau lihat bahtera berlayar di atasnya supaya kamu mencari karunia dari laut itu mudah-mudahan kamu bersyukur.”
Dengan demikian, Allah menciptakan laut supaya manusia mengambil manfaat yang begitu banyak darinya, demi terciptanya kemashlahatan dan kebaikan manusia secara keseluruhan, bukan untuk kepentingan satu orang atau sekelompok orang. Hal itu tersirat dari penggunaan dhâmir (kata ganti) bentuk jama’ (banyak). Namun, bila ni’mat yang telah diberikan Allah tidak dipergunakan sesuai tujuan Sang Pemberi, maka ni’mat itu pasti dicabut dari manusia itu dan akan diganti dengan azab.
Dalam al-Qur’an, surat an-Nahl [16]: 112, Allah menyebutkan sebuah perumpamaan;
“Dan Allah membuat sebuah perumpamaan terhadap suatu negeri (Qaryatan)yang dahulu aman, tentram, rezeki datang dari segala tempat namun negeri itu kemudia kafir terhadap ni’mat Allah maka Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang mereka perbuat.”
Kita tidak tahu negeri mana yang dimaksud Allah swt, karena bentuk kata Qaryatan (sebuah negeri), bentuknya nakirah/indifinite (tidak tentu). Apakah negeri itu negeri kita, Indonesia? Wallahu a’lam.
Negeri kita yang begitu subur, air di mana-mana, tumbuhan apa saja ditanam akan tumbuh dan berbuah. Bahkan, ada ungkapan sebuah nyanyi “tongkat kayu bisa jadi tanaman”, tanpa dipupuk ia akan tetap berbuah. Namun demikian, kita tetap menjadi bangsa yang miskin, terpuruk, dihinggapi busung lapar, hilangnya rasa aman dan sebagainya. Kenapa itu terjadi? Mungkin, bangsa kita kurang bisa bersyukur mempergunakan ni’mat kesuburan ini, sehingga walaupun kaya tetap saja menjadi negara miskin.
Allah swt menyebutkan sebuah contoh negeri yang kondisinya seperti yang disebutkan dalam perumpamaan Allah di atas, yaitu negeri Saba’ seperti yang diceritakan dalam surat Saba’[34]: 15-19. Negeri Saba’ adalah sebuah negeri yang subur, aman, damai, tentram (baldatun thayibatun wa rabbun ghafûr). Negeri ini pernah dipimpin oleh seorang ratu yang bijaksana. Rakyatnya hidup sejahtera dengan kesuburan dan kekayaan alam yang melimpah, disamping penguasanya yang adil dan bertaqwa. Bahkan, mereka mampu menciptakan sesuatu yang belum pernah dibuat masyarakat manapun pada masanya, yaitu bendungan Ma’rib yang merupakan bendungan raksasa pertama di dunia, dan juga salah satu keajaiban dunia. Namun dengan berlalunya waktu, penduduknya tidak bisa mensyukuri kekayaan yang melimpah tersebut. Generasi berikutnya tidak mampu memelihara dan menggunakan karunia Tuhan, bendungan tidak lagi dijaga, alam tidak lagi dipelihara dan digunakan untuk kemashlahatan bersama. Akhirnya, Tuhan mengutus sailul ‘iram (banjir bah) yang menghancurkan bendungan dan negeri yang subur itu. Kesuburan berobah menjadi kegersangan, kebun-kebun yang semula berbuah lebat, besar dan manis berubah menjadi kebun yang berbuah kecil dan pahit (jannataini dzawatai aklin khamthin wa atslin). Rakyatnya yang semula kaya dan menjadi tuan-tuan negeri, berubah menjadi miskin hingga mereka terpaksa berpindah ke berbagai negeri mencari lahan baru, dan sebagain menjadi babu dan pembantu di negeri lain.
Bangsa bani Israel dalam catatan sejarah juga mengalami hal yang sama, akibat kekufuran mereka terhadap ni’mat Tuhan. Dalam surat al-Ma’idah[5]: 20 di atas, Tuhan menyebutkan bahwa bangsa bani Israel diberikan banyak ni’mat di antaranya kemerdekaan. Nabi Musa as. menyelamatkan mereka dari penindasan Fir’aun di Mesir, hingga mereka pulang ke Palestina dan membangun peradaban. Puncak kejayaan meraka terjadi pada masa nabi Daud dan Sulaiman as. Namun, generasi sesudahnya tidak mampu mensyukuri ni’mat kemerdekaan itu. Mereka saling bermusuhan dan seringkali terjadi perpecahan di antara sesama mereka. Akhirnya, mereka kembali dijajah berkali-kali oleh bangsa lain, mulai dari bangsa Babil di bawah pimpinan Nebukkadnezer, bangsa Yunani dibawah pinpinan Iskandar Agung, bangsa Persia, dan bangsa Romawi. Mereka mengalami penindasan dan penghinaan sepanjang sejarah akibat ketidakmampuan mereka bersyukur kepada Allah.
Itulah yang dimaksudkan Allah dalam surat Ibrahim [14]: 7
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Dalam surat ar-Rahman [55], Allah swt mengungkapkan banyak sekali pertanyaan kepada manusia. Hampir dalam setiap menyebutkan dua ni’mat-Nya, Tuhan bertanya “Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustai?”. Pertanyaan ini terulang dalam surat tersebut, sebanyak 31 kali. Menurut analisa ulama, 8 pertanyaan pertama berkenaan dengan ni’mat Allah swt di dunia, 7 pertanyaan untuk ni’mat bebas dari ancaman neraka, 8 pertanyaan ke dua untuk ni’mat sorga pertama (sorga di dunia), dan 8 pertanyaan ketiga untuk ni’mat sorga ke dua (akhirat). Sehinga, surat ar-Rahman mengandung sebuah isyarat Allah swt, bahwa siapa yang mampu mensyukuri ni’mat di dunia, dia akan terbebas dari 7 buah neraka Tuhan dan dia boleh memasuki 8 sorga Tuhan, dari pintu manapun dia ingin memasukinya.
Oleh karena itu, marilah kita bersykur atas ni’mat kemerdekaan ini dengan cara berbuat yang terbaik dalam kapasitas kita masing-masing untuk kemajuan bangsa dan Negara. Karena kemerdekaan yang sebenarnya adalah keterbebasan kita dari hawa nafsu yang berlebihan dan kezaliman segelintir orang. Mari menjadi yang terbaik dan senantiasa memberikan yang terbaik untuk sebuah kemerdekaan. Sehingga kita bisa menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di mata Allah swt dan di mata dunia.
READ MORE - Arti Sebuah Nikmat Kemerdekaan
Tweet
Sudah merupakan hal yang Fenomenal setiap datangnya bulan Agustus, bangsa Indonesia menyambutnya dengan penuh suka cita. Sebab, bulan tersebut adalah saat di mana bangsa Indonesia mendeklarasikan dan sekaligus memperingati hari kemerdekaanya. Di mana-mana, berbagai macam acara dan keramaian dilaksanakan oleh masyarakat Indoneisa. Pemandangan yang seperti ini, sepertinya sudah menjadi rutinitas bangsa ini. Karena memang pesta dan perayaan, merupakan salah satu wujud syukur kita kepada Allah. Dan kemerdekaan adalah salah satu dari ni’mat Allah swt yang diberikan-Nya kepada manusia yang mesti disyukuri. Seperti disebutkan Allah swt dalam surat al-Ma’idah [5]: 20
“Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya, wahai kaumku, ingatlah ni’mat Allah atas kamu Dia telah menjadikan banyak nabi untukmu dan telah menjadikan kamu bangsa yang mardeka.”
Begitu juga, hal yang sama Allah sebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 49, surat al-A’raf [7] : 141, dan surat Ibrahim [14]: 6. Namun demikian, pesta dan perayaan bukanlah satu-satunya bentuk syukur. Apalagi dengan menghabiskan budget yang berlebihan dan menghamburkan uang untuk merayakan kemerdekaan tersebut. Padahal di sisi lain masyarakat masih menderita kelaparan dan kekurangan di berbagai hal.
Minimal ada tiga bentuk syukur yang mesti dijalankan manusia yang beriman terhadap ni’mat Allah swt.
Pertama, syukur dengan hati yaitu menyadari dan meyakini bahwa ni’mat yang diterima tersebut, semuanya berasal dari Allah swt. Tidak satupun yang diperolehnya kecuali atas kemurahan-Nya. Orang yang bersyukur dengan hati, akan senantiasa merasa senang, ridha, dan puas dengan segala pemberian Allah swt kepadanya, sekalipun kecil menurut pandangan dan ukuran manusia. Bahkan, orang yang bersyukur dengan hati akan tetap memuji Tuhan, sekalipun ditimpa musibah atau sesuatu yang tidak diinginkan. Sebab, dia meyakini bahwa Allah swt bisa saja memberikan musibah yang jauh lebih besar dari yang sedang dia hadapi.
Seseorang yang selalu bersyukur dengan hati akan memandang semua pemberian Allah itu besar, dan melihat musibah yang dia terima itu sangat kecil. Bukankah dalam surat al-Baqarah [2]: 155, Allah swt mengatakan bahwa betapa besarnya cobaan, ujian, atau bencana tetap saja kecil bila dibandingkan kenikmatan yang telah diperoleh atau dengan bencana yang bisa didatangkan-Nya. Dan bukankah manusia ketika ditimpa suatu musibah seringkali mengatakan kalimat “untung begitu, coba kalau begini”, atau “untung masih begini coba kalau begitu” dan seterusnya.
Bangsa Indonesia secara sadar telah mengatakan dalam pembukaan UUD 1945, bahwa kemerdekaan yang diraih adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Itulah bentuk syukur bangsa kita dengan hati. Mudah-mudahan kita tidak seperti Qarun yang diberi ni’mat begitu banyak oleh Allah swt, namun mengingkari bahwa ni’mat itu berasal dari Allah, bahkan dengan lantang dia berkata “Semua ini saya peroleh berkat kepandaian dan ilmu saya…”( Baca. QS. Al-Qashash [28]: 76-82). Sehinggga dengan kekafirannya itu, Allah swt membenamkannya dan kekayaan serta pembantu-pembantunya ke dalam tanah.
Kedua, bersyukur dengan lidah dalam bentuk ucapan alhamdulillâh. Kita memuji Allah swt atas segala ni’mat yang telah deberikan-Nya. Sesuai dengan perintah-Nya dalam surat adh-Dhuha [93]: 11
“Maka terhadap ni’mat Tuhanmu sebutlah.”
Ketiga, syukur dengan perbuatan dan tidakan, seperti yang diperintahkan Allah swt kepada Nabi Daud as dan keluarganya “Berbuatlah (yang terbaik dengan ni’mat itu) wahai keluarga Daud sebagai bentuk syukur (QS. Saba’[34]: 13). Nabi Daud telah mencontohkan bagaimana dia berbuat yang terbaik dengan ni’mat yang telah diberikan Allah swt, yaitu dengan kekuatan yang dimilikinya dia mampu menyelamatkan bangsanya dari ketertindasan. Dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya, dia menciptkan kemakmuran rakyatnya sehingga pada masa Daud dan Sulaiman as. bani Israel mencapai puncak kejayaan yang belum pernah dicapai bangsa lain pada masa itu.
Apapun bentuk ni’mat yang diberikan Allah swt. pasti punya maksud dan tujuan yang dibebankan kepada manusia untuk melakasanakannya. Misalnya, Allah swt menciptakan laut untuk manusia dengan tujuan manusia memanfaatkannya secara maksimal untuk kepentingan dan kemashlahatan semua manusia. Seperti yang disebutkan Allah dalam surat an-Nahl [16]: 14
“Dan Dia telah menundukkan laut supaya kamu memakan apa yang ada di dalamnya berupa daging yang segar dan kamu mengeluarkan perhiasan darinya untuk kamu pakai dan engkau lihat bahtera berlayar di atasnya supaya kamu mencari karunia dari laut itu mudah-mudahan kamu bersyukur.”
Dengan demikian, Allah menciptakan laut supaya manusia mengambil manfaat yang begitu banyak darinya, demi terciptanya kemashlahatan dan kebaikan manusia secara keseluruhan, bukan untuk kepentingan satu orang atau sekelompok orang. Hal itu tersirat dari penggunaan dhâmir (kata ganti) bentuk jama’ (banyak). Namun, bila ni’mat yang telah diberikan Allah tidak dipergunakan sesuai tujuan Sang Pemberi, maka ni’mat itu pasti dicabut dari manusia itu dan akan diganti dengan azab.
Dalam al-Qur’an, surat an-Nahl [16]: 112, Allah menyebutkan sebuah perumpamaan;
“Dan Allah membuat sebuah perumpamaan terhadap suatu negeri (Qaryatan)yang dahulu aman, tentram, rezeki datang dari segala tempat namun negeri itu kemudia kafir terhadap ni’mat Allah maka Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang mereka perbuat.”
Kita tidak tahu negeri mana yang dimaksud Allah swt, karena bentuk kata Qaryatan (sebuah negeri), bentuknya nakirah/indifinite (tidak tentu). Apakah negeri itu negeri kita, Indonesia? Wallahu a’lam.
Negeri kita yang begitu subur, air di mana-mana, tumbuhan apa saja ditanam akan tumbuh dan berbuah. Bahkan, ada ungkapan sebuah nyanyi “tongkat kayu bisa jadi tanaman”, tanpa dipupuk ia akan tetap berbuah. Namun demikian, kita tetap menjadi bangsa yang miskin, terpuruk, dihinggapi busung lapar, hilangnya rasa aman dan sebagainya. Kenapa itu terjadi? Mungkin, bangsa kita kurang bisa bersyukur mempergunakan ni’mat kesuburan ini, sehingga walaupun kaya tetap saja menjadi negara miskin.
Allah swt menyebutkan sebuah contoh negeri yang kondisinya seperti yang disebutkan dalam perumpamaan Allah di atas, yaitu negeri Saba’ seperti yang diceritakan dalam surat Saba’[34]: 15-19. Negeri Saba’ adalah sebuah negeri yang subur, aman, damai, tentram (baldatun thayibatun wa rabbun ghafûr). Negeri ini pernah dipimpin oleh seorang ratu yang bijaksana. Rakyatnya hidup sejahtera dengan kesuburan dan kekayaan alam yang melimpah, disamping penguasanya yang adil dan bertaqwa. Bahkan, mereka mampu menciptakan sesuatu yang belum pernah dibuat masyarakat manapun pada masanya, yaitu bendungan Ma’rib yang merupakan bendungan raksasa pertama di dunia, dan juga salah satu keajaiban dunia. Namun dengan berlalunya waktu, penduduknya tidak bisa mensyukuri kekayaan yang melimpah tersebut. Generasi berikutnya tidak mampu memelihara dan menggunakan karunia Tuhan, bendungan tidak lagi dijaga, alam tidak lagi dipelihara dan digunakan untuk kemashlahatan bersama. Akhirnya, Tuhan mengutus sailul ‘iram (banjir bah) yang menghancurkan bendungan dan negeri yang subur itu. Kesuburan berobah menjadi kegersangan, kebun-kebun yang semula berbuah lebat, besar dan manis berubah menjadi kebun yang berbuah kecil dan pahit (jannataini dzawatai aklin khamthin wa atslin). Rakyatnya yang semula kaya dan menjadi tuan-tuan negeri, berubah menjadi miskin hingga mereka terpaksa berpindah ke berbagai negeri mencari lahan baru, dan sebagain menjadi babu dan pembantu di negeri lain.
Bangsa bani Israel dalam catatan sejarah juga mengalami hal yang sama, akibat kekufuran mereka terhadap ni’mat Tuhan. Dalam surat al-Ma’idah[5]: 20 di atas, Tuhan menyebutkan bahwa bangsa bani Israel diberikan banyak ni’mat di antaranya kemerdekaan. Nabi Musa as. menyelamatkan mereka dari penindasan Fir’aun di Mesir, hingga mereka pulang ke Palestina dan membangun peradaban. Puncak kejayaan meraka terjadi pada masa nabi Daud dan Sulaiman as. Namun, generasi sesudahnya tidak mampu mensyukuri ni’mat kemerdekaan itu. Mereka saling bermusuhan dan seringkali terjadi perpecahan di antara sesama mereka. Akhirnya, mereka kembali dijajah berkali-kali oleh bangsa lain, mulai dari bangsa Babil di bawah pimpinan Nebukkadnezer, bangsa Yunani dibawah pinpinan Iskandar Agung, bangsa Persia, dan bangsa Romawi. Mereka mengalami penindasan dan penghinaan sepanjang sejarah akibat ketidakmampuan mereka bersyukur kepada Allah.
Itulah yang dimaksudkan Allah dalam surat Ibrahim [14]: 7
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Dalam surat ar-Rahman [55], Allah swt mengungkapkan banyak sekali pertanyaan kepada manusia. Hampir dalam setiap menyebutkan dua ni’mat-Nya, Tuhan bertanya “Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustai?”. Pertanyaan ini terulang dalam surat tersebut, sebanyak 31 kali. Menurut analisa ulama, 8 pertanyaan pertama berkenaan dengan ni’mat Allah swt di dunia, 7 pertanyaan untuk ni’mat bebas dari ancaman neraka, 8 pertanyaan ke dua untuk ni’mat sorga pertama (sorga di dunia), dan 8 pertanyaan ketiga untuk ni’mat sorga ke dua (akhirat). Sehinga, surat ar-Rahman mengandung sebuah isyarat Allah swt, bahwa siapa yang mampu mensyukuri ni’mat di dunia, dia akan terbebas dari 7 buah neraka Tuhan dan dia boleh memasuki 8 sorga Tuhan, dari pintu manapun dia ingin memasukinya.
Oleh karena itu, marilah kita bersykur atas ni’mat kemerdekaan ini dengan cara berbuat yang terbaik dalam kapasitas kita masing-masing untuk kemajuan bangsa dan Negara. Karena kemerdekaan yang sebenarnya adalah keterbebasan kita dari hawa nafsu yang berlebihan dan kezaliman segelintir orang. Mari menjadi yang terbaik dan senantiasa memberikan yang terbaik untuk sebuah kemerdekaan. Sehingga kita bisa menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di mata Allah swt dan di mata dunia.