Akhir-akhir ini sering kita lihat label Islami di tengah masyarakat
kita. Fenomena ini begitu memikat sehingga menyilaukan pandangan
sebagian kaum muslimin khususnya. Segala sesuatu diberi label Islami
untuk menegaskan kehalalannya. Muncullah bank syariat, musik islami,
sinetron islami, nasyid islami, film islami, kosmetika islami, seni
islami, lagu islami, sandiwara islami, kartun islami, novel islami,
teater islami, pemikiran islami, wawasan islami dan lain sebagainya.
Penggunaan label-label berbau Islam ini seakan menjadi aspek legal bagi barang atau produk tersebut. Namun sejauh manakah kebenarannya? Itulah yang masih perlu dikaji lagi. Sebab, pada umumnya pihak-pihak yang menyematkan label itu tidak begitu mengerti hukum syariat, sehingga kebenaran dan kecocokannya dengan syariat masih menjadi tanda tanya. Sebagaimana yang sudah dimaklumi bersama, bahwa label buatan manusia tidak bisa dijadikan barometer isi. Bisa jadi labelnya halal tapi isinya haram, demikian pula sebaliknya. Dan label tentunya bukan menjadi jaminan isi dan tidak bisa merubah hakikat isi.
Inilah masalah yang akan kita bicarakan di sini.
Barang-barang atau apa saja yang diberi label Islami ini tidak lepas dari dua bentuk :
Pertama : Perkara-perkara duniawi yang hukum asalnya adalah mubah. Kaidah syariat menyatakan bahwa hukum asal untuk urusan duniawi ini adalah mubah sampai ada dalil syariat yang melarangnya.
Kedua : Perkara-perkara ibadah yang telah ditetapkan hukumnya dalam syariat. Kaidah syari’at menyatakan bahwa hukum asal untuk urusan ibadah adalah dilarang sampai ada dalil syariat yang menyuruhnya.
Untuk bentuk pertama, label Islami di sini memberi makna bahwa barang atau benda itu adalah mubah atau halal atau memberikan penegasan bahwa ini tidak terlarang dalam syariat, misalnya pakaian Islami, makanan Islami, minuman Islami, pengobatan islami, kosmetika islami, butik islami, jilbab gaul dan sejenisnya.
Untuk bentuk kedua, label Islami di sini memberi makna bahwa perkara itu dianjurkan atau diwajibkan atau menegaskan bahwa ada perintah syariat padanya atau sejalan dengan perintah syariat, misalnya dzikir islami, doa islami, ziarah islami, umrah islami, haji islami, jihad islami dan semisalnya.
Barangkali bentuk yang kedua ini jarang terdengar, yang sering kita dengar adalah bentuk yang pertama. Istilah yang dipakai kadang kala dengan menggunakan kata Islam itu sendiri, seperti contoh di atas, atau dengan menggunakan embel-embel syariat, seperti bank syariat, atau rumah gadai syariat, simpan pinjam syariat dan sejenisnya. Atau dengan salah satu simbol dan identitas islam, misalnya Ka’bah, Mekkah, Madinah dan sejenisnya, contohnya adalah minuman dengan label mecca cola.
Indikasi yang ada menunjukkan bahwa trend ini hanyalah sebatas mencari popularitas. Gejala ini biasanya bersifat kontemporer. Masyarakat kita sekarang ini tengah dihadapkan pada suatu gejala yang disebut budaya pop atau pop culture. Sikap latah adalah salah satu ciri khasnya. Dan budaya pop ini ternyata berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, dan kaum muslimin merupakan pangsa pasar terbesarnya. Bahkan wacana ini semakin menguat dalam konteks keagamaan. Gejala ini bisa dilihat dari semakin maraknya trend-trend islami yang muncul bak jamur di musim hujan.
Umat Islam Indonesia dikenal dengan sensitifitas keislamannya. Mereka sangat sensitif dengan bentuk-bentuk pengemasan Islam yang sifatnya khas. Sehingga dengan mudahnya trend ini mendapat tempat di hati sebagian umat Islam di sini. Apalagi mendapat kesempatan untuk diekspos media massa, baik berupa media cetak maupun elektronik yang semakin meluaskan pengaruhnya. Tentunya trend islami ini akan mudah diterima oleh kalangan masyarakat yang mayoritas muslim. Ini tentunya peluang yang sangat menguntungkan bagi orang yang berpikiran bisnis. Maka trend Islami inipun berubah menjadi budaya massa. Seiring dengan itu, arus kapitalisme pun mulai mempengaruhi trend-trend budaya massa tadi. Mereka berasumsi bisa memetik keuntungan yang besar dari fenomena ini. Sehingga trend-trend islami ini menjadi komoditas yang menggiurkan bagi mereka. Akhirnya simbol-simbol agamapun dijual atau dibisniskan dan menjadi stok kebutuhan pasar.
Dari situ arahnya bisa ditebak, trend islami ini hanya untuk memuaskan konsumsi pasar yang haus dengan fenomena seperti ini disebabkan kejenuhan mereka dengan modernitas atau sekedar mencari solusi alternatif. Pasar lebih dikedepankan daripada aspek halal haramnya. Sementara nama syariat hanyalah kulit tanpa isi. Maka dari itu sebagian besar label islami ini ternyata tidak islami bahkan jauh sekali dari ruh Islam, bahkan jelas-jelas dilarang oleh Islam. Hal ini akan nampak jelas bila kita tilik satu persatu.
Sebagai contoh munculnya fenomena jilbab gaul yang dianggap sebagai busana Muslimah yang islami. Penggunaan kata jilbâb mengesankan bahwa busana ini adalah busana islami. Namun kalau dilihat dari syarat-syarat dan kriteria jilbâb yang syar’i bagi wanita jelas jauh panggang dari api. Sebutan yang tepat untuk kerudung gaul seperti ini adalah berjilbab tapi telanjang. Bayangkan, seorang muslimah mengenakan jilbâb yang sekedar melilit di leher sementara bagian dada dibiarkan terbuka, dipadu dengan dandanan modis, celana street dan baju sedemikian ketat, hingga setiap lekuk dan tonjolan tubuhnya terbentuk, bagaimana kita harus menilainya? Itulah fenomena yang kita saksikan.
Jilbab gaul seperti ini justeru memunculkan degradasi moral secara berkesinambungan yang tak dapat dihindari. kenapa demikian ? Karena jilbâb gaul hanya dijadikan trend oleh kawula muda. Lebih parah lagi, mereka merasa sudah menutup aurat dengan benar sehingga lebih sulit mengajak mereka untuk mengenakan jilbâb syar’i daripada wanita yang memang pada dasarnya belum mengenakan jilbâb sama sekali.
Kesalahpahaman tentang makna dan fungsi jilbâb yang sesungguhnya ini diakibatkan oleh banyak hal :
Pertama : Maraknya tayangan–tayangan televisi yang kurang mendidik.
Kedua : Minimnya pengetahuan seorang muslimah terhadap nilai–nilai Islam sebagai akibat kurangnya pendidikan agama di sekolah–sekolah umum.
Ketiga : Kegagalan fungsi keluarga.
Keempat : Peran para desainer yang tidak memahami dengan benar prinsip pakaian Islam.
Demikian pula gebyar musik, lagu dan nasyid islami yang marak muncul belakangan ini, bahkan di Amerika sekarang rap islami sedang digandrungi oleh anak-anak muda. Kebanyakan para pelakunya tidak mengetahui bahwa Islam melarang musik. Para Ulama Islam bahkan telah menulis buku berkenaan dengan larangan musik dan alat-alat musik. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh al-Allâmah Ibnul Qayyim t yang berjudul Kasyful Ghithâ’ ‘an Hukmi Samâ’il Ghinâ’[1] . Dalam buku itu, beliau t menyebutkan kesepakatan imam madzhab yang empat dalam masalah ini. Dalam buku itu bahkan Ibnul Qayyim t menyatakan bahwa musik-musik yang dikatakan bernafaskan islam itu justeru lebih berbahaya daripada jenis musik lainnya. Karena pembubuhan kata ‘islami’ di situ mengesankan bahwa hal itu boleh menurut syari’at Islam, padahal tidak.
Demikian pula menjamurnya bank syariat, pelabelan syariat di sini mengesankan bahwa semua sistem dan tata cara yang berlaku di dalamnya sudah sesuai dengan syari’at. Namun benarkah demikian ?
Akhir-akhir ini juga marak trend novel islami. Bermunculanlah buku-buku novel yang katanya bernafaskan Islam dengan menjual cinta! Para pembaca mengira bahwa isi novel tersebut menggambarkan sosok pribadi dan suasana yang islami. Novel-novel itu menyuguhkan kisah yang sejalan dengan harapan pembacanya yang mengidolakan nilai-nilai Islam. Dalam waktu singkat ia menjadi trend dan menjelma jadi kehebohan massal. Barangkali maksud penulis adalah menanamkan nilai-nilai agama tertentu. Namun faktanya bukan itu yang ditangkap oleh pembaca. Mereka lebih tertarik dengan anak muda yang menjadi tokoh utama dalam novel tersebut. Kepribadiannya dianggap sebagai contoh bagi mereka. Maka yang tertanam dalam benak mereka adalah suguhan tentang kisah percintaan dan pacaran muda mudi model Islam!? Sinetron-sinetron, sandiwara-sandiwara dan film-film yang katanya bernafaskan Islam setali tiga uang dengan ini.
Bukankah kisah yang Allah Azza wa Jalla suguhkan bagi kita dalam al-Qur'ân dan yang disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup menjadi ibrah bagi kita ? Sesungguhnya orang-orang Bani Isrâil binasa ketika mereka beralih kepada kisah-kisah dan meninggalkan kitab suci mereka.
Barangkali sebagian orang melakukannya dengan tujuan untuk melaksanakan islamisasi di berbagai bidang dan aspek kehidupan manusia sekarang. Bahkan hal ini dianggap sebagai parameter kebangkitan dunia Islam. Namun yang perlu dicermati apakah dalam melaksanakan tujuan ini sudah selaras dengan syariat Islam itu sendiri ? Atau justeru menjadi bumerang bagi islamisasi itu sendiri, bak senjata makan tuan ? Sehingga umat terlanjur meyakini syar’inya sebuah perkara yang ternyata tidak syar’i bahkan menyimpang jauh dari syariat. Dalam hal ini sebagian orang mungkin melatahi apa yang dilakukan oleh umat lain. Bagi mereka itulah solusinya untuk menangkal arus luar yang begitu deras menyeret kaum muslimin. Umat harus diberi solusi dan ini adalah salah satu solusinya menurut asumsi mereka. Namun niat yang baik tidak menjamin cara dan prosedur juga akan baik. Seperti perkataan salah shahabat Rasûlullâh yaitu Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu , “Berapa banyak orang yang menghendaki kebaikan akan tetapi dia tidak berhasil mendapatkannya ?”
Niat yang baik harus disertai dengan cara yang baik pula sehingga hasilnya juga akan menjadi baik. Camkanlah dengan baik perkataan para Ulama’ yang menerangkan kepada kita bahwa ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla kecuali jika memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Penggunaan label-label berbau Islam ini seakan menjadi aspek legal bagi barang atau produk tersebut. Namun sejauh manakah kebenarannya? Itulah yang masih perlu dikaji lagi. Sebab, pada umumnya pihak-pihak yang menyematkan label itu tidak begitu mengerti hukum syariat, sehingga kebenaran dan kecocokannya dengan syariat masih menjadi tanda tanya. Sebagaimana yang sudah dimaklumi bersama, bahwa label buatan manusia tidak bisa dijadikan barometer isi. Bisa jadi labelnya halal tapi isinya haram, demikian pula sebaliknya. Dan label tentunya bukan menjadi jaminan isi dan tidak bisa merubah hakikat isi.
Inilah masalah yang akan kita bicarakan di sini.
Barang-barang atau apa saja yang diberi label Islami ini tidak lepas dari dua bentuk :
Pertama : Perkara-perkara duniawi yang hukum asalnya adalah mubah. Kaidah syariat menyatakan bahwa hukum asal untuk urusan duniawi ini adalah mubah sampai ada dalil syariat yang melarangnya.
Kedua : Perkara-perkara ibadah yang telah ditetapkan hukumnya dalam syariat. Kaidah syari’at menyatakan bahwa hukum asal untuk urusan ibadah adalah dilarang sampai ada dalil syariat yang menyuruhnya.
Untuk bentuk pertama, label Islami di sini memberi makna bahwa barang atau benda itu adalah mubah atau halal atau memberikan penegasan bahwa ini tidak terlarang dalam syariat, misalnya pakaian Islami, makanan Islami, minuman Islami, pengobatan islami, kosmetika islami, butik islami, jilbab gaul dan sejenisnya.
Untuk bentuk kedua, label Islami di sini memberi makna bahwa perkara itu dianjurkan atau diwajibkan atau menegaskan bahwa ada perintah syariat padanya atau sejalan dengan perintah syariat, misalnya dzikir islami, doa islami, ziarah islami, umrah islami, haji islami, jihad islami dan semisalnya.
Barangkali bentuk yang kedua ini jarang terdengar, yang sering kita dengar adalah bentuk yang pertama. Istilah yang dipakai kadang kala dengan menggunakan kata Islam itu sendiri, seperti contoh di atas, atau dengan menggunakan embel-embel syariat, seperti bank syariat, atau rumah gadai syariat, simpan pinjam syariat dan sejenisnya. Atau dengan salah satu simbol dan identitas islam, misalnya Ka’bah, Mekkah, Madinah dan sejenisnya, contohnya adalah minuman dengan label mecca cola.
Indikasi yang ada menunjukkan bahwa trend ini hanyalah sebatas mencari popularitas. Gejala ini biasanya bersifat kontemporer. Masyarakat kita sekarang ini tengah dihadapkan pada suatu gejala yang disebut budaya pop atau pop culture. Sikap latah adalah salah satu ciri khasnya. Dan budaya pop ini ternyata berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, dan kaum muslimin merupakan pangsa pasar terbesarnya. Bahkan wacana ini semakin menguat dalam konteks keagamaan. Gejala ini bisa dilihat dari semakin maraknya trend-trend islami yang muncul bak jamur di musim hujan.
Umat Islam Indonesia dikenal dengan sensitifitas keislamannya. Mereka sangat sensitif dengan bentuk-bentuk pengemasan Islam yang sifatnya khas. Sehingga dengan mudahnya trend ini mendapat tempat di hati sebagian umat Islam di sini. Apalagi mendapat kesempatan untuk diekspos media massa, baik berupa media cetak maupun elektronik yang semakin meluaskan pengaruhnya. Tentunya trend islami ini akan mudah diterima oleh kalangan masyarakat yang mayoritas muslim. Ini tentunya peluang yang sangat menguntungkan bagi orang yang berpikiran bisnis. Maka trend Islami inipun berubah menjadi budaya massa. Seiring dengan itu, arus kapitalisme pun mulai mempengaruhi trend-trend budaya massa tadi. Mereka berasumsi bisa memetik keuntungan yang besar dari fenomena ini. Sehingga trend-trend islami ini menjadi komoditas yang menggiurkan bagi mereka. Akhirnya simbol-simbol agamapun dijual atau dibisniskan dan menjadi stok kebutuhan pasar.
Dari situ arahnya bisa ditebak, trend islami ini hanya untuk memuaskan konsumsi pasar yang haus dengan fenomena seperti ini disebabkan kejenuhan mereka dengan modernitas atau sekedar mencari solusi alternatif. Pasar lebih dikedepankan daripada aspek halal haramnya. Sementara nama syariat hanyalah kulit tanpa isi. Maka dari itu sebagian besar label islami ini ternyata tidak islami bahkan jauh sekali dari ruh Islam, bahkan jelas-jelas dilarang oleh Islam. Hal ini akan nampak jelas bila kita tilik satu persatu.
Sebagai contoh munculnya fenomena jilbab gaul yang dianggap sebagai busana Muslimah yang islami. Penggunaan kata jilbâb mengesankan bahwa busana ini adalah busana islami. Namun kalau dilihat dari syarat-syarat dan kriteria jilbâb yang syar’i bagi wanita jelas jauh panggang dari api. Sebutan yang tepat untuk kerudung gaul seperti ini adalah berjilbab tapi telanjang. Bayangkan, seorang muslimah mengenakan jilbâb yang sekedar melilit di leher sementara bagian dada dibiarkan terbuka, dipadu dengan dandanan modis, celana street dan baju sedemikian ketat, hingga setiap lekuk dan tonjolan tubuhnya terbentuk, bagaimana kita harus menilainya? Itulah fenomena yang kita saksikan.
Jilbab gaul seperti ini justeru memunculkan degradasi moral secara berkesinambungan yang tak dapat dihindari. kenapa demikian ? Karena jilbâb gaul hanya dijadikan trend oleh kawula muda. Lebih parah lagi, mereka merasa sudah menutup aurat dengan benar sehingga lebih sulit mengajak mereka untuk mengenakan jilbâb syar’i daripada wanita yang memang pada dasarnya belum mengenakan jilbâb sama sekali.
Kesalahpahaman tentang makna dan fungsi jilbâb yang sesungguhnya ini diakibatkan oleh banyak hal :
Pertama : Maraknya tayangan–tayangan televisi yang kurang mendidik.
Kedua : Minimnya pengetahuan seorang muslimah terhadap nilai–nilai Islam sebagai akibat kurangnya pendidikan agama di sekolah–sekolah umum.
Ketiga : Kegagalan fungsi keluarga.
Keempat : Peran para desainer yang tidak memahami dengan benar prinsip pakaian Islam.
Demikian pula gebyar musik, lagu dan nasyid islami yang marak muncul belakangan ini, bahkan di Amerika sekarang rap islami sedang digandrungi oleh anak-anak muda. Kebanyakan para pelakunya tidak mengetahui bahwa Islam melarang musik. Para Ulama Islam bahkan telah menulis buku berkenaan dengan larangan musik dan alat-alat musik. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh al-Allâmah Ibnul Qayyim t yang berjudul Kasyful Ghithâ’ ‘an Hukmi Samâ’il Ghinâ’[1] . Dalam buku itu, beliau t menyebutkan kesepakatan imam madzhab yang empat dalam masalah ini. Dalam buku itu bahkan Ibnul Qayyim t menyatakan bahwa musik-musik yang dikatakan bernafaskan islam itu justeru lebih berbahaya daripada jenis musik lainnya. Karena pembubuhan kata ‘islami’ di situ mengesankan bahwa hal itu boleh menurut syari’at Islam, padahal tidak.
Demikian pula menjamurnya bank syariat, pelabelan syariat di sini mengesankan bahwa semua sistem dan tata cara yang berlaku di dalamnya sudah sesuai dengan syari’at. Namun benarkah demikian ?
Akhir-akhir ini juga marak trend novel islami. Bermunculanlah buku-buku novel yang katanya bernafaskan Islam dengan menjual cinta! Para pembaca mengira bahwa isi novel tersebut menggambarkan sosok pribadi dan suasana yang islami. Novel-novel itu menyuguhkan kisah yang sejalan dengan harapan pembacanya yang mengidolakan nilai-nilai Islam. Dalam waktu singkat ia menjadi trend dan menjelma jadi kehebohan massal. Barangkali maksud penulis adalah menanamkan nilai-nilai agama tertentu. Namun faktanya bukan itu yang ditangkap oleh pembaca. Mereka lebih tertarik dengan anak muda yang menjadi tokoh utama dalam novel tersebut. Kepribadiannya dianggap sebagai contoh bagi mereka. Maka yang tertanam dalam benak mereka adalah suguhan tentang kisah percintaan dan pacaran muda mudi model Islam!? Sinetron-sinetron, sandiwara-sandiwara dan film-film yang katanya bernafaskan Islam setali tiga uang dengan ini.
Bukankah kisah yang Allah Azza wa Jalla suguhkan bagi kita dalam al-Qur'ân dan yang disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup menjadi ibrah bagi kita ? Sesungguhnya orang-orang Bani Isrâil binasa ketika mereka beralih kepada kisah-kisah dan meninggalkan kitab suci mereka.
Barangkali sebagian orang melakukannya dengan tujuan untuk melaksanakan islamisasi di berbagai bidang dan aspek kehidupan manusia sekarang. Bahkan hal ini dianggap sebagai parameter kebangkitan dunia Islam. Namun yang perlu dicermati apakah dalam melaksanakan tujuan ini sudah selaras dengan syariat Islam itu sendiri ? Atau justeru menjadi bumerang bagi islamisasi itu sendiri, bak senjata makan tuan ? Sehingga umat terlanjur meyakini syar’inya sebuah perkara yang ternyata tidak syar’i bahkan menyimpang jauh dari syariat. Dalam hal ini sebagian orang mungkin melatahi apa yang dilakukan oleh umat lain. Bagi mereka itulah solusinya untuk menangkal arus luar yang begitu deras menyeret kaum muslimin. Umat harus diberi solusi dan ini adalah salah satu solusinya menurut asumsi mereka. Namun niat yang baik tidak menjamin cara dan prosedur juga akan baik. Seperti perkataan salah shahabat Rasûlullâh yaitu Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu , “Berapa banyak orang yang menghendaki kebaikan akan tetapi dia tidak berhasil mendapatkannya ?”
Niat yang baik harus disertai dengan cara yang baik pula sehingga hasilnya juga akan menjadi baik. Camkanlah dengan baik perkataan para Ulama’ yang menerangkan kepada kita bahwa ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla kecuali jika memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam