Sudah menjadi ketetapan Allah swt, bahwa yang selain Diri-Ny akan mengalami kerusakan, kebinasaan dan kehancuran. Hanya Allah sajalah Dzat yang tidak akan pernah rusak, binasa ataupun hancur. Manusia sebagai salah satu makhluk Tuhan, tentu juga tidak bisa luput dari hukum kebinasaan dan kehancuran yang telah ditetapkan Allah tersebut. Kematian adalah cara Allah membinasakan dan mengahancurkan manusia, ini juga berlaku bagi makhluk yang lain seperti hewan dan tumbuhan. Akan tetapi, Allah membinasakan dan menghancurkan manusia dengan kematian memiliki tujuan dan maksud yang berbeda dengan yang dialami makhluk yang lain seperti binatang dan tumbuhan. Jika binatang dan tumbuhan mengalami kebinasaan dan kehancuran melalui kematian, akan hilang dan lenyap begitu saja. Sementara manusia, mengalami kebinasaan dan kehancuran, akan datang menemui Allah dan memberikan pertangungjawaban atas segala aktifitasnya selama hidup di dunia untuk kemudian memperoleh kehidupan berikutnya yang jauh lebih baik dan lebih sempurna, jika pertanggungjawaban diterima oleh Allah. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-Insyiqaq [84]: 6-15
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh (kadihan) menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (6). Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, (7) maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah,(8) dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.(9) Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang,(10) maka dia akan berteriak: "Celakalah aku".(11) Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).(12) Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir).(13) Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). (14) (Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.(15)”.
Kata kadihan dalam surah tersebut berarti bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu hingga letih dan akhirnya berhenti. Begitulah kehidupan yang dijalankan manusia di dunia ini, bahwa manusia dituntut bekerja dan beramal dengan tekun dan sungguh-sungguh, hingga tubuhnya lelah dan letih. Kepayahan dan keletihan akan menjadikan manusia menikmati akhir hidupnya. Bukankah tidur yang nikmat akan dirasakan bagi yang badannya lelah dan letih bekerja di siang hari. Namun, bagi yang tidak bekerja tentulah matanya akan sangat tersiksa dikarenakan susah tidur.
Akhir dari keletihan manusia adalah bahwa ia menemui kematian. Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap yang pasti akhir kehidupan akan ditutup dengan kematian. Kematian akan mengantarkan manusia untuk bertemu dengan Tuhan. Ibarat kehidupan nyata di bumi ini, jika kita hendak menemui atasan, pimpinan atau seorang yang memiliki kedudukan tinggi, tentulah bukan tanpa maksud dan tujuan. Maka manusia datang menemui Allah setelah kematian juga memiliki maksud dan tujuan. Tujuannya adalah untuk memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan selama hidup di dunia. Begitulah yang tergambar dalam ayat di atas, bahwa ada manusia yang menerima catatan amalnya ketika hidup di dunia dengan tangan kanan yang berarti pertangungjawabannya akan diterima oleh Allah. Sebagai penghargaan atas kinerjanya yang baik selama hidup di dunia, maka dia akan berkumpul bersama keluarganya dengan kegembiraan dan kebahagiaan.
Pengertian berkumpul bersama keluarga bisa dua bentuk; pertama, bentuk majazi, di mana itu sebuah gambaran tentang betapa bahagianya manusia dengan kematian datang menuju Tuhan dan kampung akhirat setelah berhasil mengumpulkan berbekalan yang banyak melalui kegigihannya berusaha dan beramal kebajikan selama hidup di dunia. Ibarat seorang yang pergi merantau, tiada kebahagian yang lebih tinggi daripada saat pulang ke kampung dan berkumpul bersama keluarga, setelah berhasil membawa pulang harta yang berlimpah melalui kerja keras selama di perantauan. Tentu berbeda dengan orang yang pergi merantau dan tidak berhasil mengumpulkan harta walau satu rupiahpun, tentu pulang ke kampung dan berklumpul dengan keluarga adalah hal yang sangat menakutkan dan memalukan.
Kedua makna hakiki, di mana orang yang memiliki kebajikan yang banyak selama hidup di dunia dan mampu memberikan pertanggungjwaban atas apa yang telah dilakukanya selama di dunia, dia akan dikumpulkan bersama keluarganya yang beriman dan shalih dalam satu tempat di sorga. Seperti disebutkan Allah dalam surat Ya Sin [36]:
“Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka).(55) Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.(56) Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta.(57) (Kepada mereka dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.(58)
Begitu juga dalam surat At-Thur [52]: 21
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
Sementara kelompok manusia yang lain, adalah orang yang diberikan buku catatan amalnya dari tangan kiri atau dari belakang. Maka mereka adalah manusia yang dulu di dunia tidak mau bersusah payah berbuat kebajikan, bahkan hidup bergelinag dosa dan pelanggaran, hidup selalu dengan kegembiraan bersama orang-orang yang dicintainya ketika di dunia. Bagi mereka tiada lain pertemuan dengan Allah adalah sesuatu yang paling menakutkan dan memalukan. Di hadapan Allah mereka tidak mampu memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. Saat itulah waktu mereka menyesali diri dan berteriak histeris, “Celakalah aku, Kenapa dulu saya tidak mau bersusah untuk berbuat baik, kenapa dulu saya hidup selalu gembira dan tertawa, kenapa saya tidak pernah memikirkan kehidupan sekarang ini?,” Dan seterusnya. Akan tetapi, sesal ketika itu tiadalah guna dan manfaatnya, mereka akan dihalau ke dalam neraka dengan siksa yang tidak akan pernah bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Oleh karena itu bagi kita yang masih hidup, marilah kita berupaya berbuat yang terbaik guna mempersiapkan diri menghadapi hari yang sangat sulit dan secara pasti akan kita temui. Menarik kita cermati pesan Allah dalam lanjutan ayat di atas, yaitu ayat 16-19;
“Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja,(16) dan dengan malam dan apa yang diselubunginya,(17) dan dengan bulan apabila jadi purnama,18sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).(19).”
Dalam ayat di atas Allah swt, bersumpah demi syafaq yang secara harfiyah berarti cahaya matahari yang berwarna merah di saat akan tenggelam. Syafaq adalah pertemuan atau percampuran antara akhir siang dan awal malam. Bercampurnya perasaan gembira dan sedih, harap dan cemas, suka dan duka juga disebut syafaq. Kemudian Allah melanjutkan sumpahnya dengan bintang dan rembulan yang muncul setelah syafaq menghilang dan malam sudah gelap. Sumpah tersebut kemudian dijawab dengan kalimat bahwa semua kamu akan melalui tingkat demi tingkat dalam kehidupan ini.
Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari ayat di atas:
Pertama, bahwa sudah menjadi ketetapan Allah bahwa setiap kehidupan akan berakhir dan berganti dengan kehidupan baru. Begitulah bahwa siang akan hilang dan akan digantikan era malam hari. Begitu juga hidup di dunia ini, bahwa ia juga akan berakhir dengan kematian. Tidak akan pernah ada satu era, masa atau periode kehidupan berjalan terus tanpa batas akhir dan kemunculan masa, era dan periode yang lain. Sehinga, kesadaran akan akan itu akan menjadikan manusia menyiapkan diri menghadapi pergantian kehidupan tersebut yang mungkin jauh lebih sulit darai sebelumnya. Bukankah malam jauh lebih sulit dari siang? Di mana suasana yang gelap, tidak ada manusia berkeliaran, banyak binatang buas dan sebagainya. Begitu juga alam kubur dan akhirat yang akan kita hadapi setelah kematian, penuh kegelapan, kesendirian dan banyak binatang berbisa. Oleh karena itu, persiapkan segala sesuatunya sebelum malam itu datang, seperti senter dan lentera, maupun senjata untuk mengusir binatang berbisa tersebut.
Dua, bahwa pertukaran alam dan kehidupan selalu akan memunculkan syafaq; percampuran dua hal, ada terang ada gelap kemudian terang lagi dan gelap kembali begitu seterusnya. Kematian juga akan melahirkan dua hal tersebut, harap dan cemas, gembira dan sedih. Kematian tentu akan menjadi sesuatu yang membahagiakan bagi yang meninggal, jika saja dia memiliki banyak amalan dan kebaikan. Akan tetapi, bisa menjadi sesuatu yang menyedihkan dan bahkan menakutkan jika tidak memiliki cukup amal untuk menghadapi kehidupan berikutnya. Kematian akan menjadi kesedihan dan duka bagi keluarga yang ditinggalkan, karena akan berpisah dengan orang yang paling dicintainya untuk selamanya. Namun, di sisi lain bisa menjadi hal yang membahagiakan dan menggembirakan, karena mereka akan mendapatkan tiga janji Allah sebagai karunia-Nya yang paling besar; berupa Shalawat dari Tuhan, rahmat dan petunjuk, jika saja mereka sanggup bersabar dan menerima dengan ungkapan Ina lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tiga, Hilangnya siang dan datangnya malam ditandai dengan munculnya bintang gemintang yang akan menjadi petunjuk jalan bagi manusia lain seperti nelayan dan musafir atau munculnya rembulan yang menerangi kegelapan malam. Begitulah hendaknya akhir kehidupan kita, bahwa ketika kita meninggalkan kehidupan dunia dan menuju kehidupan lain, jadilah kita bintang yang menunjuki orang yang hidup setelah kita atau menjadi rembulan yang menerangi makhluk di tengah kegelapan malam. Lihatlah para ulama kita, bahwa setelah kematian mereka, betapa banyak orang yang menerima petunjuk atau cahaya karya mereka. Lihatlah imam syafi’I, imam Ahmad bin Hambal dan sebagainya, mereka meninggalkan cahaya terang bagi generasi yang hidup setelah mereka. Jadilah kita seperti mereka, yang meninggalkan cahaya petunjuk bagai orang lain setelah kita tiada. Atau setidaknya, jadilah nama kita seperti kita bintang tau rembulan setelah kita meninggal. Jadikan nama kita setingga bintang dan rembulan yang dihormati dan dimuliakan orang yang masih hidup, bukan nama yang jelek, cacat dan akan menjadi makian dan cemoohan mansuia lain.
Empat, penggunaan kata tarkabunna yang secara herfiyah berarti naik. Adalah isyarat Allah kepada manusia agar selalu beranjak naik dalam setiap fase kehidupan yang dilalui. Dari miskin menjadi kaya, dari bodoh menjadi pintar, dari pemalas menjadi rajin, dari sedikit menjadi banyak dan seterusnya. Begitu juga kematian yang akan datang hendaknya menjadikan kita naik dari manusia yang belum sempurna menjadi sempurna. Bukankah salah satu tujuan kematian didatangkan kepada manusia untuk menjadikan manusia makhluk yang sempurna?
Begitu juga bahwa kemajuan yang kita capai haruslah dilakukan selalu dan terus menerus, begitulah maksud Allah menggunakan kata kerja Tarkabunna yang berbentuk mudhari’ (masa sekarang dan akan datang serta terus menerus). Selalulah bergerak maju dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Hendaklah setiap amal dan kebjikan yang dilakukan selalu meningkat dan mengalami kemajuan waktu demi waktu. Dan kata tarkabunna yang berarti naik juga memberikan isyarat kepada kita, bahwa bukanlah Allah yang menaikan derajat dan kedudukan seseorang, namun manusia itu sendirilah yang akan menaikan dan mengangkat derajatnya sendiri. Bukan Allah yang menempatkannya di sorga yang paling tonggi, namun mereka sendirilah yang menempatkan dirinya di dalam sorga yang paling tinggi. Begitu juga, bukan Allah yang menempatkan seseorang di dalam nereka Jahannam, namun dia sendiri yang memilih kedudukan yang rendah dan hina tersebut.
Semoga menjadi renungkan kita, amin. Wallhu ‘alam Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar