Orang bijak mengatakan: “ untuk sukses, Anda harus bisa berbicara; untuk berbicara, anda harus percaya diri; untuk percaya diri, anda harus memimpin diri sendiri”. Sungguh luarbiasa sekali artikulasi dari ungkapan ini di tengah-tengah glamoritas panggung politik yang menghadirkan berbagai calon pemimpin dengan jargon dan baliho yang variatif mengatasnamakan cinta rakyat dan memakmurkan rakyat. Sebelum memimpin orang lain pimpinlah terlebih dahulu diri sendiri karena banyak orang yang bertukar haluan disebabkan oleh penghidupan istimewa dan penghasilan yang melimpah pada wilayah kekuasaannya sehingga semangat untuk berjuang demi rakyat menjadi hilang dan tertindas oleh teoritika janji-janji politik, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh daripada godaan iblis tersebut. Memang benar pepatah Jerman: Der Mensch ist, war es iszt:sikap manusia sepadan dengan caranya ia mendapat makan.
Menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut,karena kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu. Amanah adalah titipan Allah SWT. Jika titipan disia-siakan berarti suatu pengkhianatan kepada Allah. Pengkhianatan adalah musuh Tuhan dan hambaNya.
Dalam sejarah turunya wahyu, dikenal sebuah istilah “masa terputusnya wahyu”. Setelah turunnya perintah kepada Rasulullah saw untuk berda’wah melalui surat al-Mudatstsir, al-Muzammil dan Nun, tiba-tiba wahyu berhenti turun. Para ulama berbeda pendapat tentang lama masa terputusnya wahyu tersebut. Namun, yang pasti Rasulullah saw sangat terpukul karenanya. Sebab, beliau betul-betul membutuhkan kehadiran wahyu dan malaikat jibril sebagai pendorong dan penguat semangat dakwah beliau yang baru saja dimulai. Kesedihan Rasulullah saw semakin meningkat, dikala orang kafir Quraisy mengetahui hal itu dan kemudian mengejek beliau dengan ungkapan “ Muhammad ternyata telah ditinggalkan Tuhannya”. Maka kemudian Allah swt menjawab ejekan orang kafir Quraisy tersebut dengan menurunkan surat adh-Dhuhâ [93]: 1-11
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik (Dhuha) (1) “dan demi malam apabila telah sunyi (gelap) (2), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu (3). Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)(4), Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas (5), Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu(6), Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?(7), Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan (8). Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang(9), Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya(10), Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan(11).”
Dari redaksi dan pilihan kata pada ayat tersebut ada hal menarik untuk dicermati. Yaitu, kenapa dalam konteks ini Allah mengambil sumpahnya dengan wa adh-Dhuhâ (Demi Waktu Dhuha). Sebab, sangat mungkin sekali kata lain yang juga berarti masa dipakai oleh Allah swt, seperti wa al-laili (demi malam), wa an-nahâri (demi siang hari), wa al-‘ashri(demi masa) dan seterusnya. Pemilihan kata adh-Dhuhâ dalam konteks ayat tersebut agaknya mengandung arti kiasan untuk Nabi Muhammad saw. Di mana Allah ingin mengatakan “Hai Muhammad! Engkau tidak perlu kawatir dan cemas menghadapi masyarakatmu, sebab engkau adalah dhuhâ bagi mereka”.
Seperti diketahui, bahwa dhuhâ adalah waktu pagi, saat matahari muncul sampai panasnya mulai terasa membakar. Cahaya pagi itu adalah cahaya yang selalu ditunggu oleh setiap makhluk, karena menyehatkan dan mendatangkan kebaikan baik manusia, hewan juga tumbuhan. Dengan demikian, Allah memerintahkan nabi Muhammad saw agar kemunculannya di tengah kaumnya seperti kemunculan cahaya dhuhâ yang mendatangkan kebaikan bagi lingkungan dan masyrakat.
Bagitu juga yang dituntut oleh Allah kepada umat Muhammad saw dan para pemimpin serta penguasa, agar setiap mereka menjadi “dhuhâ” bagi lingkungan dan masyarakat di mana mereka berada. Umat Muhammad saw dituntut selalu agar mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘âlamîn). Salah satu wujud menjadi dhuhâ dalam kehidupan adalah seperti yang disebutkan dalam ayat 10 surat adh-Dhuhâ :
“Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.”
Seorang yang menjadi “dhuhâ” dalam kehidupan masyarakatnya akan dengan senang hati melayani setiap orang yang datang meminta kepadanya. Apakah yang diminta itu bersifat materi ataupun immateri, seperti bertanya atau mencari informasi tentang sesuatu. Sebab, kata sa’ala (meminta-minta) tidak hanya berarti meminta suatu yang berupa materi tetapi juga berarti, meminta sesuatu yang bukan bersifat materi.
Seorang yang menjadi “dhuhâ” dalam masyarakatnya, akan penuh keseriusan menghadapi setiap orang yang datang kepadanya. Dia tidak menganggap kedatangan orang lain seperti sampah yang tidak medatangkan manfaat apa-apa dan karenanya perlu dibuang ke dalam tong sampah.
Begitu juga orang yang menjadi ”dhuhâ” dalam kehidupan akan dengan sangat serius dan penuh perhatian kepada setiap orang yang datang kepadanya dengan pertanyaan. Dia tidak merasa pertanyaan itu sesuatu yang tidak perlu didengar atau dilecehkan begitu saja. Seringkali dalam pergaulan sehari-hari, kita melecehkan pendapat atau pertanyaan orang lain, dengan dalih tidak berbobot atau “asbun/asal bunyi”. Namun, orang yang menjdi “dhuhâ” di tengah komunitasnya adalah orang yang selalu mendengarkan pertanyaan, ide, pendapat atau saran dari orang lain tanpa harus menilai berbobot atu tidaknya dan bertindak dengan cermat bukan sekedar mengamati saja.
Menjadi pemimpin yang“dhuha” berarti siap untuk dikritik oleh orang lain. Karena seorang pemimpin adalah orang yang melihat lebih banyak daripada yang dilihat orang lain, melihat lebih jauh daripada yang dilihat orang lain, dan melihat sebelum orang lain melihat.
Menjadi seorang Penguasa yang “dhuha” berarti membuang segala kesombongan dan kemewahan yang berlebihan. Karena kesederhanaan pada hakikatnya seseorang itu dihargai dan kekuasaan yang sebenarnya tercermin dari tindakan membela yang lemah bukan kedudukan yang wah.
Last but not least, berikut ini ada tujuh kreteria seorang calon pemimpin yang menjadi “dhuha” untuk masyarakat:
1.Niat yang Lurus
Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan.Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja.Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2.Laki-Laki
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan.Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).
3.Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Berpegang pada Hukum Allah.
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).
Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari jabatannya.
Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
Tidak Menutup Diri Saat Diperlukan Rakyat.
Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat.Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
4.Menasehati rakyat
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
5.Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati.Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya.Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
6.Mencari Pemimpin yang Baik
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu).Yaitu pejabat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana.Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
Lemah Lembut
Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
7.Tidak Meragukan dan Memata-matai Rakyat.
Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim)
Semoga kreteria-kreteria di atas bisa membantu kaum muslimin dalam menentukan pilihan terhadap calon pemimpin yang menjadi “dhuha” di tengah masyarakat dan suluh umat. Wallahu a’alm. Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar