Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Seorang siswi Sekolah Dasar (SD) mengamati kata-kata itu yang
terpampang tegak di depan kantor Kementerian Pendidikan Nasional,
Kuningan, Jakarta. Cukup lama ia memandang kalimat besar itu, semakin
pusing pula kepala dibuatnya. Ketika otaknya hampir saja buntu, ia lalu
menoleh ke guru yang berada disampingnya
“Bu Guru tahu artinya?” ujar sang siswi polos.
“E…ee….e… yang ibu tahu kalimat itu sudah dari sananya, nak. Ibu cuma tahunya begitu.” Ujar sang guru sedikit excuse, kalau tidak mau disebut malu.
“Terus buat apa kalimat ini ditempelkan di sini bu, (Kantor Kemendiknas, red)?” kejar siswi sambil memukul papan besar itu.
Suasana menjadi rumit. Ia baru sadar pertanyaan bocah SD lebih sulit
ketimbang profesor sekalipun. Keringat dingin sang guru mulai
bercucuran. Ia mulai mencabik-cabil tisu yang ada di tangannya.
Tiba-tiba saja, pegawai Kemendiknas lewat di depan mereka berdua. Guru
anak tadi seperti mendapatkan jalan keluar.
“Pak..pak.. sebentar pak..” ucap sang guru memberhentikannya dan menjelaskan maksud kenapa ia dipanggil.
“Bapak tahu artinya?” langsung saja bocah SD itu bertanya.
Pegawai itu tersenyum melihat bocah berseragam putih merah itu
memberhentikannya. Namun, ia baru saja mengucapkan istighfar sambil
memegang dada ketika tahu jemari mungil sang anak mengarah ke kalimat
besar yang menjadi “sabda” di kantornya. Hasilnya apa? Lelaki itu hanya
menelan ludahnya persis ketika maling sandal tengah dipergoki warga.
Apa boleh buat, kedua orang dewasa itu saling pandang dan tersenyum
kecut menyadari pekerjaannya bisa saja hilang akibat ulah sang bocah
“usil” itu.
Theosofi, Ki Hadjar Dewantara, dan Pendidkan Indonesia
Dialog diatas sejatinya hanyalah representasi bahwa mental pendidikan
bangsa ini adalah mental formil. Siapa yang tahu jawaban bocah itu?
Saya, anda, atau siapa? Mungkin kita akan sama posisinya dengan guru dan
pegawai itu jika pertanyaan bocah tersebut mampir ke saya dan anda yang
juga adalah seorang guru.
Sumpah pemuda yang menyatakan bahwa Indonesia berbahasa satu yakni
bahasa Indonesia sepertinya tidak terbukti. Sederhananya, kenapa kita
masih sering memakai istilah Jawa pada banyak hal, termasuk motto yang
sudah menjadi sabda di dalam dunia pendidikan itu.
Ini bukan berarti kita anti terhadap hal berbau Jawa, melainkan
dengan hal ini kita bisa mengukur dan bertanya kembali kepada diri kita
tentang berbagai motto yang mencekoki anak didik kita dari kecil sampai
dewasa, tanpa didudukkan makna dan sejarah dibaliknya.
Kalimat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri adalah
kalimat yang dilontarkan Ki Hajar Dewantara yang bermakna “Di depan
memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi
dorongan”. Namun konteks kalimat ini disini tidak jelas dalam konteks
apa. Maka ia menjadi netral agama. Padahal dalam konsep pendidikan
Islam, ta’dib atau tarbiyah selalu didasari pada tauhid kepada Allahuta’la. Ia tidak bisa netral, objektif, dan tanpa sekat keyakinan agama.
Ki Hajar Dewantara memang terkenal sebagai penganut theosofi. Seperti dikutip dari buku Bambang Dewantara, yang berjudul 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara,
Ki Hadjar mengatakan bahwa semua agama di dunia sama karena mengajarkan
asas kasih sayang kepada semua manusia dan mengajarkan perihal
kedudukan manusia yang terhormat di hadapan tuhannya.
Ki Hadjar berkeyakinan bahwa sumber gerak evolusi seluruh alam
semesta adalah kasih sayang ilahi. Inilah yang disebut dengan isitlah
kodrat alam yang diperhamba dan aspek yang dipertuhan dari setiap
benda-benda. Konteks inilah yang sekarang kita kenal dengan faham
musyrik modern, yakni pluralisme agama
Ia mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 di Yigyakarta
yang sangat berkiblat ke Barat. Ketika menyinggung keberadaan Taman
Siswa, Buya Hamka pernah menyatakan, “Taman Siswa adalah gearakan abangan, klenik, dan primbon jawa. Yang menjalankan ritual shalat Daim”
Dalam kepercayaan kebatinan, shalat disini tidak seperti shalat
umumnya umat Islam, tapi shalat daim dalam “mazhab” Taman Siswa saat itu
adalah shalat dalam perspektif kebatinan yakni menjalankan kebaikan
terus menerus. Doa iftitah dalam shalat daim pun, terlihat janggal dan
aneh.
“Aku berniat shalat daim untuk selama hidupku. Berdirinya adalah
hidup. Rukuknya adalah mataku. I’tidalnya adalah kupingku, sujudnya
adalah hidungku, bacaan ayatnya adalah mulutku. Duduk adalah tetapnya
imanku, tahiyat adalah kuatnya tauhidku, salamnya adalah makrifatnya.
Islamku adalah kiblatnya, kiblatnya adalah menghadap fikiranku”
Niels Mulders, dalam karyanya Mistisme Jawa seperti dikutip Artawijaya dalam bukunya “Gerakan Theosofi”,
juga menyatakan bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang theosofi yang
mengamalkan kebatinan. Ia lebih mementingkan “Hakikat” daripada
“Syariat”.
Dalam kepercayaan Kejawen tahap hakikat adalah perjumpaan dengan
kebenaran. Orang yang mengamalkan hakikat tidak lagi beribadah dengan
berpatokan pada aturan syariat, tetapi menjalankan ibadah dengan
perilaku kebaikan sepanjang hari.
Kata berperilaku baik disitu adalah tanda kutip bagi kita?
Berperilaku baik seperti apa? Tidak lain dalam konteks theosofi bahwa
orang yang berperilaku baik tidak mesti beragama. Lebih baik jadi
menjadi orang humanis, daripada relijius tapi jahat. Karena kebenaran
yang tertinggi adalah kebenaran itu sendiri. Seperti sebuah harian cetak
di Indonesia: Kebenaran tidak pernah memihak!
Pertanyaannya sebetulnya sederhana, kenapa kita yang katanya
bermayoritas muslim, tidak memaki moto pendidikan yang jelas saja
seperti: Iman, Ilmu dan Amal. Atau Tauhid, Ilmu, dan Jihad.
Islam mengajarkan makna yang jelas dan terukur. Karena itu, konsep
menjadi orang baik dalam Islam tidak pernah dilepaskan dari sudut
pandangan agama.
Kalau sudah begitu, hal ini lebih cocok dan dekat dengan ketakwaan
daripada motto yang jelas-jelas didirikan oleh penganut theosofi dan
kita sendiri tidak mengerti apa maknanya: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. “Apa pak Menteri juga tahu artinya?” Mungkin begitu kata bocah kecil tadi ketika sampai di kantor Mendiknas. (pz)
Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar