Takdir memiliki empat tingkatan, dan tidak sah keimanan seseorang kecuali dengan mengimani seluruh tingkatan ini, keempat tingkatan ini adalah;
Yang pertama adalah Al Ilmu. Yaitu dengan meyakini bahwa Allah ta’ala maha mengetahui segala sesuatu, baik yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, ataupun yang akan terjadi. Bahkan Allah mengetahui sesuatu yang tidak terjadi, dan bagaimana jika itu terjadi. Sebagaimana juga Dia maha tahu tentang ciptaannya sebelum Dia menciptakan mereka, dan Allah mengetahui rizki, ajal, serta amalan mereka.
Dalil akan hal ini sangatlah banyak, diantaranya firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh” (Qs. Saba: 3).
Yang kedua adalah Al kitabah (penulisan). Yaitu dengan meyakini bahwa segala sesuatu sudah ditulis oleh Allah ta’ala diLauhul Mahfudz. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Yasin: 12) RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Allah telah menulis semua takdir makhluknya 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi”2
Yang ketiga adalah Al Masyi’ah (kehendak), bahwa semua yang terjadi di dunia ini merupakan kehendak Allah ta’ala. Apa yang Dia kehendaki pasti akan terjadi, dan sebaliknya, apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi. Tidak ada sesuatu yang terjadi, melainkan kehendak Allahta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Sesungguhnya urusan Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “jadilah!” maka terjadilah” (Qs. As Shaffat: 82.
Dan yang terakhir atau yang keempat adalahAl Kholqu (penciptaan). Bahwa segala sesatu selain Allah adalah makhluk, ciptaan Allah ta’ala, Allah lah yang menciptakan mereka dari ketiadaan. Termasuk perbuatan manusia, merupakan ciptaan Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Allah menciptakan kalian serta apa yang kalian kerjakan” (Qs. As Shaffat: 96).
Sebagai contoh, ketika si fulan setiap harinya rajin sholat di masjid, Allah dengan ilmunya telah mengetahui bahwa si fulan akan melakukan perbuatan tersebut. Kemudian Allah menuliskan perbuatan si fulan tersebut di lauhul mahfudz, dan Allah punmenghendaki perbuatan tersebut, sehingga kemudian menciptakannya, dengan terjadinya perbuatan tersebut. Begitu juga dengan seorang pencuri, Allah telahmengetahui bahwa si fulan akan mencuri, kemudian menuliskannya di lauhul mahfudz, kemudian Allah menghendaki terjadinya pencurian oleh si fulan, maka Allahmenciptakan perbuatan si fulan tersebut, dengan terjadinya pencurian.
Penetapan takdir3
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa Allah telah menuliskan takdir di lauhul mahfudz lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Namun Al Qur’an dan As Sunnah menunjukan bahwa ada penetapan takdir dalam waktu yang lain. Yaitu ketika seseorang masih berada di rahim ibunya, yang ini terjadi sekali seumur hidup. Kemudian takdir tahunan yang ditetapkan setaun sekali pada malam lailatul Qodar, dan takdir harian yang tetapkan setiap hari.
Mengenai penulisan takdir ketika di rahimditunjukan oleh hadits ibnu Mas’ud, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallambersabda, “Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.”4
Adapun takdir yang bersifat tahunan, Allahta’ala berfirman (yang artinya), “sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi5 dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (Qs. Ad Dukhon: 3-4). Ibnu katsir rahimahullah berkata, “yaitu pada malam lailatul Qodar diputuskan dari lauhul mahfudz untuk dituliskan peristiwa yang akan terjadi selama satu tahun berkaitan dengan ajal, rizki dan lainnya dalam tahun itu”6
Mengenai takdir yang bersifat harian, Allahta’ala berfirman (yang artinya), “setiap waktu Dia berada dalam kesibukan” (Qs. Ar Rahman: 29). Para ulama menafsirkan ayat ini, “kesibukan Nya adalah memuliakan dan menghinakan, mengangkat dan merendahkan, memberi dan menahan, mengayakan dan memisikinkan, menghidupkan dan mematikan dan sebagainya”7
Kewajiban kita terhadap takdir Allah
Wajib bagi manusia untuk mengimani takdir Allah ta’ala, dan menjalankan perintah Allah serta menjauhi larangan Nya. Maka seorang Muslim, jika dia berbuat baik, dia memuji Allah ta’ala. Jika dia berbuat dosa, dia akan beristighfar, bertaubat kepada Allah ta’ala, tidak kemudian terus menerus berbuat dosa dengan alasan takdir. Karena Nabi AdamAlaihis Salam, ketika berdosa dia bertaubat, maka Allah mengampuni dosanya dan memberinya petunjuk. Akan tetapi lihatlah iblis! Dia berdosa, tapi tidak mau bertaubat, justru berdalil dengan takdir, maka iblis pun dilaknat oleh Allah ta’ala. Maka barang siapa yang bertaubat, dia mengikuti kakeknya, Adam Alaihis Salam, dan siapa yang terus terusan berdosa dengan alasan takdir, dia mengikuti musuhnya, Iblis La’natullah ‘Alaih.
Kemudian, seorang Muslim juga harus berusaha untuk kebaikan duniawinya, dengan bekerja, berusaha, mencari nafkah untuk keluarga dan sebagainya. Tidak berpangku tangan dengan alasan takdir. Jika ternyata hasil usahanya sukses, maka dia bersyukur kepada Allah ta’ala. Tapi jika ternyata gagal, maka dia meyakini bahwa itu merupakan kehendak Allah ta’ala, dan apa yang menimpanya sudah ditakdirkan oleh Allah untuknya, tentunya dengan berbaik sangka kepada Allah, bahwa itu adalah yang terbaik baginya. Karena Allah lebih mengetahui yang terbaik buat hamba-hambanya. Tidak ada kehendak Allah kecuali mengandung hikmah yang Allah ketahui dengan ilmu Nya.
Penyimpangan dalam masalah takdir
Ada dua kelompok yang salah memahami takdir8:
Yang pertama mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hambanya. Seorang manusia secara mutlak bebas melakukan perbuatannya tanpa campur tangan Allah, kelompok ini dinamakan dengan Qodariyah.
Adapun yang kedua, adalah kelompok yang mengatakan Allah menakdirkan segala sesuatu, akan tetapi manusia tidak punya pilihan atas perbuatannya, manusia dipaksa untuk melakukan perbuatkannya, seperti robot yang diatur oleh remot. Kelompok ini dinamakan dengan Jabariyah.
Adapun keyakinan yang benar adalah, bahwa Allah menghendaki segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia9, Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.” (Qs. Al Qoshos: 68). Akan tetapi meskipun begitu, hal ini tidak menafikan bahwa manusia juga diberi otak untuk berpikir, diberikan kebebasan memilih, tidak dipaksa atas perbuatannya, Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya” (Qs. An Naba: 39), juga firman Allah, “maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka…” (Qs. Al Kahfi: 29).
Bahkan Allah telah menunjukan jalan kepada manusia, mengutus para Rosul, menurunkan kitab, menyuruh untuk berbuat kebaikan, dan melarang dari perbuatan dosa dan maksiat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Qs. Al Balad: 10), maksudnya jalan kebenaran dan jalan kesesatan.
Kitapun merasakan dengan yakin, bahwa kita tidak dipaksa dalam beramal, kita bebas melakukan perbuatan yang kita inginkan, tidak ada yang memaksa kita, meskipun kehendak kita juga terjadi atas kehendak Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki untuk menempuh jalan yang lurus, Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” (Qs. At Takwir: 28-29).
Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar