Kebebasan berekpresi dan berpendapat adalah salah satu konten demokrasi. Sehingga setiap orang merdeka untuk mengeluarkan apa saja yang menjadi unek-unek dalam hatinya. Baik mau didengar atau tidak oleh orang lain yang penting bisa berekpresi. Karena ekpresi adalah natural talenta yang telah dianugerahi Allah SWT sejak lahir. Karena Islam memandang bayi yang terlahir adalah bebas dari ketergadaiannya setelah diaqiqahkan. Yang arti dari aqiqah itu sendiri adalah “bebas atau meredeka”.Hanya saja Islam telah membatasi kebebasan itu dengan syari’ahnya yang telah ditetapkan dalam Alquran dan Hadist. Sebelum kita membahas dan memaparkan pendapat salah seorang ulama terkenal tentang judul tulisan di atas. ada baiknya kita melihat fenomena yang sedang berkembang di negeri tercinta ini. Lihat saja tayangan ditelevisi yang menampilkan adegan-adegan khusus lawakan atau komedi yang dikemas dalam berbagai program atau acara tertentu. Ratingyapun naik, karena banyak yang menyukai dan lebih menghibur. Sehingga tak heran lagi hampir setiap stasiun TV menampilkan acara komedi dengan nama program yang berbeda. Kami tidak menjelaskan dalam tulisan ini program apa saja yang sedang berkembang tapi yang jelas pembaca sudah mengenalnya. Sering kali dalam adegannya para aktor atau aktres yang dibintangi oleh para pemain senior baik dalam kontek skripnya atau live menyampaikan leluconan yang sering menghina dan membuat reputasi seseorang rusak. Maka tak heran ada sebagian dari mereka yang dikasuskan. Disadari atau tidak guyonan tersebut awalnya untuk menghibur akan tetapi karena kasyikan dan di luar scenario sering berujung nyeleneh sehingga banyak orang lain merasa tersinggung. Acara demi acara dikemas begitu rapi sehingga para penonton pun dihadirkan secara teratur dan para peserta ketawanya pun diatur sedemikian rupa. Setiap adegan dianggap ketawapun para peserta disuruh untuk ketawa bahkan mungkin terkesan dipaksakan. Dunia hiburan pun tidak terlepas dari konsep kapitalisme. Ini salah satu bentuk kebebasan berekpresi dalam dunia hiburan. Sehingga nilai-nilai eduktif pun tidak tersadur dengan baik. Yang seharusnya tontonan menjadi tuntunan tapi malah tuntunan menjadi tontonan. Adegan demi adegan pun disaksikan oleh anak-anak sehingga sudah biasa ditelinga kita mereka mengucapkan kata-kata hinaan yang dikemas dalam kontek gaul atau kekinian. Yang paling aneh lagi para orang tua pun ikut nonton bahkan rela mengantri ramai-ramai mengikuti acara tersebut ketika datang ke suatu tempat dan siarkan secara langsung hanya sekedar menonton yang kontennya lebih mengarah hal-hal yang koruptif dan distorsif serta mendengarkan bualan-bualan yang dianggap sampah oleh Islam. Di sisi lain kebebasan mengekpos kehidupan seleberiti tanah air makin semarak. Liburan dan bahkan kehidupannya sehari-hari pun selalu disorot. Salah satunya glamoritas dan kemewahan mereka ditayangkan dengan menampilkan rumah dan mobil yang mewah dilengkapi dengan fasilitas wah sehingga membuat sebagian masyarakat jadi terengah-engah. Ini hanya sebagian dari fenomena kebebasan di tengah demokrasi yang sedang berkembang.
Bagaimana islam dan pendapat ulama tentang adegan-adegan tersebut? Dan apakah orang yang ikut menonton dan menyaksikan ikut berdosa?
Dalam Alquran Surah Attaubah :82 disebutkan:
Kontektualnya, Allah SWT melarang kita untuk memperbanyak ketawa dan memerintahkan untuk sering menangis. Karena banyak ketawa bisa mematikan hati dan menjauhi dari kedekatan diri kepada Allah SWT. Sementara sering menangis karena takut kepada azab dan siksaan Allah SWT adalah sutu yang terpuji. Rasulullah bersabda:
Apa hukum guyonan dan sejenisnya serta hukum mendengarnya, kami mengharapkan rinciannya agar jelas bagi kami tentang hal ini, dan apa hukum guyonan tesebut yang bersifat umum tidak dikhususkan kapada masyarakat (bangsa), individu, dan suku tertentu?
Jawaban:
Dalam hal guyonan dan sejenisnya terdapat beberapa rincian: jika dengan cara bohong (mengada-ada) maka tidak boleh. Adapun jika guyonan tersebut dalam kontek fakta atau menggambarkan sesuatu jika terjadi atau tidak, reaksinya bagaimana atau menceritkan hikayat-hikayat(cerita-cerita) yang bermanfaat (bernilai edukatif) bagi manusia dan tidak semata dengan jalan ketawa aka tetapi karena untuk nasihat maka hal demikian tidak mengapa (tidak berdosa). Sementara jika guyonan tersebut bohong dan mengada-ada (ihktira’) dan menganggap seolah-olah terjadi maka saya berpendapat itu tidak boleh. Sebagaimana nabi mengatakan: “celakalah orang yang berbicara kemudian berbohong dalam pembicaraannya agar orang yang mendengarkannya ketawa, celakalah dan sungguh celakalah”. Nabi juga mengatakan: “saya adalah pemimpin di sebuah rumah di tengan surga bagi orang yang meninggalkan kebohongan meskipun dia dalam keadaan bercanda, saya pemimpin di rumah di sekitar surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan atau permusuhan meskipun ia merasa benar, dan saya pemimpin di sebuah rumah pada surga yang paling atas bagi orang yang akhlaknya baik”.(Diambil dari Maktabah Syamilah: bagian kajian dan muhadharah terpisah pada kajian-kajian Syekh Abdul Aziz bin Baaz)
Bagaimana islam dan pendapat ulama tentang adegan-adegan tersebut? Dan apakah orang yang ikut menonton dan menyaksikan ikut berdosa?
Dalam Alquran Surah Attaubah :82 disebutkan:
فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلًا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Hendaklah mereka sedikit ketawa dan memperbanyak menangis sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka usahakan atau kerjakan”
Secara tekstual ayat ini turun kepada orang-orang yang senang dan bangga bahwa mereka tidak mau mengeluarkan harta mereka dan ikut berperang dengan rasulullah bahkan mereka bersuka ria dan mentertawakan rasulullah dan para sahabat yang ikut berperang.Kontektualnya, Allah SWT melarang kita untuk memperbanyak ketawa dan memerintahkan untuk sering menangis. Karena banyak ketawa bisa mematikan hati dan menjauhi dari kedekatan diri kepada Allah SWT. Sementara sering menangis karena takut kepada azab dan siksaan Allah SWT adalah sutu yang terpuji. Rasulullah bersabda:
"اُبْكُوْا فَإنْ لَمْ تَبْكُوْا فَتبَاَكَوْا فَإنَّ أهْلَ النَّارِ يَبْكُوْنَ حَتَّى تَسِيْلَ دُمُوْعُهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ كَأنَّهَا جَدَاوِلُ حَتَّى تَنْقَطِعَ الدُّمُوْعُ فَتَسِيْلَ الدِّمَاءَ فَتَقْرَحَ العُيُوْنُ فَلَوْ أَنَّ سُفُناً أُجْرِيَتْ فِيْهَا لَجَرَتْ"
Menangislah kamu, jika tidak bisa menangis maka berusahalah untuk menangis (pura-pura menangis). Karena sesungguhnya penduduk neraka mereka menangis sampai air mata mereka bercucuran di wajah mereka seolah-olah ada jadwal tertentu sehingga air mata tersebut terputus kemudian mengalirkan lagi air mata sehingga samapai mata-mata mereka merasa tenang. Jika kapal-kapal dilayarkan maka kapal tersebut bisa berlayar di sana (HR. Tarmidzi)Syekh Abdul Aziz bin Baaz pernah ditanya tentang hukum lawakan dan menyaksikan atau mendengarkannya sehingga menimbulkan ketawa. Berikut kami tampilkan petikan pertanyaan dan jawabannya:
السؤال
ما حكم النكت وحكم سماعها، نرجو التفصيل في هذا الأمر ليتضح لدينا حُكمه، وما حكمها إذا كانت النكتة عامة لا تختص بشعب ولا بفرد ولا بقبيلة؟
الجواب النكت فيها تفصيل إن كانت على سبيل الكذب فلا تجوز، أما إذا كان يحكي أشياء واقعية، أو يصور أشياء لو وقعت كيف الحكم، لو وقع كذا أو صار كذا كيف الحكم، أو يحكي حكايات فيها فائدة للناس وليس من أجل الضحك إنما للفائدة والنصيحة فلا بأس، أما النكت التي مضمونها كذب واختراع أشياء لم تقع كأنها واقعة، فهذا لا أراه جائزاً، يقول النبي صلى الله عليه وسلم: (ويل للذي يحدث فيكذب ليضحك به القوم، ويل له ثم ويل له) ويقول: (أنا زعيم ببيت في وسط الجنة لمن ترك الكذب وإن كان مازحاً، وأنا زعيم ببيت في ربض الجنة لمن ترك المراء وإن كان محقاً، وأنا زعيم ببيت في أعلى الجنة لمن حسن خلقه) ، هذه ثلاثة أشياء أوصى بها النبي صلى الله عليه وسلم، وهو حديث صحيح جيد لا بأس به، يقول النبي صلى الله عليه وسلم: (أنا زعيم ببيت في ربض الجنة -أي: ظاهرها وما حولها- لمن ترك المراء وإن كان محقاً -الجدال والمخاصمة الشديدة؛ لأنها قد تفضي إلى العداوة والشحناء والباطل- وأنا زعيم ببيت في وسط الجنة لمن ترك الكذب وإن كان مازحاً، وأنا زعيم ببيت في أعلى الجنة لمن حسن خلقه) ، حسن الخلق له شأن عظيم، ويقول عليه الصلاة والسلام: (ويل للذي يحدث فيكذب ليضحك به القوم، ويل له ثم ويل له) .( دروس للشيخ عبد العزيز بن باز .المكتبة الشاملة :القسم:محاضرات متفرقة. )
Pertanyaan:Apa hukum guyonan dan sejenisnya serta hukum mendengarnya, kami mengharapkan rinciannya agar jelas bagi kami tentang hal ini, dan apa hukum guyonan tesebut yang bersifat umum tidak dikhususkan kapada masyarakat (bangsa), individu, dan suku tertentu?
Jawaban:
Dalam hal guyonan dan sejenisnya terdapat beberapa rincian: jika dengan cara bohong (mengada-ada) maka tidak boleh. Adapun jika guyonan tersebut dalam kontek fakta atau menggambarkan sesuatu jika terjadi atau tidak, reaksinya bagaimana atau menceritkan hikayat-hikayat(cerita-cerita) yang bermanfaat (bernilai edukatif) bagi manusia dan tidak semata dengan jalan ketawa aka tetapi karena untuk nasihat maka hal demikian tidak mengapa (tidak berdosa). Sementara jika guyonan tersebut bohong dan mengada-ada (ihktira’) dan menganggap seolah-olah terjadi maka saya berpendapat itu tidak boleh. Sebagaimana nabi mengatakan: “celakalah orang yang berbicara kemudian berbohong dalam pembicaraannya agar orang yang mendengarkannya ketawa, celakalah dan sungguh celakalah”. Nabi juga mengatakan: “saya adalah pemimpin di sebuah rumah di tengan surga bagi orang yang meninggalkan kebohongan meskipun dia dalam keadaan bercanda, saya pemimpin di rumah di sekitar surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan atau permusuhan meskipun ia merasa benar, dan saya pemimpin di sebuah rumah pada surga yang paling atas bagi orang yang akhlaknya baik”.(Diambil dari Maktabah Syamilah: bagian kajian dan muhadharah terpisah pada kajian-kajian Syekh Abdul Aziz bin Baaz)
Demikianlah kajian singkat pada kesempatan kali ini seputar guyonan yang menimbulkan ketawa dan semoga kita bisa menyimpulkannya dengan benar. Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar