Keberadaan negara dan aparaturnya sangatlah penting agar bisa mengatur dan menegakkan norma-noram untuk seluruh komponen. Tentu dengan keberadaan negara yang bersifat memaksa akan menjadikan komponen tersebut taat terhadap peraturan-peraturan terciptanya masyarakat dalam negara tersebut lebih baik.Sehingga masyarakat bisa hidup damai dan aman serta tidak merasa terzholimi. Tetapi ada suatu pertanyaan, apakah negara itu bisa gagal? untuk menjawab hal ini, penulis mengutip pendapat ilmuan jepang yang ahli dalam ilmu sejarah dan politik dalam bukunya the last man
Francis Fukuyama, pernah mengatakan, bahwa ancaman terbesar abad ke-21 adalah “negara gagal (failure state)”, yang ditandai dengan merebaknya kemiskinan, pengangguran, arah pendidikan yang tidak jelas,konflik antar kelompok, dan merebaknya aksi teror.
Bila menyaksikan problematika kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia beberapa tahun ini, praksis apabila mengacu pada pernyataan Francis Fukuyama, dapat dikatakan Indonesia mempunyai potensi menuju “negara gagal”, atau mungkin tanpa kita sadari, Indonesia telah masuk kedalam lingkaran “negara gagal”.
Pengangguran dan kemiskinan sampai saat ini masih menjadi problem terbesar bangsa ini yang belum terselesaikan.
Persoalan kemiskinan tidak semata-mata soal kebudayaan, tapi juga meliputi kegagalan institusionalisasi politik dan pembangunan struktur ekonomi. Sistem kapitalis yang diadopsi Indonesia telah melahirkan kemiskinan dan pemiskinan struktural dalam jumlah masif. Berdasarkan rilis BPS bulan Febuari 2011 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,12 juta orang. Sedangkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2010 sebanyak 31,02 juta orang. Sungguh angka yang bukan sedikit.
Selama ini rakyat selalu dilepas dan dibiarkan begitu saja dalam menyelesaikan sendiri persoalan-persoalan yang membelitnya. Kondisi ini diperparah dengan dengan munculnya kebijakan-kebijakan yang justru sama sekali tidak berpihak kepada rakyat, seperti kenaikan BBM, kenaikan tarif listrik, hingga kenaikan harga pangan, dll. Belum lagi perilaku kerdil dan koruptif elite bangsa ini yang juga terus meningkat.
Pada kondisi lain, disaat rasa kebangsaan sedang teruji berat di tengah terpaan globalisasi, konflik bermotif SARA di tanah air belakangan ini semakin sparadis, mulai dari yang fisik hingga simbolis.
Banyaknya kasus kekerasan yang berlabel agama beberapa tahun terakhir, terutama yang dikait-kaitkan dengan tindakan terorisme, menimbulkan persoalan dan disintegrasi sosial dalam masyarakat. Persoalan beda pemahaman dan keyakinan kemudian ditambah dengan lemahnya semangat toleransi menjadikan ini semua seperti sumbu yang siap disulut kapan saja. Agama yang sejatinya ramah dan penuh kedamaian dihadirkan dalam bingkai tumpahan darah.
Kondisi ini setidaknya mencerminkan mulai lunturnya karakter kebangsaan dan terus menipisnya rasa toleransi atas perbedaan dalam masyarakat. Identitas sebagai bangsa yang konon peramah, gotong royong, serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi kini telah tergadai dan entah kapan kita bisa menebusnya kembali.
Bangsa yang dulunya dibangun dengan pondasi dan semangat kebersamaan ditengah keragaman, suku, tradisi, adat istiadat, dan berbagai ras, agama, dan aliran kepercayaan yang bermacam-macam, Indonesia jauh lebih memperlihatkan kemajemukan dibandingkan bangsa yang berdiam di negara manapun. Berpijak pada prinsip itulah funding fathers negara kita berusaha sekuat tenaga merumuskan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai semua bentuk perbedaan.
Karakter Kebangsaan
Kekerasan bermotif SARA dengan sikap primordial yang tidak kunjung tamat dari Republik ini bisa dijadikan parameter bahwa pendidikan karakter kebangsaan dengan wawasan nusantara masih jauh panggang dari api. Oleh karena itu, di tengah kondisi bangsa dan negara yang memprihatinkan ini, perlu adanya semangat dan upaya bersama elemen bangsa untuk membangun kembali karakter kebangsaan yang selama ini semakin memudar.
Semua elemen bangsa, terutama lembaga pendidikan sangat berperan untuk mengajarkan kebersamaan dan mempersiapkan generasi bangsa untuk hidup dalam kemajemukan, serta bagaimana membangun karakter kebangsaan dan menghargai perbedaan dalam konsensus dasar bernegara. Wawasan itulah yang kemudian jadi landasan dan semangat dari Pancasila, NKRI, UUD ‘45 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Karena persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini, bisa jadi berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal kebangsaan yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an.
Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Soekarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekhawatiran Soekarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.
Karakter kebangsaan tentunya tidak hanya sekedar diketahui atau dipahami, tapi hendaknya menjadi faktor pembentuk kebanggaan atas identitas nasional serta menjadi landasan dalam berperilaku setiap pemimpin dan bangsa ini. Dengan demikian, peringatan 103 tahun Kebangkitan Nasional ini, sudah sepatutnya menjadi penggerak bangsa ini untuk terus bangkit dari stempel “negara gagal” dengan segala keterpurukannya. Bangsa ini harus mampu meningkatkan kemandirian serta daya saing bangsa untuk membangun peradaban bangsa yang maju dan mulia. Karena tentunya, bangsa ini tidak akan pernah menginginkan Indonesia terus menjadi “negara yang bersumberdaya yang tidak berdaya”. Indonesia (semoga) bisa!.
Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar