marquee

Selamat Datang di Blog Kami

welcome

Berbagi itu Indah dan Senyum itu Sedekah

Minggu, 03 Juni 2012

The Rise of Gold Generation, Mungkinkah?

Salah satu fitrah manusia adalah kebebasan. Bebas berekpresi, bebas berbuat dan bebas berestetika. Namun hakikat kebebasan tersebut harus terikat dengan norma-norma agama atau dogma tertentu sehingga manusia itu terarah dalam mengungkapkan kebebasan tersebut. Sebagai makhluk yang berbeda dan memiliki kemampuan luar biasa dari yang lain manusia harus memperhatikan akal dan agamanya. Tiga pilar hidup harus ada pada tempatnya. Iman, ilmu, dan seni merupakan basis perbedaan manusia dengan hewan bahkan malaikat.

Tentu yang menjadi sorotan utama dalam peradaban pilar tersebut adalah para pemuda dan pelajar yang identik dengan masa kesegaran dan lebih mudah beradaptasi dengan peradaban. Mereka dengan cepat tanggap meneriama input apapun jika itu bertendensi kemodernan atau western. Kita bisa melihat salah satu estetika yang tidak berpilar iman dan ilmu menjamurnya boysband dan girlsband lebih mengutamakan komersialisasi dan pengharuman nama sehingga cara gampang menjadi terkenal. lihatlah bagai mana anak-anak kita yang bahkan masih SD atau SMP sudah diajarkan keografi sensitif dan lirik lagu yang menggoda sehingga mengundang birahi. Bahkan performa pakaian seksi dan fantastis menjadi trend bagi mereka. Hal itu terjadi karena dorongan tokoh di balaik layar agar mereka laris dan menghasilkan daya jual yang luar biasa. Sehingga di suatu sisi estetika itu adalah virus yang menjalar. Dan boyband atau girlsband adalah racun yang bisa menusuk iman serta pendidikan si anak. Karena benturan ekpresi estetika dengan norma-norma agama yang dipelajari di sekolah sudah terlihat.



Apa tugas kita untuk mengujudkan the gold generation?


Bangkitnya Generasi Emas Indonesia adalah tema Hardiknas tahun ini. Sebuah tema futuristik yang menyajikan imaji kebangkitan anak bangsa di bawah bayang-bayang pelangi nusantara yang pluralis dan multikultural. Generasi masa depan harus dipersiapkan sejak sekarang. Pendidikan harus terus berikhtiar membangun generasi bangsa yang cakap secara intelektual, anggun secara moral, dan siap menghadapi tantangan zamannya.


Pendidikan selama ini dirancang dengan mengedepankan proses perkembangan kognitif. Akibatnya, hasil pendidikan di Indonesia melahirkan lulusan yang pintar, tetapi kurang cerdas. Pendidikan sekarang harus benar-benar dirancang untuk menciptakan anak bangsa yang cerdas, sehingga pendidikan menjadi ujung tombak terciptanya generasi emas bangsa, sesuai dengan apa yang dikatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) akan fokus mencetak generasi emas.


Untuk mencetak generasi emas tersebut di awali dari kualitas guru itu sendiri. Kualitas seorang guru akan berimbas pada kualitas si murid yang dididiknya. Jika si guru baik, maka para peserta didik otomatis akan mencontoh sikap-sikap baik dari sang guru, dan begitupun sebaliknya. Untuk mencapai itu semua, si guru harus meningkatkan empat kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogi, kepribadian, sosial dan kompetensi profesionalnya.


Selain itu, salah satu kekurangan guru di Indonesia adalah rendahnya kemampuan kreativitas, inovasi, dan kurangnya penguasaan terhadap materi yang akan diajarkan pada siswanya. Oleh karena itu, si guru harus mampu kreatif dalam melakukan proses belajar mengajar serta berinovasi dalam menyampaikan pelajaran, sehingga apa yang disampaikan oleh si guru dapat diterima dengan baik oleh si murid.

Guru juga harus meningkatkan penguasaan terhadap teknologi saat ini. Oleh karena itu, guru mau atau tidak mau harus belajar dan terus belajar agar mereka tidak tertinggal dari ilmu pengetahuan dan informasi yang berkembang pada lingkungan anak didiknya. Betapa disayangkan, jika ternyata ada anak didik menjadi malas belajar hanya karena pengetahuan dan teknologi yang dikuasai gurunya dinilai telah kadaluarsa oleh anak didiknya. Hal ini bukan hanya mengganggu proses belajar mengajar di kelas tapi memperlihatkan kemunduran dalam perkembangan pendidikan yang ada di lingkungan sekolah tersebut, dimana ternyata lingkungan masyarakat lebih maju dari pada lingkungan pendidikan dalam hal pengetahuan teknologi dan informasi.


Dan untuk mengujudkan generasi emas yang beriman dibutuhkan pemerintah baik pusat maupun daerah proaktif menambahkan pelajaran agama lebih dari dua jam setiap minggu. Dan membuatkan peraturan khusus baik melalui perda atau kepris sehingga memeliki kekuatan hukum dan sekolahpun tidak meremehkan. Penulis yakin anak yang tamat dari sekolah pesantren sangat berbeda dari anak tamatan sekolah umum yang pendidikan agamanya minim. Karena mereka dituntut untuk menuntaskan pelajaran yang di-UN-kan.


Dengan demikian generasi emas yang diharapkan akan bisa terujud. Akan tetapi jika hanya didengar, dipikirkan dan dipertimbangkan tanpa aksi proaktif baik dari pihak sekolah atau pemerintah the golden generation hanya berupa pameo atau tema pembicaraan saja sepanjang zaman
.

Tidak ada komentar: