"Bu, saya ingin mengurus KTP, apa yang harus saya lakukan Bu ?, sambil menatap penuh kebencian si Ibu menjawab," Bapak tidak baca ya ada pengumunan di luar, di sana kan ada syarat2 nya. Bapak sebelum ke saya baca dulu dong atau ke meja yang satu lagi bagian pengumpulan data. saya ini bagian penyerahan KTP" sambil membuka Facebook nya dari tadi tidak kebuka juga.
itulah gambaran sepintas tentang suasana pelayanan di civil government (kantor pemerintahan) dan mungkin masih banyak lagi adegan atau aksi yang bermacam-macam mulai dari aksi diam, cuek dan bahkan marah kepada masyarakat yang meminta pelayanan. Aksi seperti ini sering terjadi dan muncul ketika ada masyarakat mau mengurus dokumen-dokumen penting yang notabene berkaitan dengan identitas. Baik berupa KTP, SIM, surat tanah dan lain-lainnya. Sementara di sisi lain ada warga yang berani dan frontal sambil berteriak dengan geramnya, "kalau sampean tidak bisa bekerja di sini, jangan jadi pegawai masih banyak yang hebat dari sampean". Ini juga yang pernah dialami penulis sehingga penulis pun bertriak seperti orang tadi. saking kesalnya karena sudah menunggu hampir seharian, sementara orang yang kenal dan akrab dengan petugas itu urusannya mulus dan tidak birokratis.
Dan ternyata berbeda dengan suasana pelayanan di kantor swasta seperti bank, asuransi dan social service lainnya. mereka lebih menyapa duluan sebelum kita menyapa mereka. mereka senyum duluan sebelum kita mulai senyum. kenapa ada perbedaan di stant pemerintahan dan swasta itu. apakah pegawai pemerintahan itu digaji pemerintah dan notabene PNS, sementara swasta tidak dan mereka takut kalau keramhtamahan itu tidak dikedepankan para pelanggan akan lari dan beralih ke tempat yang lain??
Keramahtamahan adalah sesuatu yang sangat khas dari
bangsa kita. Dulu bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang amat ramah
dan bersahabat dengan siapapun. Kalau kita menengok sejarah ke belakang
sebentar, hampir semua agama besar yang ada di Indonesia sebenarnya
adalah produk import, namun karena begitu ramahnya bangsa kita akan
agama yang produk import itu bisa diterima, diserap dan kemudian sedikit
“dimodifikasi” menjadi seolah-olah milik kita sendiri.
Sayangnya budaya atau karakter itu pelan tapi pasti
mulai menghilang dari bangsa kita. Kita menyaksikan dengan mata
telanjang hari-hari ini ada banyak amuk massa di hamper semua bagian
negeri tercinta ini. Bangsa kita yang ramah, itu sekarang menjadi udah
marah. Kenapa bisa demikian ?
Mencoba berpikir kritis atas fenomena ini, penulis melihat ada beberapa penyebabnya maraknya amarah di masyarakat kita:
1.Strata sosial yang senjang
Tak bisa dipungkiri, kesenjangan social cenderung
memicu konflik. Kesenjangan social yang tajam memicu pemishan antara
kami dan mereka. Antara I and You. Ketka keterpisahan itu tak terjembatani, maka sebuah isu kecil bisa meledakkan
emosi amarah yang jau dari nalar waras. Berbagai kerusuhan social di
Indonesia harus dilihat dari kerangka seperti ini. Ketika si polan yang
tinggal di tepi sungai tidak lagi punya akses untuk bergaul dengan si
Paul yang tinggal di real estate, maka kesalahan pahaman sedikit akan
sangat mudah memicu benturan.
2.Permasalahan hidup yang pelik
Sebab ke dua merebaknya sikap agresif dikalangan masyarakat kita bisa dilihat dari semakin menggunungnya persoalan hidup yang menindih
mereka. Mulai dari rumah yang tidak layak huni, kebutuhan harga
barang-barang yang terus membumbung tinggi, biaya sekolah yang cenderung
mahal sampai pajak yang terus dinaikkan oleh pemerintah, membuat rakyat
hidup dalam tekanan.. Nah, ketika persoalan itu menjadi semakin berat
dan mereka tidak lagi punya jalan untuk memecahkannya, maka rasa
frustrasi karena himpitan persoalan hidup itu kemudian bermetamorfosis
menjadi sikap mudah marah.
Sebenarnya ada 3 cara untuk “menangani” rasa frustrasi atas masalah hidup :
(a)Menekannya
Artinya anda menekan rasa frustrasi itu dan “menelannya” dalam hati. Lalu anda berpura-pura tidak ada masalah. Ini tidak sehat. Cepat atau lambat rasa sakit itu akan meledak!
(b) Mengulangnya
Artinya, terus memelihara rasa pahit kaena frustrasi itu bahkan mengulang/mengingat-ingat terus peristiwa yang menyusahkan hati. Ini sangat tidak sehat, karena membuat kita semakin terpuruk!
(c) Menyemburkannya
Ini
yang paling berbahaya. Ibarat bendungan yang jebol, orang yang
meyemburkan rasa frustrasinya akan cenderung melukai dan ”menyerang”
orang-orang yang ada disekitarnya. Orang inggris punya ungkapan bijak
untuk menggambarkan hal ini :” Hurting people, hurt people” = orang yang
terluka, cenderung akan melukai oang lain.
Nampaknya pilihan ke 3 diatas yang sekarang ini lebih sering diambil oleh sebagian masyarakat kita.
3.Tontonan yang tidak mendidik
Keadaan frustrasi social di atas diperparah oleh
tontonan kekerasan yang amat sangat mencolok di televisi kita. Setiap
kita membuka channel televisi, entah yang nasional, maupun regional,
berita dan aksi kekerasan pasti tersajikan! Tanpa sadar semua aksi itu
dilihat dan terekam dalam alam bawah sadar masyarakat kita. Akibatnya,
ketika mereka memeiliki masalah yang hampir sama dengan yang dilihatnya
di TV, bawah sadar mereka akan mendorong untuk melakukan pelampiasan yan
sama.
4.Kehidupan ekonomi yang sulit
Ada ungkapan bangsa yang pemarah adalah bangsa yang
rakyatnya lapar. Ternyata ungkapan tersebut terbukti secara ilmiah,
bahwa orang yang lapar memang gampang sekali naik darah. Orang Inggris berkata : The hungry man is an angry man = orang yang lapar adalah orang yang mudah marah.
Kenapa rasa lapar membuat orang mudah marah?
Dari sebuah situs intenet penulis menemukan jawabannya
demikian : Kemarahan adalah keadaan emosional yang disebabkan oleh
keluhan atau suatu penderitaan. Orang bisa marah karena orang lain,
karena ada kejadian atau karena dirinya sendiri.
Dilansir Livestrong, rasa lapar memang memicu
amarah. Hal ini karena bila orang dibiarkan lapar dalam jangka waktu
lama, maka kadar gula darah di dalam tubuhnya sangat terganggu. Akibatnya, pasokan glukosa (gula) yang mencapai
otak menjadi berkurang. Di dalam darah, glukosa dikirim juga ke otak
sebagai sumber energi yang antara lain berguna untuk mengontrol
temperamen dan emosi negatif lainnya.
Rendahnya kadar gula darah atau hipoglikemia inilah
yang akan membuat amarah seseorang menjadi naik, sehingga mudah
tersinggung dan marah. Gula darah rendah juga dapat disertai dengan
kecemasan, kelelahan dan sakit kepala.
Bila tingkat serotonin dalam tubuh rendah, juga
dapat membuat orang mudah tersinggung dan marah. Serotonin adalah hormon
yang berfungsi mengontrol suasana hati, nafsu makan dan tidur, juga
merupakan hormon yang membuat orang merasa bahagia dan menghilangkan
emosi negatif.
Serotonin disintesis dalam tubuh dengan bantuan
asam amino yang disebut triptofan. Triptofan tidak terbentuk di dalam
tubuh dan harus dipasok oleh makanan. Dengan demikian, menambahkan menu
harian dengan makanan kaya asam amino esensial menjadi sangat penting.
Banyak ahli gizi di seluruh dunia juga
merekomendasikan mengatasi amarah dengan makanan yang mengandung glukosa
atau makanan peningkat suasana hati untuk mencegah rasa lapar. Diet
yang kaya protein, lemak dan serat akan membantu mencegah kelaparan.
5.Berkembangnya masyarakat patembayan
Bergesernya bentuk masyarakat kita dari paguyuban menjadi patembayan, memberi andil juga dalam berbagai tindak kekerasan. Masyarakat adalah
suatu bentuk kehidupan bersama, dimana tiap-tiap anggotanya bersatu
karena pengakuannya sama terhadap nilai-nilai hidup tertentu. Umumnya
suatu masyarakat menpunyai dua sifat yaitu masyarakat Paguyuban
(Gemeinscharft) dan Petembayan (Gesellscharft); Masyarakat paguyuban itu
terjadi karena hubungan pribadi antar anggota-anggotanya yang
menimbulkan ikatan batin antar mereka, misalnya keluarga, perkumpulan
agama, dll. Sedangkan masyarakat petembayan terjadi karena antara
anggota-anggotanya terdapat hubungan pamrih, hubungan yang terutama
ditujukan untuk memperoleh keuntungan kebendaan, misalnya perkumpulan
dagang, PT, CV, koperasi, dll. Kedua sifat-sifat ini dimiliki oleh
setiap masyarakat, mana yang lebih signifikan tergantung dari kasusnya
dalam melaksanakan hidup dan kehidupan.
Kalau kita cermati, masyarakat paguyuban cenderung
bersifat komunal, sementara masyarakat patembayan cenderung bersifat
individual. Nah, sikap individual yang cuek dan apatis terhadap orang
lain inilah yang pada gilirannya mudah memicu konflik.