Batam-Bengkong. "Bagaimana perasaan kamu lulus UN tahun ini, nak?". "wah saya senang sekali pak". "Apakah ada niat mau melanjutkan ke perguruan tinggi". "saya lebih suka bekerja dulu dan masih bingung memilih kuliah yang bagus". " mau kemana sekarang, nak?". "saya mau ke sekolah pak, mau mengasihkan bingkisan ini untuk wali kelas saya pak", ujar si anak dengan berlalu sambil membawa bingkisan lumayan mewah..
Itulah salah satu petikan wawancara kami kepada salah satu anak yang termasuk lulus 100 % di suatu sekolah di batam.
Hal yang sangat menarik bagi penulis adalah ketika si anak mau memberikan bingkisan kepada wali kelasnya menurutnya seolah wali kelasnya telah berjasa membuat dia lulus dari serangan maut UN.
Sebenaranya tradis beri-memberi sudah lumrah di negeri ini. Sebagai negeri yang kental dengan adat ketimuran tentu basa-basi itu perlu. Ucapan terima kasih adalah suatu yang urgen untuk menjalin silurrahmi baik itu dipandang dari sisi agama atau sosial. Dan sering sekali ucapan terimakasih itu disejajarkan dengan reward tidak hanya cukup berupa kata-kata tetapi juga bisa dalam bentuk barang atau uang.
Nah begitu juga yang sering terjadi setelah ujian apalagi ujian nasional (UN) untuk para wali kelas enam, tiga SMP dan SMA banyak anak didiknya memberikan bingkisan berasal dari kehendak si anak atau keinginan orang tuanya. Karena mereka menganggap keberhasilan anaknya dibantu oleh wali kelas.Sementara wali kelas atau guru pelajaran yang lain merasa tidak terlibatkan dan memang tidak dilibatkan apalagi melibatkan diri karena hal itu adalah termasuk zona khusus.
Fenomena seperti ini selalu muncul dan terjadi. Sementara modus operandinya adalah memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan hasil tambahan. Maka tak heran ada pameo kalau sudah masa ujian nasional diumumkan kelulusannya , wali kelas 3 dan kepala sekolah akan mendapat bingkisan atau uang mendadak. Percaya atau tidak apa yang dikatakan si anak di atas adalah bukti bahwa pendidikan di negeri ini masih diukur dengan sungkanan dan kualitas ewuh pakewuh yang tidak jelas.
Dunia pendidikan saat ini identik dengan bisnis dan komersil. Sopo siru sopo ingsun "kamu jual saya beli" itulah bahasa dunia perdagangan. Pendidikan di sekolahpun seperti itu si pembeli adalah anak dan orang tuanya sementara penjual adalah pihak sekolah yang selalu memaksakan dagangannya agar dibeli. Perbedaannya jika dalam dunia bisnis barang cacat atau rusak kemungkinan bisa dikembalikan tetapi di sekolah jika anak tidak berhasil dan nilai tidak tuntas pihak sekolah menginstruksikan para guru untuk menaikkan nilai raport mereka sehingga peluang kelulusan ujian nasional pasti terujud.
Bahkan ketuntasan nilai tersebut dinaikkan tanpa meminta pertimbangan guru pengampu pelajaran tertentu. Karena pelajaran yang ditinggikan nilainya adalah pelajaran non ujian nasional sementara pihak sekolah telah menentukan panita khusus perbaikan nilai. Inilah potret dunia bisnis sekolah. Sehingga di akhir kelulusan pendapatan para wali kelas dan pihak sekolah mengalami obesitas dan padat.
Belum lagi ada isu pungutan pengambilan ijazah yang dipatokkan sehingga sebagian besar orang tua merasa terbebani. Meskipun dengan bahasa ucapan terimakasih merupakan alasan para opportunist ini.
Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar