"Bapak dan Ibu mau pesan apa? tinggal lihat di list menu, semuanya tersedia berbagai macam cita rasa masakan ; soto, gulai, seafood dan lain-lainnya juga tersedia minumannya. kalau masalah harga sudah ada di listnya pak bu, Bapak dan Ibu bisa bayar di kasir kami yang ada di sana". Monolog di atas sering dijumpai di restoran atau pujasera. pelanggan dimanjakan dengan berbagai menu yang telah tersedia dan tidak perlu repot melaporkan cukup menulis menu apa yang dipesan seketika itu juga para waiter/waitress datang. Dengan menunggu beberapa menit makanan siap untuk disantap.
Ternyata hal di atas tidak hanya terjadi di dunia bisnis atau perdagangan tetapi dunia pendidikanpun terkontaminasi oleh list menu seperti makanan yang siap saji. orang tua sekarang bisa memilih sekolah dengan berbagai fasilitasnya secara instant dan mudah, bahkan dipesanpun tidak tertutup kemungkinan. Dan tentu disertai daftar harga yang fix dan fleksibel.
Saat penulis mengantarkan anak kawan untuk didaftarkan di suatu sekolah menengah kami langsung disambut oleh pihak sekolah penuh keramah-tamahan dan ewuh pekewuh. "Bapak mau mendafatarkan anak ya di sekolah ini? wah, tepat sekali pilihan Bapak ", ujar salah satu staff sekolah. tanpa pikir panjang dia langsung menyodorkan list harga dan fasilitas yang didapati serta brosur lengkap dengan rincian sembil tersenyum penulispun mengambil dan berlalu, " maaf ya pak, mungkin besok kami datang lagi", ujar penulis.
Apa yang dialami penulis mungkin ratusan, ribuah bahkan jutaan orangtua sudah mengalaminya terlebih dahulu. pengalaman seperti ini tentu terjadi pada sekolah swasta. Banyak orang tua ingin mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah negeri yang dianggap lebih murah bahkan untuk tingkat SD dan SMP gratis SPP dan tidak ada uang pangkal akan tetapi banyak juga orangtua mengeluarkan uang jutaan untuk memasukkan anaknya ke sekolah negeri yang katanya tidak dipungut biaya sama sekali. lho, kok bisa...indonesia gitu lho...kata sebagian orang. memang secara terang-terangan tidak kelihatan tapi transaksi terjadi di luar sekolah, kata sebagian yang lainnya.
Tentu keluhan menjadi obesitas, sama seperti hukum di negeri tercinta ini mengalami obesitas (kegemukan). keluhan orangtua yang ingin sekali mendaftarkan anaknya di sekolah negeri dikarenakan nilai rata-rata raport sang anak kurang dari target sekolah tersebut. sebagai contoh, jika nilai rata-rata 7,5 yang ditargetkan maka anak bisa mengecap belajar di sekolah negeri tetapi di bawah dari itu silahkan mencari sekolah lain. Di sisi lain bagi orangtua yang mampu bisa kongkalikong dengan pihak sekolah meskipun nilai rata-rata di bawah standar yang ditargetkan jika anak kebelet sekali mau sekolah di negeri. maka tidak diherankan setiap tahun PSB (penerimaan siswa/i baru) kepala sekolah dan pihak lainnya saku mereka mengalami obesitas dari uang orangtua hasil kongkalikong tersebut.
Inilah potret pendidikan saat ini sama seperti menu dan list makanan di restoran. kalau mau makanan enak dan lezat tentu harus siap dengan uang yang padat begitu juga dengan pendidikan jika orangtua menginginkan sekolah bonafit terlebih dahulu lihatlah kemampuan saku atau finansial jika sempit maka berlalulah sambil jari tangan digigit.
Sungguh jauh perbedaan potret pendidikan kita dengan negara lain. Finlandia sekarang terkenal dengan kiblat pendidikan dunia. Biaya pendidikan di negara Eropa Utara ini, gratis. Kata Lavonen (salah staff pengajar di Finlandia), adalah tindakan illegal membebankan biaya dalam sistem pendidikan. Bahkan sekolah swasta pun menerima dana dari pemerintah.
Para siswa di Finlandia tidak mengenakan seragam. Bahkan kepala sekolah mengenakan celana jeans dan kemeja berleher terbuka di sekolah. Kepala sekolah Taivallahti di Helsinki (sekolah mulai usia tujuh hingga 16 tahun), Hannu Kosonen menyatakan, siswanya sama seperti siswa di Finlandia lainnya, tidak mengenakan seragam. Hal ini tentu berbeda di negeri kita ini yang lebih fokus ke semboyannya "bhineka tunggal ika" (walaupu berbeda tetap bersatu)meskipun berbeda suku tapi diseragamkan dengan uniform tertentu
Selain itu, para guru tidak diberikan target. Mereka tidak takut akan adanya inspeksi atau penilaian sekolah dalam ujian nasional. “Mereka adalah para akademisi dan terlatih, jadi kami mempercayai mereka. Ini adalah hal yang penting, mereka tidak perlu pemeriksaan. Kami juga tidak memiliki sistem ujian nasional. Para guru dipercaya untuk menilai murid mereka sendiri,” jelas Kosonen (Guru sain di salah satu sekolah Finlandia). RPP, Silabus dan beban administrasi serta birokrasi akademik menjadi momok menakutkan bagi guru di Indonesia yang suatu saat ada sidak dari suatu instansi jika tidak dibuat. sebagai punishmentnya insentif dan uang sertifikasi tertunda bahkan tidak bisa diterima. suatu sisi guru dituntut professional dengan beban-beban akademika yang tidak jelas sebelum menerima insentif peerintah sehingga berefek kepada pengajaran yang akut. Di kelas saat jam mengajar guru sibuk berpikir dengan insentifnya sehingga pengajaranpun menjadi blur.
Jumlah siswa di kelas terbatas hanya 20 orang pada dua tahun pertama sekolah serta pada tahun keenam dan ketujuh (usia 12 dan 13 tahun). Jika ada siswa yang tertinggal, guru kedua dapat dikirim untuk membantu siswa mengejar ketinggalan.
Meski sewaktu-waktu kepala sekolah bisa berkunjung ke kelas untuk memeriksa standar guru, ini tidak menjadi kekhawatiran. Hubungan yang terjalin antara staf guru dan kepsek seperti pelatih dan murid. Kosonen meminta setiap guru untuk memberikan sebuah ide untuk mengembangkan teknik pengajaran. Dengan begini, dia tidak melihat dirinya sebagai jaksa pengadilan.
Sebenarnya banyak negara yang berpotret mirip seperti Finlandia. Aljazair, Maroko, dan Tunisia pun termasuk memiliki ciri khas potret pendidikan di atas. Dan sudah terbukti jauh dari pendidikan bermenu dan obesitas kelas. Wallahu a'lam
Ternyata hal di atas tidak hanya terjadi di dunia bisnis atau perdagangan tetapi dunia pendidikanpun terkontaminasi oleh list menu seperti makanan yang siap saji. orang tua sekarang bisa memilih sekolah dengan berbagai fasilitasnya secara instant dan mudah, bahkan dipesanpun tidak tertutup kemungkinan. Dan tentu disertai daftar harga yang fix dan fleksibel.
Saat penulis mengantarkan anak kawan untuk didaftarkan di suatu sekolah menengah kami langsung disambut oleh pihak sekolah penuh keramah-tamahan dan ewuh pekewuh. "Bapak mau mendafatarkan anak ya di sekolah ini? wah, tepat sekali pilihan Bapak ", ujar salah satu staff sekolah. tanpa pikir panjang dia langsung menyodorkan list harga dan fasilitas yang didapati serta brosur lengkap dengan rincian sembil tersenyum penulispun mengambil dan berlalu, " maaf ya pak, mungkin besok kami datang lagi", ujar penulis.
Apa yang dialami penulis mungkin ratusan, ribuah bahkan jutaan orangtua sudah mengalaminya terlebih dahulu. pengalaman seperti ini tentu terjadi pada sekolah swasta. Banyak orang tua ingin mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah negeri yang dianggap lebih murah bahkan untuk tingkat SD dan SMP gratis SPP dan tidak ada uang pangkal akan tetapi banyak juga orangtua mengeluarkan uang jutaan untuk memasukkan anaknya ke sekolah negeri yang katanya tidak dipungut biaya sama sekali. lho, kok bisa...indonesia gitu lho...kata sebagian orang. memang secara terang-terangan tidak kelihatan tapi transaksi terjadi di luar sekolah, kata sebagian yang lainnya.
Tentu keluhan menjadi obesitas, sama seperti hukum di negeri tercinta ini mengalami obesitas (kegemukan). keluhan orangtua yang ingin sekali mendaftarkan anaknya di sekolah negeri dikarenakan nilai rata-rata raport sang anak kurang dari target sekolah tersebut. sebagai contoh, jika nilai rata-rata 7,5 yang ditargetkan maka anak bisa mengecap belajar di sekolah negeri tetapi di bawah dari itu silahkan mencari sekolah lain. Di sisi lain bagi orangtua yang mampu bisa kongkalikong dengan pihak sekolah meskipun nilai rata-rata di bawah standar yang ditargetkan jika anak kebelet sekali mau sekolah di negeri. maka tidak diherankan setiap tahun PSB (penerimaan siswa/i baru) kepala sekolah dan pihak lainnya saku mereka mengalami obesitas dari uang orangtua hasil kongkalikong tersebut.
Inilah potret pendidikan saat ini sama seperti menu dan list makanan di restoran. kalau mau makanan enak dan lezat tentu harus siap dengan uang yang padat begitu juga dengan pendidikan jika orangtua menginginkan sekolah bonafit terlebih dahulu lihatlah kemampuan saku atau finansial jika sempit maka berlalulah sambil jari tangan digigit.
Sungguh jauh perbedaan potret pendidikan kita dengan negara lain. Finlandia sekarang terkenal dengan kiblat pendidikan dunia. Biaya pendidikan di negara Eropa Utara ini, gratis. Kata Lavonen (salah staff pengajar di Finlandia), adalah tindakan illegal membebankan biaya dalam sistem pendidikan. Bahkan sekolah swasta pun menerima dana dari pemerintah.
Para siswa di Finlandia tidak mengenakan seragam. Bahkan kepala sekolah mengenakan celana jeans dan kemeja berleher terbuka di sekolah. Kepala sekolah Taivallahti di Helsinki (sekolah mulai usia tujuh hingga 16 tahun), Hannu Kosonen menyatakan, siswanya sama seperti siswa di Finlandia lainnya, tidak mengenakan seragam. Hal ini tentu berbeda di negeri kita ini yang lebih fokus ke semboyannya "bhineka tunggal ika" (walaupu berbeda tetap bersatu)meskipun berbeda suku tapi diseragamkan dengan uniform tertentu
Selain itu, para guru tidak diberikan target. Mereka tidak takut akan adanya inspeksi atau penilaian sekolah dalam ujian nasional. “Mereka adalah para akademisi dan terlatih, jadi kami mempercayai mereka. Ini adalah hal yang penting, mereka tidak perlu pemeriksaan. Kami juga tidak memiliki sistem ujian nasional. Para guru dipercaya untuk menilai murid mereka sendiri,” jelas Kosonen (Guru sain di salah satu sekolah Finlandia). RPP, Silabus dan beban administrasi serta birokrasi akademik menjadi momok menakutkan bagi guru di Indonesia yang suatu saat ada sidak dari suatu instansi jika tidak dibuat. sebagai punishmentnya insentif dan uang sertifikasi tertunda bahkan tidak bisa diterima. suatu sisi guru dituntut professional dengan beban-beban akademika yang tidak jelas sebelum menerima insentif peerintah sehingga berefek kepada pengajaran yang akut. Di kelas saat jam mengajar guru sibuk berpikir dengan insentifnya sehingga pengajaranpun menjadi blur.
Jumlah siswa di kelas terbatas hanya 20 orang pada dua tahun pertama sekolah serta pada tahun keenam dan ketujuh (usia 12 dan 13 tahun). Jika ada siswa yang tertinggal, guru kedua dapat dikirim untuk membantu siswa mengejar ketinggalan.
Meski sewaktu-waktu kepala sekolah bisa berkunjung ke kelas untuk memeriksa standar guru, ini tidak menjadi kekhawatiran. Hubungan yang terjalin antara staf guru dan kepsek seperti pelatih dan murid. Kosonen meminta setiap guru untuk memberikan sebuah ide untuk mengembangkan teknik pengajaran. Dengan begini, dia tidak melihat dirinya sebagai jaksa pengadilan.
Sebenarnya banyak negara yang berpotret mirip seperti Finlandia. Aljazair, Maroko, dan Tunisia pun termasuk memiliki ciri khas potret pendidikan di atas. Dan sudah terbukti jauh dari pendidikan bermenu dan obesitas kelas. Wallahu a'lam
Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar